Bagaimana Masa Iddah Perempuan yang Bekerja untuk Mencari Nafkah?
HIDAYATUNA.COM – Masa Iddah bagi perempuan berlaku setelah ia berpisah cerai hidup/mati selama 3 bulan/4 bulan sepuluh dengan suaminya. Lalu bagaimana dengan perempuan yang bekerja, apakah dalam kurun masa iddah tersebut ia tidak boleh mencari nafkah?
Dilansir dari Bincangsyariah, ulama fikih menetapkan masa iddah bukan untuk membatasi bekerja, melainkan keluar rumah (lihat: al-mawsu’ah, jilid 29, hal. 348-353). Begitupun dengan masa iddah cerai dengan iddah (atau ihdad) wafat, dibedakan dalam hal ini.
Dalam ketentuan iddah cerai, para ulama sepakat untuk melarang perempuan keluar rumah pada malam hari, kecuali ada kebutuhan mendesak. Sementara pada siang hari, para ulama berbeda pendapat mengenai boleh atau tidak untuk keluar rumah.
Sedangkan saat terjadi iddah wafat, para ulama memperbolehkan perempuan keluar rumah pada siang hari untuk suatu kebutuhan tertentu. Bagaimana pandangan 4 mazhab mengenai masa iddah bagi perempuan bekerja yang mencari nafkah ini?
Masa Iddah Menurut Ulama 4 Mazhab
Menurut Mazhab Hanafi dan Syafi’i, perempuan yang memiliki masa iddah cerai hidup dilarang keluar rumah pada malam maupun siang hari. Sedangkan Mazhab Maliki dan Hanbali hanya melarang perempuan iddah keluar malam hari saja.
Mengapa demikian pada Mazhab Maliki dan Hambali? Pada malam hari, perempuan lebih rentan untuk diganggu oleh laki-laki jahat atau dituju (untuk dinikahi) laki-laki yang mungkin baik. Sebab perempuan dalam masa iddah belum boleh menikah kembali.
Sementara itu, pada siang hari, terutama saat ada kebutuhan, perempuan dalam masa iddah boleh keluar rumah. Apa saja kebutuhan yang dibolehkan? Misalnya kesehatan, atau hartanya dan hal-hal yang termasuk hiburan, seperti traveling, bahkan haji dan umrah.
Akan tetapi, kebutuhan-kebutuhan itu bisa menjadi kebutuhan yang tidak dibolehkan. Dalam hal ini tentu jika tidak ada waktu lagi.
Apakah Anda membaca mengenai kebutuhan bekerja? Dalam kitab ini, tidak membahas mengenai kebutuhan bekerja perempuan yang sedang dalam masa iddah.
Rasulullah Memerintahkan untuk Bekerja
Lalu, apakah bekerja bisa masuk kebutuhan yang membolehkan perempuan yang sedang iddah boleh keluar rumah? Bisa jadi jaman dahulu ketika para ulama mazhab memutuskan hukum iddah, perempuan belum banyak bekerja di ruang publik.
Namun kini perempuan kerap tampil di ruang publik untuk kepentingan mencari nafkah. Oleh karena bekerja merupakan bagian dari kebutuhan untuk memenuhi nafkah hidup, maka semestinya menjadi kebolehan untuk keluar rumah.
Ulama fikih ketika membolehkan keluar rumah merujuk pada hadis tentang bibi Jabir bin Abdullah ra.
عن جَابِر بْن عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ طُلِّقَتْ خَالَتِى فَأَرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا فَزَجَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ فَأَتَتِ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ بَلَى فَجُدِّى نَخْلَكِ فَإِنَّكِ عَسَى أَنْ تَصَدَّقِى أَوْ تَفْعَلِى مَعْرُوفًا (صحيح مسلم، رقم: 3794).
Dari Jabir bin Abdullah ra, berkata: bibiku dicerai. Lalu ketika (keluar rumah) mau memotong dan memanen kurma, ada seorang laki-laki yang melarangnya keluar rumah. Bibiku kemudian mendatangi Rasulullah Saw dan bertanya mengenai hal ini. Nabi Saw kemudian menjawab: “Boleh, potong dan panen kurma itu. Dengan begitu, kamu bisa sedekah atau berbuat baik”. (Sahih Muslim, no. hadits: 3794)
Kegiatan memotong, memanen, atau memetik kurma adalah pekerjaan perkebunan atau pertanian. Nabi Muhammad Saw sendiri justru memerintahkan untuk tetap bisa melakukan pekerjaan tersebut kepada perempuan tersebut.
Nabi Saw mengatakan bahwa dalam pekerjaan itu seseorang bisa memberi sesuatu kepada orang lain, atau berbuat baik kepada orang lain. Dari penjelasan ulama mazhab, perempuan dalam masa iddah, tentu saja dibolehkan untuk bekerja mencari nafkah.