Bolehkah Mencium Istri saat Puasa di Bulan Ramadan?

 Bolehkah Mencium Istri saat Puasa di Bulan Ramadan?

Gus Iqdam: Muliakan Istrimu, Maka Rezekimu Akan Lancar (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Di antara pembahasan yang sangat menarik selama bulan Ramadan adalah batasan bercumbu/mencium bagi suami dan istri. Pasalnya, dalam Islam seorang laki-laki tidak diperbolehkan menggauli istrinya ketika sedang puasa, bahkan hal-hal yang bisa berpotensi pada syahwat juga dilarang. Lantas, seperti apakah batasannya?

Perlu diketahui, bahwa puasa sendiri adalah menahan diri dari hal-hal yang bisa membatalkannya. Dalam diskursus ilmu fiqih, yang membatalkan puasa terbagi menjadi dua bagian.

Tentunya, keduanya harus dijauhi dan dihindari sebisa mungkin. Jika tidak, maka puasanya akan batal dan memiliki kewajiban untuk mengganti (qadha’) puasa tersebut.

Dua hal yang harus dihindari itu adalah, (1) menghindar dari semua syahwat perut, seperti makan dan minum. (2) Menghindar dari syahwat kemaluan, seperti menggauli istri, dan hal-hal yang berpotensi padanya.

Hanya saja, pada pembahasan kali ini penulis akan fokus membahas term-term kedua, yaitu perihal batasan syahwat kemaluan bagi orang yang sudah menikah. Lebih tepatnya, batasan hubungan suami dan istri saat berpuasa.

Dalil Diharamkan Menggauli Istri Saat Berpuasa

Sebelum membahas lebih jauh, terdapat satu ayat Alquran yang penting untuk diketahui bersama, yang juga berkaitan dengan pembahasan di atas. Allah ‘azza wa jalla berfirman:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Artinya, “Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkat ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187).

Ayat di atas menjadi dalil diharamkannya menggauli istri pada siang hari bulan Ramadan, hingga terbenamnya matahari (waktu berbuka puasa). Lantas, bagaimana untuk selain itu? Misalnya, mencium dan semacamnya?

Mencium Istri Perspektif Para Ulama

Sebagaimana jamak diketahui bersama, para ulama menilainya dengan perspektif yang berbeda-beda mengenai hukum. Termasuk hukum-hukum yang tidak mendapatkan respon langsung dari Alquran dan hadis.

Perihal mengauli istri di siang hari Ramadan, para ulama sepakat tidak boleh karena melanggar ketentuan Alquran. Selain itu, seperti mencium dan bercumbu misalnya, mereka memiliki pendapat yang tidak sama.

Imam Abu Yahya Muhyiddin bin Syarf an-Nawawi (wafat 676 H), dalam kitab monumentalnya menampilkan beberapa pendapat para ulama fiqih. Perihal hukum mencium istri bagi suami, di siang hari bulan Ramadan. Dalam kitab itu disebutkan,

Mazhab Syafi’iyah

Dalam mazhab Imam Syafi’i dan semua pengikutnya, sepakat bahwa hukum mencium istri adalah makruh, jika di saat yang bersamaan menimbulkan rangsangan syahwat. Jika tidak, maka hukumnya boleh.

ذَكَرَنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا كَرَاهَتُهَا لِمَنْ حَرَكَتْ شَهْوَتُهُ وَلَا تُكْرَهُ لِغَيْرِهِ وَالْاَوْلَي تَرْكُهَا

Artinya, “Berkata kepada kami, bawa sesungguhnya mazhab kita (Syafi’iyah) menghukumi makruh (mencium istri) bagi orang (suami) yang bisa timbul syahwat. Dan, tidak makruh bagi selainnya (yang tidak timbul syahwat). Hanya saja, yang lebih baik tidak melakukannya.”

Mazhab di Luar Syafi’iyah

Ada banyak pendapat para ulama yang juga layak diikuti dalam pembahasan yang satu ini. Baik dari lintas mazhab empat, hingga para tabi’in juga pernah berkomentar perihal hukum yang satu ini.

رَخَّصَ فِي الْقُبْلَةِ عُمَرُ. وَكَانَ سَعَدُ لَا يَرَى بِالْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ بَأْسًا وَكَانَ اِبْنُ عُمَرَ يَنْهَى عَنْ ذَلِكَ وَكَرَهَ مَالِكُ الْقُبْلَةَ لِلشَّابِ وَالشَّيْخِ فِي رَمَضَانَ وَأَبَاحَتْهَا طَائِفَةٌ لِلشَّيْخِ دُوْنَ الشَّابِ.

 

Artinya, “Sahabat Umar bin Khattab memberikan keringanan (membolehkan) dalam mencium. Sahabat Sa’ad bin Abi Waqash menganggap bercumbu (selain jima’) bagi orang puasa hukumnya tidak masalah, sedangkan Ibnu Umar melarangnya. Mazhab Malik menghukumi makruh mencium istri, baik bagi orang tua maupun pemuda di siang Ramdhan, dan sebagian golongan ulama memperbolehkan bagi orang tua, bukan remaja.”

قَالَ سَائِرُ الْفُقَهَاءِ اَلْقُبْلَةُ لَا تُفْطِرُ اِلَّا أَنْ يَكُوْنَ مَعَهَا اِنْزَالٌ فَاِنْ اَنْزَلَ مَعَهَا أَفْطَرَ وَلَزِمَهُ الْقَضَاءُ دُوْنَ الْكَفَارَةِ

Artinya, “Berkata sebagian ulama: Mencium istri tidak membatalkan puasa, kecuali di saat yang bersamaan inzal (keluar mani). Maka, jika keluar mani, puasanya batal dan wajib baginya untuk mengganti (qadha’) tanpa harus membayar kafarah (denda).” (Imam Nawawi, Majmu’ Sayarhi al-Muhadzdzab, [Beirut, Darul Fikr: 1999], juz VI, halaman 355).

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bercumbu dengan istri (selain jima’) masih diperdebatkan hukumnya oleh para ulama. Ada yang menilai bahwa hukumnya makruh jika tidak syahwat, da nada yang menilai tidak makruh sekalipun syahwat, dengan catatan tidak sampai keluar mani.

Dengan demikian, batasan diperbolehkannya bercumbu dengan istri adalah sepanjang tidak sampai syahwat yang bisa bepotensi keluar mani. Kendati demikian, lebih baik tidak melakukannya, selain untuk menghindar dari hal-hal yang syahwat kemaluan, juga untuk menjaga sakralitas bulan Ramadhan di siang hari.

Ahmad Sunnatulloh

Penikmat Kitab Salaf Pegiat Literasi dari bilik Pesantren

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *