Beberapa Orang yang Dapat Membatalkan Wudhu
HIDAYATUNA.COM – Dalam literatur-literatur Fikih, beberapa orang yang tidak dapat membatalkan wudhu ketika terjadi persentuhan dengan lawan jenis disebut dengan mahram. Mahram adalah laki-laki atau perempuan yang haram dinikahi, baik karena hubungan nasab.
Hubungan nasab itu seperti ayah, ibu, paman, bibik, anak kandung, saudara kandung, dan keponakan. Lalu ada saudara sepersusuan, seperti ibu yang menyusui atau saudara sepersusuan, maupun hubungan mushaharah, seperti mertua dan menantu.
Persentuhan kulit antara sepasang suami-istri menyebabkan wudhu keduanya menjadi batal karena mereka bukan mahram. Keduanya adalah orang yang berbeda jenis kelaminnya, tetapi boleh dinikahi.
Suami bukan mahram bagi istri. Oleh karena itu, saat keduanya bersentuhan kulit, maka wudhu mereka menjadi batal.
Anak Kecil di Atas Umur Tujuh Tahun
Bersentuhan kulit dengan anak kecil yang belum sampai pada batasan umur yang dapat menimbulkan libido (syahwat). Menurut kebiasaan orang yang normal secara mental, maka wudhu mereka tidak batal. (Ibrahim al-Baijuri, al-Baijuri, juz 1, hlm. 102-103)
Sebagian ulama tidak memberikan ukuran seseorang itu dianggap masih kecil atau sudah dewasa berdasarkan umur tujuh tahun atau lebih. Hal ini karena perbedaan umur antara anak laki-laki dan perempuan, tetapi lebih ditentukan pada apakah sudah menimbulkan birahi apa belum. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim, hlm. 37)
Namun syaikh Yusuf al-Sanbalawi berpendapat bahwa jika seorang anak baik laki-laki maupun perempuan telah berumur 7 tahun, maka dapat membatalkan wudhu berdasarkan kesepakatan ulama. Apabila masih berumur 5 tahun, maka tidak membatalkan.
Lalu, jika telah berumur 6 tahun, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat membatalkan, ada juga yang berpendapat tidak membatalkan.
Perbedaan tersebut didasarkan pada mental seseorang sehingga anak yang berumur 5 tahun, bisa saja membatalkan wudhu bagi orang yang tergerak birahinya. Tidak membatalkan bagi orang yang tidak tergerak syahwatnya. (Muhammad bin Umar al-Nawawi al-Bantani, Mirqat Shu’ud al-Tashdiq fi Syarh Sullam al-Taufiq hlm. 21)
Ayah/Ibu Tiri dan Saudara Tiri dan Mertua Tiri
Imam Syihabuddin al-Qalyubi dan Umairah dalam kitabnya al-Qalyubi wa Umairah menjelaskan bahwa anak tiri dapat membatalkan wudhu. Hal ini jika ibu dari anak tiri tersebut belum pernah disetubuhi oleh ayahnya yang baru.
Namun jika ayah barunya sudah pernah berhubungan dengan ibunya, maka hubungan antara anak tiri dengan ayahnya yang baru adalah mahram. Dengan demikian, maka jika bersentuhan tidak membatalkan wudhu karena mereka telah terikat hubungan mahram, maka keduanya tidak boleh menikah meski ibunya telah diceraikan atau meninggal. (Syihabuddin al-Qalyubi dan Umairah, al-Qalyubi wa Umairah, juz 1, hlm. 47)
Sementara saudara seayah atau seibu adalah mahram, bukan orang lain. Oleh karena itu mereka termasuk orang-orang yang haram dinikahi karena mahram, maka bersentuhan kulit dengan mereka tidak membatalkan wudhu. (Abu Bakar Syatha’, I’anat al-Tahlibin, juz 3, hlm. 327)
Adapun mertua tiri bagi menantu atau saudara tiri bagi saudaranya yang lain adalah ajnabi (orang lain;bukan mahram). Oleh karena itu, imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ memberikan fatwa tentang halalnya seorang laki-laki menikahi dua perempuan yang diantaranya adalah ibu dari ayahnya istri (mertua tiri). (Al-Nawawi, al-Majmu’, juz 16, hlm. 226)
Dengan demikian, jika menantu bersentuhan kulit dengan ibu mertua tiri, atau saudara tiri bersentuhan dengan saudaranya, maka menyentuhnya menyebabkan wudhunya batal.
Hikmah Batalnya Bersentuhan Kulit Dengan Lawan Jenis
Mengenai persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan ini, sebuah riset mengatakan bahwa ketika kulit perempuan disentuh oleh laki-laki, maka mereka akan merasakan kepanasan. Suhu tubuh perempuan akan langsung meningkat ketika kulit yang disentuh adalah bagian waja dan dada.
Riset tersebut dilakukan di Inggris dengan mengambil sampel dua kelompok. Kelompok laki-laki diberi rangsangan dengan memberi sentuhan pada bagian lengan, telapak tangan, wajah dan dada, dengan sinar probe, sambil diperlihatkan foto perempuan heteroseksual.
Sedangkan kelompok kedua (perempuan), diberikan sentuhan langsung oleh lawan jenis pada bagin tubuh yang sama. Ketika perempuan merasakan sentuhan tersebut, suhu kulit mereka meningkat mencapai 10 derajat celsius.
Namun efeknya tidak terlalu besar karena yang disentuh hanya tubuh bagian lengan atau telapak tangan. Suhu tubuh meningkat tiga kali lebih besar ketika yang menjadi objek risetnya adalah para laki-laki.
Ketika yang disentuh oleh laki-laki adalah tubuh bagian dada dan wajah, maka suhu tubuh perempuan meningkat lebih panas 0,3 derajat celsisus. Peningkatan suhu tubuh perempuan terbesar terjadi pada tubuh bagian wajah.
Barangkali karena alasan inilah, Islam mewajibkan umatnya untuk mengulangi wudhunya saat terjadi persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan ajnabi (bukan mahram). Tujuannya, air wudhu dapat mendinginkan suhu panas tubuh yang terjadi, sehingga pikiran menjadi lebih khusyu’ dan tenang saat mengerjakan salat.
Wallahu’alam bi showab.