Baldatun Thayyibatun: Negeri Aman, Nyaman dan Sejahtera Tanpa Khilafah

 Baldatun Thayyibatun: Negeri Aman, Nyaman dan Sejahtera Tanpa Khilafah

Baldatun Thayyibatun: Negeri Aman, Nyaman dan Sejahtera Tanpa Khilafah (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Selama ini propaganda yang dibangun oleh para aktivis khilafah adalah dengan  cara memperlihatkan kebobrokan-kebobrokan yang terjadi dalam sistem bernegara ini.

Melalui cara tersebut mereka dengan mudah membangun narasi-narasi propaganda dan provokatif dengan argumen jika masih saja menggunakan sistem bernegara ala barat seperti ini maka umat Islam di Indonesia akan mengalami kesengsaraan secara terus menerus karena selalu dihadapkan dengan pemimpin yang zalim dan cara bernegara yang salah, menurut mereka.

Oleh sebab itu salah satu cara untuk mengehentikannya adalah dengan menjalankan syari’at Islam yang kaffah dalam naungan sistem khilafah.

Berangkat dari hal di atas, para aktivis khilafah yang bercita-cita untuk mendirikan sistem khilafah ini mempunyai keyakinan bahwa seluruh umat Islam akan selalu merasa damai, aman, nyaman dan sejahtera dalam naungan sistem khilafah tersebut.

Padahal dalam Al-Qur’an sendiri konsep negeri aman, nyaman dan sejahtera tidak disebutkan secara spesifik bagaimana sistem pemerintahannya, melainkan hanya disebutkan secara global dengan istilah baldatun thayyibatun (negeri yang baik).

Lantas bagaimana negeri yang baik itu? Hal ini digambarkan dalam Q.S. Saba’ ayat 15:

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِى مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا۟ مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لَهُۥ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

Artinya:

“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.

(Kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.”  (Q.S. Saba’ ayat 15)

Sebuah negeri yang digambarkan dalam al-Qur’an dengan kehidupan rakyatnya yang makmur, aman dan nyaman tersebut merupakan negeri yang dipimpin oleh seorang ratu bernama Bilqis.

Negeri tersebut adalah negeri saba’. Sebuah negeri yang dianugerahi kesuburan alam yang luar biasa, bahkan jika seorang pejalan kaki meletakan keranjang di atas kepala dan sambil berjalan maka keranjang tersebut akan dipenuhi oleh buah-buahan yang berjatuhan.

Dalam tafsir Al-Misbah, Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa negeri yang mendapatkan julukan baldatun thayyibatun yaitu negeri yang aman sentosa, rezeki melimpah yang dapat diperoleh secara mudah oleh penduduknya.

Serta terjalin pula hubungan harmonis kesatuan dan persatuan antara anggota masyarakatnya.  Selain memiliki alam yang subur negeri Saba’ juga dianugerahi lokasi yang starategis.

Jaraknya yang tidak terlalu jauh dari Palestina, Libanon dan Suriah memudahkan masyarakat Saba’ untuk singgah di mana dan kapan saja tanpa rasa cemas sedikitpun.

Baldatun Thayyibatun itu Indonesia

Melihat bagaimana al-Qur’an menggambarkan negeri saba’ dengan tanahnya yang luas, subur dan rakyatnya yang sejahtera serta lokasinya yang strategis, penulis berasumsi bahwa negeri Saba’ sama halnya dengan Indonesia hari ini.

Walaupun pada akhirnya penduduk negeri saba’ mendapatkan kehancuran karena keberpalingan dan kurangnya rasa syukur dengan segala kenikmatan yang diberikan Tuhan. Tapi bukan itu poin yang ingin penulis sampaikan.

Poin yang ingin penulis sampaikan di sini adalah apa yang dimiliki oleh negeri Saba’ pada waktu itu hari ini juga dimiliki oleh Indonesia, bahkan mungkin lebih dari itu.

Indonesia tidak hanya memiliki tanah yang subur dengan sektor pertambangan yang luar biasa, rempah-rempah yang melimpah tetapi juga lautannya yang dapat dimanfaatkan sebagai tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Sebagaimana penggalan dalam lirik lagu kolam susu karya Koes Ploes: “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”

Lirik lagu tersebut menggambarkan bahwa Indonesia merupakan negeri yang dianugerahi kenikmatan oleh Allah.

Sekarang kita beralih kepada masyarakatnya. Selain memiliki kekayaan alam, Indonesia juga dikenal dengan ragam suku, bahasa, agama, dan budaya.

Sampai hari ini para penduduk yang beragam tersebut tetap menjalin keharmonisan antara sesama saudara senegara, bukan suku, apalagi agama.

Mereka hidup dengan damai, nyaman dan berdampingan dalam bingkai pancasila dengan semboyan bhenika tunggal ika. Walaupun penulis tidak bisa menafikan perselisihan itu pasti terjadi.

Tetapi perselisihan tersebut tidak dapat menjadi alasan untuk tidak mengatakan bahwa masyarakat Indonesia pada hakikatnya telah nyaman dan senang bergaul dalam perbedaan dan hidup dalam persatuan.

Baldatun Thayyibatun itu Bukan Khilafah

Gambaran negeri nyaman dan sejahtera sepertinya sudah terbentuk sejak lama di Indonesia.

Dengan ideologi Pancasila sebagai dasar negara yang telah mendarah daging pada masyarakatnya yang kemudian nilai-nilai Pancasila tersebut dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa digantikan begitu saja.

Hal ini karena Indonesia bukan negara agama karena dasar negara dan undang-undang yang dibentuk tidak condong kepada agama tertentu.

Kemudian indonesia juga bukan negara sekuler karena negara turut hadir dalam mengatur aspek-aspek yang ada dalam agama.

Para aktivis khilafah yang selama ini selalu berusaha untuk menggulingkan sistem pemerintahan hari ini beranggapan bahwa agama dibenturkan dengan negara, sehingga stigma yang dibangun adalah negara menindas agama.

Padahal sebenarnya pancasila merupakan sebuah cara dalam meromantisasi keduanya agar tidak terjadi benturan-benturan yang mengakibatkan pertikaian, mengingat Indonesia tidak hanya ditempati oleh satu identitas tetapi ragam identitas hadir dalam ruang-ruang masyarakatnya.

Oleh sebab itu suasana keberagaman yang telah terjalin sejak lama menjadikan indonesia sebagai negara yang baldatun thoyyibatun.

Sebuah negeri yang nyaman, aman dan sejahtera bukan karena seragam tetapi karena beragam. Justru jika khilafah hadir dalam sistem negara di Indonesia maka akan menimbulkan banyak konflik dan pertikaian.

Karena pemahaman khilafah adalah pemahaman yang hanya membenarkan satu identitas keagamaan dan tidak membenarkan yang lain.

Jika itu terjadi  maka Indonesia tidak lagi menjadi baldatun thayyibatun, tetapi baldatun sayyiatun. Wallahua’lam. []

Khairun Niam

Khairun Niam adalah seorang mahasiswa dan santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta. Dapat disapan melalui Instagram @khn.niam10.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *