Bani Israel, Yahudi dan Ahli Kitab
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Bercerita tentang Bani Israel, Yahudi dan Ahli kitab memang tidak ada habis-habisnya. Mulai dari zaman Nabi Musa hingga zaman sekarang, ada banyak catatan sejarah yang menarik untuk diingat.
Di masa Nabi Musa, Bani Israil dalam Alquran dikisahkan punya nasib tragis. Awalnya terjadi paceklik berkepanjangan di negeri mereka sehingga terpaksa mengungsi ke Mesir di zaman Nabi Yusuf.
Namun sepanjang beberapa abad, bangsa Mesir menjadikan bangsa ini sebagai budak dan dipekerjakan secara paksa. Lalu lahirlah Nabi Musa dari kalangan mereka yang berhasil membebaskan mereka dari Mesir, eksodus pulang ke tanah leluhur.
Sayangnya, di tengah jalan mereka dihukum Allah gara-gara menyembah patung anak sapi sehingga mereka dibuat tersesat di gurun Sinai selama 40 tahun. Nabi Musa dan Harun alaihimassalam konon wafat dalam suasana mereka tersesat 40 tahun.
Masa Nabi Muhammad SAW
Di masa kenabian Muhammad SAW, mereka-lah yang awalnya mengabarkan kedatangan nabi terakhir. Sebagian mereka bahkan sampai ada yang pindah ke tanah Arab yaitu Madinah.
Wajar kalau penduduk Madinah lebih mudah menerima kenabian Muhammad SAW ketimbang penduduk Mekkah. Masuknya Islam ke Madinah nyaris tanpa penolakan.
Sedikit banyak ada jasa mereka dalam meyakinkan konsep kenabian dan agama samawi.
Ketika Nabi SAW akhirnya hijrah ke Madinah, sempat terjadi kesepakatan untuk hidup berdampingan dengan Yahudi lewat Piagam Madinah.
Sayangnya akibat beberapa pengkhiatan, terjadilah pengusiran kelompok Yahudi dari Madinah. Mulai dari Bani Qainuqa’ pasca Badar, pengusiran Bani Nadhir pasca Uhud, hukuman mati buat Bani Quraodhaj pasca Khandak dan yanf paling dahsyat adalah dihabisinya Yahudi Khaibar.
***
Namun pengusiran Yahudi di Madinah tidak bersifat total. Hanya sebatas mereka yang berkhianat dan memusuhi saja. Sementara sisanya yang baik dan setia tetap ada.
Salah satu buktinya bahwa ketika Nabi SAW wafat masih punya hutang kepada orang Yahudi dengan jaminan baju besi. Artinya, komunitas Yahudi yang tidak mencederai perjanjian masih ada. Mereka tidak diusir juga tidak diperangi. Mereka malah tetap menyatakan setia dan meminta perlindungan (dzimmah) kepada Nabi SAW.
Ketika Nabi SAW mempercayai mereka yang setia, mereka pun mendapatkan jaminan keamanan dari Nabi SAW. Malah sampai Nabi SAW sendiri yang melarang para shahabat agar tidak mengganggu mereka.
من عادني وليا فقد آذنته بالحرب
“Siapa yang mengganggu orang kafir yang aku lindungi, maka dia aku perangi.”
Dari situlah muncul istilah kafir dzimmi atau ahli dzimmah.
Masa Khilafah Islam
Oleh karena itu sepanjang 13 abad kita saksikan bahwa pusat pemerintahan Islam menjadi tempat perlindungan paling aman buat Yahudi dan keturunan Bani Israel. Di mana ada ibu kota peradaban Islam, di situ pasti ada komunitas Yahudi yang dilindungi oleh para Khalifah.
Maka, jangan heran kalau di Istambul yang pernah jadi ibukota khilafah Utsmani justru banyak sekali komuntas Yahudi. Sebab mereka memang dilindungi Khalifah. Tentu bukan yang model pengkhiatan, tapi mereka yang siap taat dan tunduk pada konstitusi.
Keadaan dunia Islam aman dari perang melawan Yahudi selama berabad-abad. Perang yang terjadi justru melawan Nasrani, khususnya Perang Salib yang menghabiskan durasi tidak kurang dari 200 tahun.
Maka kalau ada hadits bahwa umat Islam menjelang kiamat memerangi Yahudi, pasti bikin bingung. Sebab sepanjang 13 abad Yahudi anteng-anteng saja. Tidak pernah bikin ulah ngajakin perang.
Bagaimana mau perang, sementara mereka sendiri dimusuhi oleh semua bangsa di dunia. Tempat paling aman untuk komunitas Yahudi justru di pusat kekuasaan umat Islam.
Masa Modern
Namun terjadilah apa yang terjadi. Tahun 1948 tiba-tiba Yahudi sedunia berkumpul dan mendirikan negara Israel, di tengah sebuah negeri yang berdaulat.
Rupanya diam-diam mereka sudah jauh lebih siap baik dari segi dana, milite, senjata bahkan juga kekuatan ekonomi dunia ada di tangan mereka.
