Bagaimana Status Orangtua Nabi Muhammad?

 Bagaimana Status Orangtua Nabi Muhammad?

Teladan Kesabaran dari Para Utusan Tuhan (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Pembahasan tentang status orangtua Nabi Muhammad SAW tatkala meninggal menjadi satu hal yang sangat tidak saya sukai. Hati saya selalu merasa tidak nyaman ketika tanpa sengaja ketemu pembahasan itu di berbagai referensi.

Selama ini saya sebisa mungkin menghindari pembahasan inietapi amanah ilmiah membuat saya merasa harus menyinggungnya setidaknya sekali ini saja.

Apalagi ketika berulang kali melihat orang-orang saling serang dengan bahasa yang kejam ketika membahas ini.

Masalah ini bukan persoalan Aswaja versus Wahabi seperti disangka sebagian orang. Akan tetapi persoalan umum di mana para tokoh besar umat ini memang berbeda pendapat.

Di antara tokoh yang menyatakan bahwa beliau berdua wafat dalam keadaan selamat (tidak di neraka) adalah Imam as-Suyuthi dalam Masalikul Hunafa.

Kemudian, at-Ta’dhim wal Minnah dan beberapa kitabnya yang lain.

Imam Abu Laits as-Samarqandi dalam Bahrul Ulum-nya, Imam Abu Hatim dalam Tafsirnya, Imam Ibnu Arabi sebagaimana dinukil dalam Masalikul Hunafa.

Imam Al-Alusi dalam tafsirnya, Imam Murtadha az-Zabidi dalam al-Intishar-nya, Ibnul Jazzar dalam Tahqiq Amalil Rajin-nya, Darul Ifta’ Mesir dalam fatwanya, dan lain-lain.

Mengagungkan Nabi dan Mencintai Orang yang Dicintainya

Di antara tokoh yang menyatakan tidak demikian adalah Imam Abu Hanifah dalam Fiqhul Akbar-nya dan diperkuat oleh Mulla Ali al-Qari dalam Risalah Mu’taqad Abi Hanifah-nya.

Imam Muslim dalam Sahih-nya, Imam Nawawi dalam Syarh Muslim-nya, Imam Baihaqi dalam Dala’il Nubuwwah-nya dan lain-lain.

Kedua kubu di atas bukan nama kaleng-kaleng yang mudah untuk disesatkan dengan alasan tidak sependapat.

Nama yang saya sebut di atas adalah sebagian tokoh besar yang saya ingat, di belakangnya ada banyak nama lain.

Silakan merujuk langsung pada karya yang saya sebut di atas bagi yang hendak membaca argumen masing-masing pihak.

Posisi paling ideal menurut saya adalah seperti yang dinyatakan oleh Syaikh Khatib asy-Syirbini dalam tafsir Sirajul Munir-nya.

Bahwa yang paling baik adalah menahan diri untuk tidak membahasnya sebab ini bukan hal yang diperintah oleh Allah untuk diyakini.

Jadi, berhenti saja memperdebatkan hal sensitif ini atau pun menanyakannya.

Tak ada alasan yang sebegitu urgennya untuk membuat pembahasan ini diangkat berulang-ulang.

Pastinya, kita umat Islam mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan mencintai orang-orang yang beliau cintai. Titik.

Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat. []

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *