Begini Cara Melahirkan Anak yang Alim dan Cerdas
HIDAYATUNA.COM – Abu Muhammad al-Juwaini adalah seorang alim dan faqih Syafi’iy terkemuka di masanya. Ia berkeinginan memiliki seorang anak yang ia harapkan menjadi seorang alim.
Untuk tujuan itu, ia membeli seorang budak wanita yang telah dipilihnya sedemikian rupa berdasarkan kesalIhan dan ketakwaannya. Setelah dibeli, ia berpesan pada sang budak:
“Aku punya satu syarat. Jangan engkau makan apapun kecuali dari nafkah yang aku berikan. Insya Allah nafkah yang aku berikan datang dari sumber yang halal.” Sang budak pun menyanggupinya.
Setelah melahirkan, Abu Muhammad kembali berpesan padanya, “Jangan engkau biarkan apapun masuk ke dalam tubuh anak ini kecuali dari nafkah yang aku berikan. Jangan biarkan ia menyusu selain darimu saja.”
Suatu hari, sang budak pulang dan berkata pada sang Imam, “Tadi, entah kenapa, anak kita ini tidak mau menyusu padaku. Melihatku panik, seorang sahabatku datang membantu dan menyusukan anak ini.”
Imam Abu Muhammad kaget mendengar itu. Ia segera mengorek-ngorek mulut anaknya agar ia memuntahkan kembali susu yang telah masuk ke dalam tubuhnya. Anaknya pun muntah Tapi tentu saja ada beberapa tetes yang sudah terlanjur masuk dan tidak bisa dimuntahkan lagi.
***
Anak itu tumbuh menjadi seorang yang sangat alim dan cerdas. Ia bahkan dinilai sebagai satu dari segelintir orang yang dijuluki dengan من أذكياء البشر (manusia tercerdas).
Ialah Abu al-Ma’ali al-Juwaini yang dijuluki dengan Imam al-Haramain. Cukuplah menjadi bukti kehebatannya bahwa ia merupakan guru dari tiga tokoh yang sangat luar biasa ; Imam al-Ghazali, Imam al-Kiya al-Harrasi dan Imam al-Khawafi.
Tidak ada yang bisa mengalahkan Imam al-Haramain dalam ber-munazharah. Orang yang ber-munazharah dengannya akan terlihat sangat kerdil.
Ibarat setetes air berhadapan dengan samudera yang sangat luas. Apa pun bentuk pertanyaan, ia jawab dengan mudah dan dengan cara yang tak terpikirkan oleh orang lain.
Jawaban yang paling menarik adalah ketika ditanya, kenapa Rasululullah Saw bersabda: “Jangan lebih-lebihkan aku dari Yunus bin Matta.”
Namun demikian, beberapa kali ia sempat mengalami gugup dan agak berpikir sebelum memberikan jawaban. Ia berkata: “Ini gara-gara susu (sahabat ibunya) yang sempat masuk ke dalam tubuhku dulu.”
***
Mirza bin Ali hanya seorang pengembala domba. Ia tidak alim, tapi sangat ingin memiliki anak yang alim. Untuk mencapai tujuan itu, hal pertama yang ia lakukan adalah menjaga kehalalan makanan yang masuk ke dalam perut isteri dan calon anaknya nanti.
Tak hanya sampai di situ, ia bahkan menjaga ‘kehalalan’ makanan domba-dombanya. Apa yang ia lakukan? Sungguh sesuatu yang sangat luar biasa.
Ia memberi penutup mulut (sejenis masker) pada domba-dombanya. Ketika domba-domba itu digembalakan di padang rumput yang jelas-jelas halal, penutup mulut itu ia buka satu persatu.
Setelah itu,domba-domba tersebut kembali ia pasangi penutup mulut untuk mencegah mereka makan dari rumput milik orang tanpa izin. Dari kesungguhan menjaga kehalalan makanan itulah lahir anaknya yang kemudian dijuluki sebagai Badi’ az-Zaman (seorang yang tiada tandingannya di masa itu). Itulah Badi’ az-Zaman Sa’id an-Nursi.
***
Dikisahkan, ada seseorang bermimpi bertemu Imam al-Harits al-Muhasibi setelah wafatnya. Orang itu bertanya, “Wahai Imam, bagaimana keadaanmu di sana?” al-Harits al-Muhasibi menjawab, “Alhamdulillah, Allah menempatkanku di tempat yang baik.”
Orang itu bertanya lagi, “Apakah engkau bersama dengan Imam Ahmad bin Hanbal?” al-Harits al-Muhasibi menjawab, “Haihata…haihata… Ahmad berada di tempat yang sangat tinggi…”.
“Apakah karena ilmunya?” tanya orang itu kembali.
“Bukan. Ahmad menikah dan memiliki keturunan. Ia mendidik mereka dengan baik. Kesabaran dan didikan itulah yang membuat Ahmad ditempatkan di posisi tertinggi. Sementara aku tidak pernah menikah.”