Lalu pecahlah perang Arab lawan Israel dalam beberapa pertempuran besar. Untuk tahun 1948 sama 1973 Israel diserang duluan. Tapi di tahun 1967 Israel justru yang menyerang duluan dengan dalih preventive action.
Khusus perang Arab Israel tahun 1973 sedikit kompleks. Israel yg memulai Perang dan Arab yang memulai pertempuran. Rupanya dalam Perang yang dikenal dengan Yom Kippur banyak sekali jatuh korban di pihak Israel.
Catatan sejarah menyebutkan Israel telah kehilangan 2.800 personil. Jumlah korban jauh melonjak dibandingkan Perang 6 hari 1967 dimana saat itu korban dari pihak Israel cuma 500-an orang saja.
Padahal populasi Israel di dunia terbatas sekali, atau nyaris punah. Diperkirakan hanya belasan ribu saja. Kalau perang melulu, lama-lama punah.
Zaman segitu Israel dipimpin seorang tokoh bernama Jenderal Moshe Dayan. Matanya cedera saat perang Dunia kedua, lalu ditutup seperti Nick Fury.
Lawakan Prambos jadul terkait Jendral Moshe Dayan, bahwa penyebab perang Arab Israel cuma gara-gara hal sepele, yaitu Moshe Dayan tersinggung karena dia diundang untuk perundingan empat mata dengan raja Arab.
***
Makanya sejak jaman PM Menachem Begin, pendekatan Israel perlahan mulai berubah jadi lebih soft dan mengutamakan perundingan. Perang mungkin mereka bisa menang tapi mau berapa ribu lagi nyawa tentaranya yang harus dikorbankan untuk bisa menggapai kemenangan?
Sebenarnya bukan Israel aja yang trauma kalah perang, negara Arab juga capek perang terus, meski beda krisisnya. Buat negara Arab, matinya banyak SDM barang bukan isu besar seperti yang dirasakan Israel, tapi keuangan negara mereka hancur lebur untuk membiayai perang.
Kota-kota mereka pun hancur akibat dirudal oleh Israel. Rakyat hidup miskin tidak makan. Negara tidak bisa memberi pelayanan untuk rakyatnya. Tidak ada listrik, air, gas, kesehatan dan tidak ada penghasilan buat menghidupi keluarga.
Kalau durasi perangnya sebulan dua bulan, mungkin masih maklum. Tapi kalau berpuluh tahun negara perang terus, rakyat melarat semua, lama-lama pada mati. Terus buat apa ada negara kalau rakyatnya habis disedot potensinya hanya untuk perang terus?
Makanya lama-lama kedua belah pihak capek juga perang terus. Energi mereka sama-sama habis terkuras tanpa ada yang bisa menang dan kalah.
***
Israel pun akhirnya mengembalikan wilayah negara tetangga yang sempat dicaploknya. Gurun Sinai dikembalikan ke Mesir, begitu juga tepi Barat Sungai Jordan. Lalu mereka duduk di meja perundingan.
Sepertinya sekarang kedua pihak sudah tidak bermusuhan satu sama lain dan lebih banyak melakukan perdamaian. Kalau bisa berdamai ngapain perang, kira-kira begitu logikanya.
Namun lain sikap resmi negara, lain pula sikap sebagian rakyatnya. Terbentuklah pasukan swasta atau milisi, mereka tetap terus menyerang Israel, entah dapat dana dan senjata dari mana, yang pasti itu bukan tindakan resmi dari salah satu negara Arab. Lebih merupakan gerakan swasta.
Di Mesir ada Ikhwanul Muslimin (IM) yang pernah secara sepihak mengirim 10.000 pasukan menyerang Israel. Akibatnya, IM berurusan pemerintah Mesir. Di Lebanon ada Gerakan Amal yang dimotori oleh tokoh Syiah, dikenal dengan milisi Syiah.
Di pihak negara Palestina sendiri pecah dua, ada PLO dan Hamas. Hamas ini banyak disokong oleh IM, hingga tahun 1987 mencetuskan gerakan Intifadhah dengan tokoh Syeikh Ahmad Yasin.
Sikap Indonesia
Banyak negara Arab yang sudah damai dengan Israel dalam arti formal, yaitu mereka membangun hubungan diplomatik. Contohnya di Mesir ada Kedutaan Besar Israel dan di Israel ada kedutaan Besar Mesir.
Dari sekian banyak negara yang sudah membangun hubungan diplomatik dengan Israel, kita Indonesia sampai hari ini masih belum membuka hubungan itu. Dalam pemahaman para pendiri negara kita, Israel dianggap sebagai agresor, penjajah yang mencaplok negara lain yang berdaulat.
Kemerdekaan itu adalah hak semua bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Begitu kata pembukaan UUD kita, tapi lain di level formal lain di level kenyataan.
Banyak sekali jamaah umrah Indonesia yang membundel perjalanan mereka ke Al-Aqsha. Padahal untuk sekarang ini posisi Al-Aqsha masih berada di bawah negara Israel.