Bahasa Arab dan Tren Hijrah Masyarakat Milenial
Bahasa Arab dan tren hijrah adalah dua hal yang saat ini tidak lepas dari masyarakat milenial era ini.
Naiknya bahasa Arab dan hijrah di tengah masyarakat milenial sebagai tren ini dibawa oleh media informasi.
Kita tahu, masyarakat milenial hidup berbaur dengan media informasi yang lajunya sangat cepat sehingga sulit untuk dikendalikan.
Hal ini memudahkan masyarakat milenial menerima informasi baru seperti tren hijrah dan menggunakan Bahasa Arab dalam keseharian.
Kecepatan arus informasi ini dalam waktu yang singkat dapat diakses dengan gawai yang dimiliki. Terlepas informasi itu benar atau hanya hoax.
Di antara hal positif yang diuntungkan dengan penyebaran informasi ini adalah mudahnya mengakses kajian-kajian keagamaan.
Kajian keagamaan itu banyak diakses melalui media Youtube ataupun media lainnya.
Konten-konten keislaman pun mudah dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat.
Walau demikian, kemudahan tersebut sering sekali mengakibatkan efek yang negatif
Pasalnya, jika semua informasi dilahap mentah-mentah tanpa adanya filter yang kuat dan mapan.
Efek dari cepatnya laju informasi dan komunikasi ini diantaranya mudahnya memviralkan dan menjadikan tren.
Dalam hal ini, media sosial menjadi sarana penguhubung yang diidolakan oleh masyarakat.
Media sosial memfasilitasi masyarakat untuk mencari tren. Selain itu sekaligus untuk memviralkan informasi atau konten-konten tertentu.
Salah satu fenomena keagamaan yang kini menjadi tren dalam kehidupan beragama adalah hijrah.
Hijrah merupakan serapan dari bahasa Arab yang menurut kamus al-ma’any berarti keluar dari satu daerah ke daerah lain, atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Secara istilah, hijrah berkaitan dengan kejadian bersejarah yang sampai saat ini diperingati sebagai Tahun Baru Islam, yaitu proses pindahnya Nabi Muhammad dari Makah menuju Madinah.
Senada dengan itu, menurut kamus besar Bahasa Indonesia online, hijrah memiliki 3 makna:
Pertama, hijrah berarti perpindahan Nabi Muhammad Bersama para pengikutnya dari Makah ke Madinah.
Kedua, hijrah berarti menyingkir sementara ke tempat lain untuk alasan keselamatan atau kebaikan dan ketiga hijrah berarti perubahan ke arah yang lebih baik.
Maka sangat tidak relevan sekali jika hijrah hanya dimaknai dengan cadar atau jubah.
Seperti diawal popularitasnya, tren hijrah disimbolkan dengan baju gamis yang lebar, niqab atau cadar, laki-laki yang menggunakan celana di atas mata kaki dan tanda hitam di dahi.
Bisa dikatakan jika hijrah pada fase itu beralih dari gaya hidup hedonis yang ekstrim menuju gaya hidup syar’i yang ekstrim pula.
Maka tidak sedikit para selebritis yang kemudian keluar dari dunia popularitasnya menuju jalan sunyi yang lebih menjanjikan ketenangan hati.
Namun pada perjalanannya, ekspresi hijrah seseorang kini meluas.
Banyak selebritis yang berhijrah dengan menutup auratnya namun tetap trendy dengan hijab yang divariasikan beraneka ragam.
Tren ini memunculkan brand-brand hijab kekinian yang diproduksi oleh selebritis dan dapat dibeli oleh masyarakat umum dengan harga yang standar.
Pakaian-pakaian yang dikenakan pun tidak selalu gamis yang berwarna gelap dan bermotif polos namun bercorak elegan dan terkesan mewah.
Bahkan banyak yang mengenakan setelan tetapi tanpa mengurangi esensi dari menutup aurat.
Maraknya fenomena hijrah tersebut kemudian membawa pengaruh pada Bahasa Arab yang dalam beberapa tahun belakangan ini.
Bahasa Arab bak primadona bagi para pelaku hijrah, yang mengangap bahasa Arab lebih keren dan lebih islami.
Sehingga seringkali terlontar kata-kata berbahasa Arab untuk menunjukan identitas kehijrahannya.
Misalnya kata ana, antum, halaqah, isbal, rihlah, qadarullah bahkan kalinat Masya Allah dan Tabarakallah yang akhir-akhir ini seolah menjadi tagline yang keren.
Jika sebelumnya bahasa Arab hanya dipelajari oleh santri-santri yang mengaji di pondok atau siswa yang belajar di Sekolah berbasis Islam, kini bahasa Arab juga diminati oleh masyarakat umum.
Tren Hijrah yang beberapa tahun ini menjamur di berbagai kalangan tentu menjadi salah satu sebab bahasa Arab memiliki nilai jual yang tinggi.
Kemudian bermunculanlah konten-konten belajar bahasa Arab yang mudah diakses semua orang.
Bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an memang seharusnya dipelajari oleh siapa saja yang tertarik dengan kajian Islam.
Hal itu supaya Islam bisa dipelajari secara lebih komperhensif, tidak hanya mengikuti ustadz secara membabi buta bahkan mengkultus ajarannya sebagai kebenaran tunggal.
Mempelajari bahasa Arab sebagai sarana memahami Islam barangkali akan lebih memberikan pandangan yang lebih luas terkait dengan dogma-dogma agama.
Sehingga akan lebih toleran terhadap perbedaan, tidak fanatik tidak juga liberal.
Selain itu mempelajari bahasa Arab juga diperlukan untuk membaca Islam yang sudah menjadi sejarah dan Islam yang kini adir di tengah zaman yang berbeda dengan zaman pada masa Islam turun.
Dengan ini masyarakat diharapkan tidak terjebak dalam mengikuti langkah orang Arab hanya karena al-Qur’an berbahasa Arab.
Bagaimana pun juga, bangsa Arab tidak selalu lebih islami dari pada bangsa manapun.
Artikel ini ditulis oleh Tika Fitriyah, Dosen Bahasa Arab UIN Sunan Kalijaga