Bagaimana Seorang Muslim Menyikapi Hal Gaib dan Perklenikan?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Selain kematian seorang Brigadir J, trending topic di kalangan netizen adalah cekcok antara Pesulap Merah dan Samsudin. Sebagaimana kita mafhum sebelumnya bahwa Pesulap Merah meminta agar Samsudin memberikan pembuktian ihwal kesaktiannya.
Kendati publik lebih condong dan berpihak ke Pesulap Merah, tidak berarti Samsudin ciut begitu saja. Ia tetap Samsudin yang kokoh dengan klaim kesaktiannya dan menolak untuk dibongkar.
Publik sudah mulai terbuka dengan dunia klenik dan mulai selektif terhadap hal-hal yang gaib. Samsudin yang berperan sebagai syaman pelan-pelan menerima sikap antipati dari publik musabab berbagai kejanggalan dan alasan.
Di sini tidak hendak membahas hal tersebut secara lanjut. Hal saja mencoba untuk memosisikan hal-hal ajaib di dalam Islam. Term hal-hal gaib di sini dimaksudkan sebagai hal-hal yang di luar nalar dan kadang tidak logis.
Umpama apa yang dilakukan Samsudin dengan mengeluarkan benda-benda dari tubuh pasiennya. Hal tersebut secara umum dan secara kasat mata menyalahi kebiasaan, terlepas dari apakah itu menggunakan trik sulap atau tidak.
Namun pada intinya, hal-hal ajaib tersebut adalah sebuah fenomena di mana suatu hal tidak terjadi sebagaimana biasanya. Sedangkan Islam juga punya ikatan yang cukup erat dengan hal-hal ajaib seperti itu.
Zaman nabi, mafhum terjadi hal-hal yang juga di luar nalar umat manusia. Kita sepakat menyebut hal demikian dengan ‘mukjizat’, sehingga tidak perlu diragukan lagi kebenarannya musabab nabi punya privilese.
Terkait mukjizat biasa digunakan para nabi sebagai sebuah siasat untuk mengalahkan musuh dan akhirnya mau memeluk agama mereka. Beberapa orang menyebut mukjizat sebagai sebuah sarana untuk melemahkan serta menjadikan para lawan-lawan nabi percaya.
Poinnya, hal-hal ajaib di dunia Islam bukan hal yang baru. Secara historis, Islam sejujurnya tidak bisa dilepaskan dari entitas tersebut. Namun konteksnya berbeda dengan hari ini yang sudah bukan zaman nabi. Tidak ada nabi hari ini.
Dapat disimpulkan bahwa hal-hal gaib yang terjadi hari ini bukan termasuk golongan sebagai mukjizat. Meski bacaan yang dibawa oleh si syaman menggunakan ayat-ayat agama, hal tersebut perlu untuk dipertanyakan ulang.
Apa yang dibutuhkan di sini tatkala melihat hal-hal ajaib tersebut? Pertama adalah meragukannya, sebagaimana musuh-musuh para nabi meragukan kenabian. Hal ini memang diperlukan agar tidak ada yang terjerumus ke dalam permainan mereka.
Di titik yang bersamaan, beberapa syaman tidak ragu-ragu untuk mematok harga yang tinggi terhadap pasiennya. Hal ini berkaitan langsung dengan jam terbang si syaman.
Jika syaman tersebut sudah masyhur biasanya tarifnya tidak main-main. Di beberapa pelosok desa terpencil, hal ini barangkali masih sulit dihindari. Di tempat-tempat yang masyarakatnya masih sangat tradisionalis kepercayaan terhadap syaman masih jamak dijumpai. Berbeda dengan peradaban masyarakat maju yang mulai berkiblat pada perspektif ilmiah.
Kembali lagi kepada hal-hal ajaib dan hubungannya dengan Islam. Selain hal tersebut, satu hal yang menjadi titik penting dalam Islam adalah perihal ‘yang gaib’ atau ‘yang tak dapat diindra.’
Islam juga punya ikatan dengan entitas ini, bahkan beberapa doktrinnya juga menyangkut yang gaib. Akhirnya hal-hal yang gaib dan ajaib ini juga punya potensi untuk disalahgunakan.
Bukan hal yang tidak mungkin jika di kemudian hari muncul syaman-syaman yang serupa dengan Samsudin dan berusaha mencari legitimasinya dari agama. Lagi-lagi keterkaitan antara hal-hal ajaib dan gaib dengan agama ini seperti mempunyai kerentanan.
Ditambah lagi ketika hal itu menyasar masyarakat yang tidak punya daya selektif. Akhirnya apa yang dilihat secara indrawi kerap dianggap sesuatu yang benar, padahal masih banyak kemungkinan di balik itu.
Meminjam klaim Pesulap Merah dalam konteks ini bahwa itu hanya permainan belaka. Perihal yang gaib dan ajaib ini mesti ditertibkan kembali. Dimulai dari hal-hal kecil seumpama berhenti berobat ke syaman dan lebih memilih ke dokter.
Secara gampang saja, dokter lebih kompeten dalam mengatasi masalah penyakit. Anggapan masyarakat terkait adanya penyakit yang tidak bisa disembuhkan dokter harus segera dinegasikan.
Keyakinan dan kemantapan hati terhadap hal-hal ilmiah juga punya dampak yang positif. Kemoderenan juga sudah semestinya memberantas hal-hal yang demikian, alih-alih harus mempertahankan.
Klaim-klaim ‘mempertahankan kearifan lokal’ patut untuk dirembukkan kembali jika hendak digunakan ke dalam konteks klenik. Selain karena tidak akurat, dunia klenik juga mengundang banyak mudarat daripada maslahat.
Kiranya masyarakat muslim dapat lebih bijak menyikapi dunia perklenikan dan tidak mudah teperdaya dengan klaim-klaim bombastis perihal perklenikan.