Begini Memperlakukan Perjodohan Gadis dan Janda, Beda atau Sama?
HIDAYATUNA.COM – Meski jaman sudah lebih modern, namun perjodohan masih saja kerap terjadi kepada perempuan. Agar tidak salah dalam memperlakukan perjodohan bagi gadis atau janda, maka Anda wajib mengetahui bagaimana syaratnya dalam Islam.
Berikut yang harus lebih dahulu diperhatikan agar tidak salah memperlakukan perjodohan.
Setiap Perempuan Berhak Atas Dirinya
Tidak ada unsur paksaan apalagi ancaman dalam sebuah pernikahan. Pernikahan terjadi karena kedua belah pihak calon mempelai sudah saling menyepakati untuk hidup bersama.
Kebebasan perempuan dalam memilih calon pendamping hidup ini tercantum dalam riwayat hadis, dari Abdullah bin Abbas RA berkata, Rasulullah bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ، وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا
“Perempuan yang telah janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya dan perempuan yang masih perawan diminta izin dari dirinya dan izinnya ialah diamnya.” (HR Tirmidzi, Ahmad, Muslim).
Hadis tersebut telah dijelaskan dalam buku yang ditulis oleh Buya Hamka yang berjudul Berbicara Tentang Perempuan. Bahwa setiap perempuan berhak atas dirinya sendiri.
Janda Lebih Berhak Atas Dirinya & Gadis yang Diam Ketika Ditanya
Bahkan janda sekalipun lebih berhak atas dirinya sendiri ketimbang walinya. Tentu dalam urusan memilih pendamping hidup, mereka akan memilih sendiri yang sekufu dan sama-sama berada di jalan yang benar.
Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, misalnya mereka dijodohkan dengan pezina atau orang kafir, maka wali bisa menghalangi. Hal ini bukan sebagai bentuk perampasan kebebasan, namun sekadar pembatasan jika kebebasan tersebut disalahgunakan.
Hadis tersebut juga menjelaskan mengenai diamnya seorang gadis atau perawan. Ketika ditanya perihal mau atau tidak dengan seseorang yang hendak dijodohkan dan ia diam, ini merupakan pertanda. Hal itu berarti mau karena gadis lebih cenderung malu-malu untuk mengungkapkannya. Ibarat kata, mengatakan “saya mau” seperti aib baginya.
Meminta Izin Perempuan yang Hendak Dinikahkan
Bagi ayah atau wali, sebelum melakukan perjodohan, hendaknya meminta izin lebih dulu kepada anak perempuannya. Rasulullah Saw. pernah ikut andil dalam membatalkan pernikahan atas dasar perjodohan pada masa itu.
Khansa binti Khidam, seorang janda yang dipaksa menikah oleh ayahnya mengadu kepada Rasulullah Saw. Kemudian Nabi membatalkan pernikahan atas dasar perjodohan yang dipaksakan tersebut.
Pun jika anak perempuan tersebut ialah seorang yatim, maka sebelum dilakukan perjodohan hendaknya meminta izin kepadanya. Diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah SAW bersabda:
تُستأمَرُ اليتيمةُ في نفسِها
“Perempuan yatim diminta izin dari dirinya.” (HR Ahmad).
Perbedaan Pendapat Ulama Fiqh
Memang terdapat beberapa perbedaan pandangan dari para ulama fiqh mengenai hal ini. Namun itu tidak banyak, bahkan Imam Abu Hanifah pun berpendapat, perempuan janda lebih berhak atas dirinya. Hal itu dikuatkan lagi dari hadis:
ليس للولي مع الثيب أمر، واليتيمة تستأمر، وصمتها إقرارها
“Tidak ada kekuasaan wali atas perempuan janda dan gadis yatim. Jika hendak dinikahkan, hendaklah seizinnya. Dan, diam adalah tanda dia suka.” (HR Abu Dawud).
Abu Hanifah berpandangan bahwa wali bukanlah syarat mutlak. Asalkan ada saksi, tidak sembunyi-sembunyi, dan diketahui banyak orang itu sudah cukup. Namun dalam hal ini, Abu Hanifah tidak bermaksud untuk menghapuskan wali sama sekali.
Di dalam kitab-kitab fiqh, Abu Hanifah mengakui kepentingan wali dan siapa yang menjadi wali. Dia mengatakan dzawil arham pun adalah wali. Jika wali tidak ada atau di dalam keadaan tidak dapat melakukan tugas, kekuasaan wali berpindah kepada sultan. Sebab, sultan atau penguasa yang menjadi wali bagi siapa saja yang tidak ada walinya.
Tidak ada salahnya gadis atau perempuan janda menikah dengan seorang laki-laki yang dia sukai. Selama syarat di atas tidak dilanggar, yakni tidak memilih orang kafir, dan lain-lain.