Batasan hak orang kaya dan orang miskin atas daging kurban
Kurban menemukan relevansinya dalam kehidupan sosial manusia, sebab ia tidak hanya berkaitan dengan penghambaan kepada Allah, tapi juga sarana untuk saling berbagi antarsesama.
Saat musim kurban, seluruh elemen masyarakat Muslim bersama-sama menikmati “hidangan” Tuhan dengan penuh suka cita. Distribusi daging kurban tidak hanya dirasakan orang miskin, orang kaya juga turut serta menerimanya. Namun, tahukah anda ternyata ada perbedaan hak penerimaan antara kurban yang diterima orang kaya dan miskin? Berikut ini penjelasannya.
Ulama Syafi’iyyah menegaskan bahwa kurban yang diterima orang miskin berstatus tamlik (memberi hak kepemilikan secara penuh). Kurban yang diterima mereka menjadi hak miliknya secara utuh. Oleh karenanya, ia diperbolehkan mengalokasikan kurban yang diterimanya secara bebas, dengan menjual, menghibahkan, menyedekahkan, memakan, menyuguhkan kepada tamu, dan lain sebagainya.
Sementara kurban yang diterima orang kaya tidak menjadi hak miliknya secara utuh, ia hanya diperbolehkan menerima kurban untuk alokasi yang bersifat konsumtif, tidak diperkenankan mengalokasikannya untuk alokasi yang bersifat memindahkan kepemilikan secara penuh dan bebas. Oleh karenanya, orang kaya hanya diperkenankan memakan dan memberikan kepada orang lain untuk dimakan saja, seperti disuguhkan atau disedekahkan kepada tamu. Tidak diperbolehkan bagi orang kaya menjual, menghibahkan, mewasiatkan, atau alokasi serupa yang memberikan hak penuh kepada pihak yang diberi.
Hikmah dari pembatasan ini adalah agar distribusi daging kurban tidak dimonopoli untuk kepentingan orang kaya, sebab mereka pada dasarnya tidak perlu dibantu. Pihak yang justru paling berhak mendapat bantuan adalah orang miskin. Oleh karenanya, fuqaha menandaskan, “inna ghâyatahu ka hâlil mudlahhi” (orang kaya penerima sedekah kurban seperti orang yang berkurban).
Menurut Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, yang dimaksud orang kaya dalam konteks ini adalah orang yang tidak halal menerima zakat, yaitu orang yang memiliki harta atau pekerjaan yang mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Dari keterangan al-Ramli ini bisa dipahami, orang miskin dalam konteks penerima sedekah kurban adalah berkebalikan dari standar kaya di atas, yaitu orang yang aset harta dan pekerjaannya tidak mencukupi kebutuhannya dan keluarganya.
Penjelasan di atas berdasarkan referensi berikut ini:
وللفقير التصرف في المأخوذ ولو بنحو بيع المسلم لملكه ما يعطاه ، بخلاف الغني فليس له نحو البيع بل له التصرف في المهدي له بنحو أكل وتصدق وضيافة ولو لغني ، لأن غايته أنه كالمضحي نفسه ، قاله في التحفة والنهاية
“Bagi orang fakir boleh memanfaatkan kurban yang diambil (secara bebas) meski dengan semisal menjualnya kepada orang Islam, sebab ia memilikinya. Berbeda dari orang kaya, ia tidak diperkenankan menjualnya, tetapi ia hanya diperbolehkan mengalokasikan kurban yang diberikan kepadanya dengan semisal makan, sedekah, dan menghidangkan meski kepada orang kaya, sebab puncaknya ia seperti orang yang berkurban itu sendiri. Keterangan ini disampaikan dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah.”
“Al-Imam al-Ramli menduga yang dimaksud orang kaya adalah orang yang haram menerima zakat. Berkata Syekh Ba’asyin, pendapat yang menyatakan bahwa orang-orang kaya berhak memanfaatkan (tasaruf) kurban semaunya adalah pendapat yang lemah, meski ulama memanjangkan argumen untuk mendukungnya,” (Syekh Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 549).
وجوّز (م ر) أن يكون المراد بالغني من تحرم عليه الزكاة ، قال باعشن : والقول بأنهم أي الأغنياء يتصرفون فيه بما شاءوا ضعيف وإن أطالوا في الاستدلال له.
Dalam referensi lain, disebutkan:
وله إطعام أغنياء لا تمليكهم.
“Diperbolehkan bagi orang berkurban memberi makan kepada orang kaya, tidak memberinya hak milik.”
(قوله: لا تمليكهم) أي لا يجوز تمليك الأغنياء منها شيئا. ومحله إن كان ملكهم ذلك ليتصرفوا فيه بالبيع ونحوه كأن قال لهم ملكتكم هذا لتتصرفوا في بما شئتم أما إذا ملكهم إياه لا لذلك بل للأكل وحده فيجوز، ويكون هدية لهم وهم يتصرفون فيه بنحو أكل وتصدق وضيافة لغني أو فقير لا ببيع وهبة وهذا بخلاف الفقراء، فيجوز تمليكهم اللحم ليتصرفوا فيه بما شاؤا ببيع أو غيره.
“Ucapan Syekh Zainuddin; tidak memberinya hak milik; maksudnya tidak diperbolehkan memberi kepemilikan kepada mereka satu pun dari hewan kurban. Keterangan ini konteksnya adalah bila kepemilikan mereka atas hewan kurban untuk dimanfaatkan dengan cara menjual dan semacamnya. Seperti mudlahhi (orang yang berkurban) berkata kepada mereka, ‘Aku berikan kepemilikan daging kurban ini supaya kalian bisa mengalokasikannya sesuka hati.’ Adapun bila memberi mereka kepemilikan bukan karena hal demikian, tapi hanya untuk dimakan, maka boleh, dan menjadi hadiah untuk mereka. Mereka berhak memanfaatkan dengan semisal memakan, menyedekahkan, dan menyuguhkan meski kepada orang kaya, bukan dengan menjual dan menghibahkan. Hal ini berbeda dengan orang-orang fakir, maka boleh memberi kepemilikan daging kurban kepada mereka supaya mereka dengan sesuka hati memanfaatkan dengan menjual atau lainnya,” (Syekh Abu Bakr bin Muhammad Syatha al-Bakri, Hasyiyah I’anah al-Thalibin, juz.2, hal.379).
Demikian penjelasan mengenai perbedaan alokasi kurban yang diterima orang kaya dan miskin. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/108938/beda-hak-orang-kaya-dan-miskin-atas-daging-kurban