Bagaimana Hukum Mendahului dan Atau Menyamai Gerakan Imam?

Muslim Alaska Manfaatkan Sholat Jum’at Sebagai Momentum Berkumpul
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Persoalan mendahului atau menyamai gerakan imam sangat terkait dengan keabsahan berjamaah. Berjamaah sendiri dapat meningkatkan peluang diterimanya salat-salat kita dibanding dengan salat sendirian.
Bahkan bonus pahala yang didapatkannya pun secara kuantitas lebih banyak dan besar salat berjamaah daripada salat sendiri.
Lalu bagaimana pandangan ulama empat mazhab tentang hukum berjamaah? Berikut penjelasannya:
Mazhab Hanafi
Menurut ulama Hanafiyah, hukum berjama’ah adalah sunnah ain yang sangat dianjurkan (sunnah ain mu’akkadah) yang semakna dengan wajib.
Tingkatannya sedikit di bawah fardhu. Artinya, jika seseorang meninggalkan salat berjama’ah, maka ia berdosa satu tingkat di bawah dosa ketika meninggalkan hal-hal yang sifatnya fardhu.
الحنفية قالوا: صلاة الجماعة في الصلوات الخمس المفروضة سنة عين مؤكدة، وإن شئت قلت هي واجبة، لأن السنة المؤكدة هي الواجب على الأصح؛ وقد عرفت أن الواجب عند الحنفية أقل من الفرض وأن تارك الواجب يأثم إثماً أقل من إثم تارك الفرض.
Artinya:
“Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa hukum salat berjama’ah lima waktu adalah sunnah ain mu’akkadah. Atau sama dengan wajib menurut pendapat yang paling sahih.
Setahu saya tingkatan wajib menurut ulama’ Hanafiyah satu tingkat di bawah fardhu. Orang yang meninggalkan hal-hal yang hukumnya wajib berdosa satu tingkatan lebih ringan dibanding dosa karena meninggalkan kefardhunan.”
Mazhab Maliki
Dalam mazhab Malikiyah, salat berjama’ah hukumnya ada dua. Pertama sunnah mu’akkadah bagi masyarakat di sebuah desa yang semuanya sudah berstatus mukallaf. Kedua hukumnya adalah fardhu kifayah.
المالكية قالوا: في حكم الجماعة في الصلوات الخمس قولان: أحدهما مشهور، والثاني أقرب إلى التحقيق، فأما الأول فهو أنها سنة مؤكدة بالنسبة لكل مصل، وفي كل مسجد، وفي البلد الذي يقيم به المكلف، على أنه إن قام بها بعض أهل البلد لا يقاتل الباقون على تركها، وإلا قوتلوا لاستهانتهم بالسنة، وأما الثاني فهو أنه فرض كفاية في البلد، فإن تركها جميع أهل البلد قوتلوا؛ وإن قام بها بعضهم سقط الفرض عن الباقين
Artinya:
“Menurut ulama Malikiyah, ada dua pendapat mengenai hukum salat berjama’ah. Hukum yang pertama sudah cukup populer dan yang kedua lebih dekat dengan kebenaran.
Pendapat yang pertama yaitu sunnah mu’akkadah berlaku bagi setiap orang yang salat, setiap masjid dan masyarakat sebuah desa yang sudah berstatus mukallaf.
Artinya, jika ada beberapa dari mereka yang telah mengerjakan salat berjama’ah, maka yang lain gugur dari eksekusi mati.
Namun jika semuanya tidak ada yang mengerjakan jamaah, maka semua harus dihukum mati, karena dianggap telah meremehkan sebuah kesunahan.
Adapun pendapat yang kedua yaitu fardhu kifayah. Artinya, jika tidak ada satupun dari mereka yang mengerjakan salat dengan berjamaah, maka semua harus dihukum mati.
Namun, jika dari mereka sudah ada yang mengerjakannya, maka kewajiban yang lain telah dianggap gugur.”
Mazhab Syafi’i dan Hanbali
Dalam pandangan mazhab Syafi’i, hukum berjama’ah adalah fardhu kifayah. Sedangkan mazhab Hanbali memaknai salat berjama’ah dengan kewajiban yang sifatnya ‘ain (wajib secara individu).
قال النووي: والاصح أنها فرض كفاية للرجال البالغين الاحرار المقيمين في المؤاداة فقط، بحيث يظهر شعارها بمحل إقامتها، وقيل إنها فرض عين – وهو مذهب أحمد
Artinya:
“Syaikh Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya Fath al-Mu’in mengutip pendapat dari imam al-Nawawi bahwa pendapat yang paling sahih tentang hukum berjamaah adalah fardhu kifayah bagi para laki-laki yang sudah baligh, merdeka dan berstatus mukim. Sehingga dengan adanya salat berjama’ah tempat tersebut (masjid dan sebagianya) tampak syi’ar.”
Syaikh Zainuddin juga menyebutkan pendapat lain yaitu dari mazhab Hanbali bahwa hukum berjama’ah adalah fardhu ‘ain.
Konsekuensinya adalah semua orang yang terkena khitab dan kualifikasi sebagaimana di atas (baligh, merdeka dan mukim) wajib mengerjakan salat berjamaah dan tidak gugur dosanya meski ada sebagian yang telah mengerjakannya.
Hukum Mendahului Gerakan Imam
Dalam salat berjamaah, kewajiban makmum adalah mengikuti setiap gerakan imamnya. Oleh karena itu, mendahului gerakan imam dapat membatalkan salat dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, makmum mendahului takbiratul ihram atau salamnya imam. Alasannya, makmum yang mendahului takbiratul ihram imam, sejatinya ia bermakmum dengan orang yang belum masuk salat. Sementara itu, masuknya salat ditandai dengan takbiratul ihram.
Kedua, makmum mendahului dua rukun fi’li, baik rukun yang kategorinya panjang maupun pendek. Misalnya, imam masih berdiri, sementara makmum sudah i’tidal (bangun dari ruku’).
Atau makmum sudah ruku’ sementara imam masih berdiri, dan ketika imam mau ruku’, makmum sudah bangun dari ruku’. Ketika imam mau bangun dari ruku’, makmum telah sujud.
Ketiga, makmum terlambat dua rukun dari imam tanpa udzur. Misalnya, imam sudah i’tidal dan mau sujud, sementara makmum masih berdiri.
Keempat, makmum terlambat tiga rukun panjang dari imam meskipun karena alasan tertentu. Misalnya, makmum menyempurnakan bacaan al-Fatihah, sementara imam sudah ruku’, i’tidal, dua sujud dan hendak berdiri untuk meneruskan rakaat selanjutnya atau untuk tahiyyat.
Hukum Menyamai Gerakan Imam
Sedangkan menyamai gerakan imam, adakalanya haram dan membatalkan yaitu menyamai bacaan takbiratul ihram imam.
Adakalanya sunnah, yakni menyamai atau membarengi bacaan aamiin imam.
Adakalanya pula makruh dan dapat mengurangi keutamaan salat berjamaah yaitu menyamai semua gerakan imam, termasuk menyamai salam imam.
Adakalanya mubah (boleh) yaitu menyamai selainnya itu, dan adakalanya wajib yaitu ketika makmum tidak menyamai bacaan al-Fatihah imam, ia akan tertinggal beberapa rukun salat. (Syaikh Nawawi al-Bantani, Kasyifat al-Saja, hlm. 251)
Wallahu a’lam bisshowab. []