Barokah Itu Nyata
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Dulu ada seorang anak miskin yang mengaji di luar jendela pojok dekat pintu mushola itu. Dengan tubuhnya yang kurus, dari balik teralis jendela dia menguping kajian kyainya di dalam mushola.
Dia sang anak miskin tidak punya nyali untuk masuk ke dalam dan bergabung dalam majelis sebab dia tahu bahwa dia belum waktunya ada di situ.
Majelis kajian itu untuk para santri yang tingkatan madrasah diniyahnya sudah Aliyah atau minimal Tsanawiyah, sedangkan dia saat itu masih Ibtida’iyah.
Agak susah baginya menulis makna yang dia dengar samar-samar dari luar, apalagi kosa kata dan istilah-istilah yang dibahas masih sangat asing baginya.
Bagaimana tidak, itu adalah majelis kajian kitab Hasyiyah al-Bannani ‘ala Syarh al-Mahalli ala matn Jam’ il Jawami’ (Ushul Fikih) dan al-Asybah Wan Nadha’ir (Kaidah fikih).
Keduanya kitab berat dan lumrahnya perlu mengaji banyak kitab pendahuluan terlebih dahulu untuk bisa memahaminya.
Seorang seniornya ada yang bertanya mengapa dia ikutan ngaji itu padahal masih Ibtida’iyah?
Dia menjawab singkat karena dia disuruh bapaknya mumpung masih bisa ngaji ke Kyai.
Bapaknya ingin anaknya itu bisa mengaji langsung ke gurunya yang saat itu sudah sepuh dengan niat mencari barakah.
Si anak ditanya oleh seniornya itu apakah dia paham? Dia jawab sambil cengengesan,
“Jangankan paham, menulis maknanya saja sulit; Selain istilahnya asing, terdengar samar-samar, bacaannya cepat pula.”
Seniornya hanya tersenyum lalu pergi. Sekitar satu setengah tahun kemudian, entah bagaimana ceritanya kedua kitab tersebut mulai bisa dipahaminya dengan cukup baik, bahkan kaidah-kaidah fikih sudah banyak yang dia hafal berikut contoh kasusnya.
Padahal, kyainya hanya memaknai dengan makna Jawa dan nyaris tanpa keterangan. Tak ada pemetaan (mind mapping), tak ada papan tulis, tak ada tanya jawab, tak ada ujian dan tak ada mikrofon.
Anehnya, dia dan kebanyakan kawan-kawannya bisa paham. Majelisnya senyap sebab hanya terdengar suara teduh Kyai.
Tapi isi kepala para santri yang hadir terasa ramai seolah penulis kitabnya berbicara langsung pada mereka dan sesekali mengajak mereka hadir dalam diskusi seru para imam yang memperdebatkan berbagai masalah.
Beberapa tahun kemudian, anak tersebut merasa mudah ketika membaca kitab-kitab ushul fikih dan fikih yang lumayan angker.
Dia berpikir, itu pastilah barakah yang dicarinya dulu. Dua puluh empat tahun kemudian, si anak itu menulis tulisan ini. []