Batas Usia yang Dikenai Hukum Batal Wudhu Saat Bersentuhan
HIDAYATUNA.COM – Tentang batas usia anak kecil yang membatalkan dan tidak membatalkan wudhu, dijelaskan Ustaz Ali Zainal Abidin dalam Islam.nu.or.id. Para ulama memberikan pandangan bahwa yang menjadi pijakan adalah ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat).
Sehingga tidak ada ketentuan usia khusus yang menjadi patokan dalam menentukan batas usia anak kecil yang membatalkan atau tidak membatalkan wudhu ini. Namun sebagian ulama lain ada yang menjadikan patokan khusus dalam menentukan usia anak yang sudah tidak masuk dalam kategori ini.
Salah satunya adalah yang diungkapkan oleh Syekh Yusuf as-Sanbalawini bahwa usia tujuh tahun adalah batas akhir dari anak yang tidak menimbulkan syahwat. Jadi ketika anak sudah berusia tujuh tahun, maka menyentuhnya dapat membatalkan wudhu.
Anak yang dianggap masih dalam tahapan tidak disyahwati adalah anak yang masih berusia lima tahun ke bawah. Menyentuhnya tidak membatalkan wudhu.
Lalu anak yang berusia enam tahun, dalam hal ini Ustaz Ali Zainal Abidi mengungkapkan, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Tepatnya antara yang berpendapat membatalkan dan tidak membatalkan.
Batas Usia Anak yang Tidak Membatalkan Wudhu Ditentukan ‘Urf Atau Common Sense
Ketentuan demikian seperti yang terdapat dalam kitab Mirqah Shu’ud at-Tashdiq:
ـ (ولمس بشرة الأجنبية مع كبر) يقينا فلا تنقض صغيرة لا تشتهى لأنها ليست في مظنة الشهوة. والمرجع في المشتهاة وغيرها إلى العرف على الصحيح. قال الشيخ أبو حامد: التي لا تشتهى من لها أربع سنين فما دونها أفاد ذلك الدميري. وقال شيخنا يوسف السنبلاويني: فإذا بلغ الولد سبع سنين فإنه ينقض باتفاق ذكرا كان أوأنثى وإذا بلغ خمس سنين فلا ينقض باتفاق. وأما إذا بلغ ستّ سنين ففيه خلاف فقيل ينقض وقيل لا. وهذا يرجع إلى طباع الناس حتّى أنّ الولد الذي بلغ خمس سنين فقط ينقض لمن يشتهيها ولا ينقض لغيره
“Dan (di antara hal yang membatalkan wudhu) menyentuh kulit wanita lain (bukan mahram) yang telah besar secara yakin. Maka tidak batal menyentuh gadis masih kecil yang tidak menimbulkan syahwat.
Sebab ia bukanlah orang yang layak untuk dijadikan sebagai madzinnah as-syahwat (objek yang diduga kuat akan menimbulkan syahwat). Parameter dalam penentuan wanita yang disyahwati dan yang tidak disyahwati adalah urf (kebiasaan manusia setempat) menurut pendapat yang sahih.
As-syaikh Abu Hamid berkata: ‘perempuan yang tidak disyahwati adalah orang yang masih berusia empat tahun dan usia di bawahnya’ hal ini dikutip oleh Imam Ad-Damiri. Guruku, Yusuf As-Sanbalawini berkata, ‘ketika anak telah berusia tujuh tahun maka (menyentuhnya) dapat membatalakan wudhu menurut kesepakatan para ulama.
Baik laki-laki maupun perempuan. Dan ketika berusia lima tahun maka (menyentuhnya) tidak membatalkan wudhu menurut kesepakatan para ulama. Sedangkan ketika berusia enam tahun maka terjadi perbedaan pendapat, ada yang berpendapat membatalkan ada pula yang berpendapat tidak membatalkan.
Ketentuan ini berpijak pada perwatakan manusia, sampai seandainya anak yang berusia lima tahun saja (menyentuhnya) dapat membatalkan wudhu bagi orang yang merasa syahwat padanya. Dan tidak membatalkan bagi orang yang tidak syahwat padanya.” (Muhammad bin ’Umar Nawawi al-Bantani, Mirqah Shu’ud at-Tashdiq, hal. 44)