Bagaimana Malu Menjadi Tanda Keimanan Seseorang

 Bagaimana Malu Menjadi Tanda Keimanan Seseorang

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ

Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik bin Anas] dari [Ibnu Syihab] dari [Salim bin Abdullah] dari [bapaknya], bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan melewati seorang sahabat Anshar yang saat itu sedang memberi pengarahan saudaranya tentang malu. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tinggalkanlah dia, karena sesungguhnya malu adalah bagian dari iman”.

Diterangkan dalam Fathul Bary, bahwa secara etimologi الْحَيَاءِ berarti perubahan yang ada pada diri seseorang karena takut melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan aib. Kata tersebut juga berarti meninggalkan sesuatu dengan alasan tertentu, atau adanya sebab yang memaksa kita harus meninggalkan sesuatu. Sedangkan secara terminologi, berarti perangai yang mendorong untuk menjauhi sesuatu yang buruk dan mencegah untuk tidak memberikan suatu hak kepada pemiliknya, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, “Malu itu baik keseluruhannya.

Apabila dikatakan, bahwa sesungguhnya sifat malu merupakan insting manusia, lalu bagaimana bisa dikategorikan sebagai cabang dari iman? Jawabnya, bahwa malu bisa menjadi insting dan bisa menjadi sebuah prilaku moral, akan tetapi penggunaan rasa malu agar sesuai dengan jalur syariat membutuhkan usaha, pengetahuan dan niat, maka dari sinilah dikatakan bahwa malu adalah bagian dari iman, karena malu dapat menjadi faktor stimulus yang melahirkan perbuatan taat dan membentengi diri dari perbuatan maksiat. Dengan demikain tidak dibenarkan kita mengatakan, “Ya tuhan aku malu untuk mengucapkan kata kebenaran atau malu untuk melakukan berbuatan baik, ” karena yang seperti ini tidak sesuai dengan syariat.

Apabila ada pendapat yang mengatakan, “Kenapa hanya malu yang disebutkan?” Jawabnya, karena sifat malu adalah motivator yang akan memunculkan cabang iman yang lain, sebab dengan malu seseorang merasa takut melakukan perbuatan yang buruk di dunia dan akhirat, sehingga malu dapat berfungsi untuk memerintah dan menghindari atau mencegah.

Makna dasar malu yang berarti mencegah, kemudian digunakan unutk arti menahan. Namun sebenarnya yang benar adalah mencegah merupakan konsekuensi dari rasa malu. Oleh karena itu anjuran untuk memiliki rasa malu merupakan motivasi mencegah diri dari perbuatan yang tercela.

Rasulullah bersabda, artinya, “biarkan dia tetap berada dalam akhlak yang disunnahkan itu, karena malu adalah sebagian dari pada iman”. Jika sifat malu menghalangi seseorang untuk menuntut haknya, maka dia akan diberi pahala sesuai dengan hak yang ditinggalkannya itu.

Ibnu Qutaibah berkata, “Maksudnya, bahwa sifat malu dapat menghalangi dan menghindarkan seseorang untuk melakukan kemaksiatan sebagaimana iman. Maka sifat malu disebut sebagai iman, seperti sesuatu dapat diberi nama dengan nama lainnya yang dapat menggantikan posisinya.” Untuk itu, pernyataan bahwa sifat malu merupakan sebagian dari iman termasuk majaz (kiasan).

Dalam hadits diatas tersebut, tampaknya orang yang melarang itu tidak mengetahui bahwa malu termasuk salah satu kesempurnaan iman, sehingga setelah itu ditegaskan kembali eksistensi dari sifat malu tersebut. Penegasan itu juga disebabkan karena masalah itu adalah masalah yang harus diperhatikan, meskipun tidak ada yang mengingkarinya.

Ar-Raghib berkata, “Malu adalah menahan diri dari perbuatan buruk.” Sifat tersebut merupakan salah satu ciri khusus manusia yang dapat mencegah dari perbuatan yang memalukan dan membedakannya dengan binatang. Sifat tersebut merupakan gabungan dari sifat takut dan iffah (menjaga kesucian diri). Oleh karena itu orang yang malu bukan orang yang fasik, meskipun jarang sekali kita temukan seorang pemberani yang pemalu. Terkadang sifat malu juga berarti menahan diri secara mutlak.

Ada pula yang berpendapat bahwa kata tersebut berarti menahan diri, karena takut melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal maupun adat kebiasaan. Orang yang melakukan sesuatu yang dibenci syariat, maka ia termasuk orang yang fasik. Jika ia melakukan hal yang dibenci oleh akal, maka ia termasuk dalam kategori orang gila. Sedangkan jika ia melakukan hal yang dibenci oleh adat, maka dia termasuk orang bodoh. Adapun perkataan Rasulullah SAW, “Malu adalah sebagian dari iman” mengandung arti, bahwa malu merupakan salah satu pengaruh iman.

Al Hulaimi berkata, “Esensi dari rasa malu adalah takut akan dosa, karena melakukan perbuatan yang tidak terpuji.” Yang lain menambahkan, bahwa rasa malu terhadap sesuatu yang diharamkan, adalah wajib hukumnya. Sedangkan terhadap sesuatu yang makruh, hukumnya sunnah. Namun malu terhadap sesuatu yang diperbolehkan (mubah) hukumnya masih harus disesuaikan dengan adat kebiasaan. Inilah maksud dari perkataan, “Perasaan malu selalu mendatangkan kebaikan” Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa menetapkan dan menafikan mubah harus sesuai dengan hukum syariat.

Diriwayatkan dari sebagian ulama salaf, “Aku melihat bahwa kemaksiatan itu adalah perbuatan hina, dan demi kehormatan kutinggalkan kemaksiatan tersebut. Setelah itu terbentuklah ruh agama.” Terkadang rasa malu kepada Allah lahir karena besarnya nikmat yang diberikan, sehingga merasa malu menggunakan nikmat tersebut untuk melakukan kemaksiatan kepada-Nya. Sebagian ulama berkata, “Takutlah kepada Allah sebesar kekuasaan-Nya atas dirimu, dan malulah kepada- Nya sebesar kedekatan-Nya kepada dirimu.” Wallahu A ‘lam.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *