Beda Keyakinan dalam Satu Atap
HIDAYATUNA.COM – Toleransi bukanlah kata yang asing buat Dwinta Nurul Fadilla Bintang, remaja perempuan asal Subulussalam, Aceh. Dwinta dan teman-teman sebayanya sudah mengenal nilai-nilai toleransi dari mata pelajaran budi pekerti di sekolah. Namun, ketika jam istirahat tiba, aspek toleransi yang lancar dilafalkan di depan kelas ternyata hanya omong kosong belaka. Dwinta menempuh pendidikan di sekolah negeri. Teman-teman Dwinta mayoritas muslim. Hanya ada segelintir temannya yang memeluk beda keyakinan.
Itu pun Dwinta juga tak pernah berteman akrab dengan mereka. Teman-teman Dwinta memang tidak pernah berantem hebat karena perbedaan itu, namun remaja yang bercita-cita jadi polisi ini prihatin karena temannya kerap melontarkan kalimat sinis kepada yang berbeda. “Kalau lagi berantem, mereka sering bawa-bawa agama. ‘Kau kan Kristen. Kau beda agama sama kita’,” ucap Dwinta menirukan perkataan temannya.
Sebagai Ketua Organisasi Siswa Intrasekolah (OSIS), Dwinta sudah berusaha menegur mereka. Namun tak digubris. “Masih banyak teman Dwi yang ngebedain teman. Bukan cuma soal agama, tapi juga fisik, kepintaran, dan kelas sosialnya.” Saat mengetahui ada program SabangMerauke (SM) dari guru pembina Pramuka di sekolah, Dwinta ikut mendaftar. SabangMerauke merupakan program pertukaran yang digagas oleh beberapa muda-mudi Indonesia. Sebuah program yang mengajak pelajar sekolah menengah pertama dan sederajat dari berbagai penjuru daerah di Indonesia tinggal bersama keluarga dengan latar belakang agama dan etnis berbeda.
Billy merasakan sambutan penuh kehangatan dari keluarga sederhana yang tinggal di salah satu gugusan pulau terluar Indonesia itu. Pengalaman tersebut terpatri dalam benaknya. Latar belakang keluarga Billy juga begitu beragam. Ketika masih kecil, Billy sempat tinggal bersama sang eyang, yang merupakan seorang muslim. Sedangkan sang ibu dulunya juga merupakan pemeluk agama Islam. “Toleransi di keluarga kami nggak usah digembor-gemborkan juga sudah dilakukan dari sejak lahir dan itu indah banget. Ketika saya kecil, mereka antar saya ke gereja. Saat Natal dan Idul Fitri, kami saling merayakan dan saling mengucapin. Kami mau anak kami juga merasakan hal itu sejak dini,” kata Billy. Kini Billy ‘membalas’ kehangatan yang didapatkannya itu pada Dwinta, seorang remaja etnis Pakpak yang menetap di Aceh.
Kehangatan yang didapatkan Dwinta itu meninggalkan kesan tak ternilai. “Apa yang Dwi alami sekarang bakal Dwi lakuin juga ke orang lain yang beda agama atau suku,” katanya. “Seharusnya perbedaan itu bukan penghalang untuk pertemanan, tapi untuk pemersatu kita. Berbeda itu nggak harus bermusuhan. Dalam Alquran juga disebutkan Allah menciptakan orang berbeda-beda. Jadi dari situ kita lihat Tuhan sengaja buat orang berbeda-beda supaya kita saling mengenal, bukan bermusuhan.” Kisah Dwinta pernah dialami juga oleh Apipa. Remaja asal Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Apipa menjadi angkatan pertama program SM pada 2013. Waktu itu Apipa untuk pertama kalinya tinggal jauh dari keluarga. Dia harus tinggal di kota metropolitan sebesar dan seramai Jakarta. Selama di Jakarta, Apipa tinggal bersama pasangan Raymond Lim dan Ratna Megasari, keluarga etnis Tionghoa yang beragama Kristen.
Ketika mereka kembali ke daerah masing-masing, kami harap mereka bisa bikin sebuah gerakan yang memberikan dampak ke sekeliling rumahnya.” Sebagai muslimat taat yang juga mengajar ngaji di sela-sela kegiatan belajar di sekolah, awalnya Apipa merasa sangat tertekan karena harus tinggal di rumah orang yang berbeda suku dan agama. “Dua-tiga hari itu (setelah menginap) Apipa sempat mau minta pindah karena tidak betah. Apipa takut diajak ke gereja, tidurnya gelap, lampunya dimatikan,” cerita Apipah, yang menamatkan SMP di Sekolah Satu Atap Nanga Lauk, Kalimantan Barat.
Raymond dan Ratna juga merasakan kesulitan membuat Apipa betah. Apalagi pernah suatu ketika Apipa menolak makan. Es krim pun tak sanggup membuat Apipa bersemangat. Namun perlahan kedua belah pihak bisa mencairkan suasana. Mereka bisa merasakan kedekatan dan bisa belajar satu sama lain. Kekhawatiran yang sempat menggayuti pikiran Apipa tak terbukti. Sementara itu, keluarga Raymond dan Ratna dapat menyesuaikan kebutuhan Apipa sebagai seorang muslim, termasuk menyiapkan makanan halal untuk sahur dan berbuka puasa. Pada akhirnya empati dan toleransi berhasil meleburkan sekat di antara mereka. “Ke mana kami pergi, orang-orang yang melihat kami menunjukkan sikap ingin tahu. Memang ada kejanggalan, Apipa yang berkulit kecokelatan berbusana muslim dirangkul atau duduk dengan menyandarkan kepala ke dada suami saya yang jelas terciri ketionghoaannya, apalagi bila mendengar Apipa memanggilnya ‘ayah’,” ungkap Ratna Megasari dalam sebuah surat yang ia tulis kepada SabangMerauke. Komunitas SabangMerauke lahir dari keprihatinan para pendirinya terhadap sikap toleransi di Indonesia. Pengalaman salah satu pendiri, Ayu Kartika Dewi, saat menjadi guru sekolah dasar di daerah Halmahera Selatan, Maluku Utara, menjadi pemantik untuk memerangi prasangka buruk yang tercipta karena perbedaan agama dan suku. Saat itu Ayu tinggal di desa yang seluruhnya dihuni oleh orang Islam. Karena tidak pernah bertemu dan berinteraksi dengan orang yang berbeda agama, mereka menjadi mudah curiga. Saat itu murid yang diajar Ayu mendengar kabar burung bahwa ada sekelompok orang Kristen yang akan datang untuk memorakporandakan kampung mereka. Hubungan kelompok Islam dan Kristen di Kepulauan Maluku memang pernah memanas pada 1999.
“Anak-anak yang diajar Ayu mungkin belum lahir saat konflik, tapi mereka bisa punya rasa kebencian mendalam terhadap orang Kristen. Alasannya, mereka belum pernah bertemu, belum pernah berinteraksi,” ungkap Reynold Hamdani, Managing Director SabangMerauke, menuturkan kisah yang dialami Ayu, saat ditemui di acara Family Gathering SabangMerauke, di Kebun Raya Bogor, Sabtu pekan lalu. Sejak mengalami kejadian itu, Ayu sadar, alangkah sia-sia jika toleransi hanya jadi pelajaran di buku atau sekadar jadi topik diskusi. Orang boleh bicara mengenai toleransi tapi ternyata belum sepenuhnya memahami makna toleransi. Ayu dan pendiri lainnya ingin agar generasi penerus bangsa ini dapat ikut serta menjadi penjaga perdamaian. Menjadi garda terdepan yang akan bersuara dalam melindungi keberagaman. Toleransi tidak bisa hanya diajarkan, toleransi harus dialami dan dirasakan.
Untuk itu, setiap tahun SabangMerauke mengirimkan siswa SMP dalam program pertukaran pelajar. Tahun ini SabangMerauke memberangkatkan 20 anak dari seluruh Indonesia ke Jakarta, dan tinggal bersama keluarga angkat selama tiga pekan, dalam masa libur sekolah. Hari-hari mereka akan diisi beragam kegiatan, termasuk mengikuti kurikulum yang didasarkan pada tiga nilai SabangMerauke, yaitu toleransi, pendidikan, dan keindonesiaan.
“Sebenarnya 20 anak dibanding se-Indonesia sih kecil sekali. Tapi, ketika kembali ke daerah masing-masing, kami harap mereka bisa bikin sebuah gerakan yang memberikan dampak ke sekeliling rumahnya. Kita senang kalau mereka bisa cerita ke orang tua atau temannya. Jadi ada semacam multiplier effect,” ujar Reynold.
Saat ini Sabang Merauke sudah menghasilkan 450 alumnus yang akan menjadi duta perdamaian di lingkungan mereka masing-masing. Keyakinan memang bisa berbeda, tapi kita hidup dalam satu atap yang sama. Indonesia. (detik.com)