Bagaimana Kedudukan Tasawuf dalam Syariat Islam?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Ilmu tasawuf merupakan topik pembahasan yang termasuk dalam ranah esoteris (batiniyah). Sebagai suatu nama atau istilah, kata tasawuf tersebut tidak dikenal oleh kalangan generasi Islam pertama dan kedua.
Di mana generasi ini lebih sering disebut “sahabat” dan “tabi’in,” oleh karena itulah mengapa Ibnu Khaldun menyebut ilmu tasawuf ini sebagai ilmu yang lahir belakangan.
Di zaman yang sudah serba modern ini, apabila perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan tidak dibarengi dengan penguatan serta pengembangan pondasi agama yang kuat, maka manusia dapat terjerumus ke dalam ketamakan dan rasa sombong atas pencapaiannya.
Di sinilah urgensitas agama, khususnya Ilmu Tasawuf, untuk membentengi dan menyeimbangkan cipta karsa manusia.
Selain itu, di era modern ini banyak pula ditemukan fenomena-fenomena keagamaan yang berhubungan dengan tema tasawuf.
Misalnya ketika ditemui orang yang mengaku telah mencapai makna hakikat, namun pada praktik keagamaan kesehariannya orang tersebut mengabaikan syariat.
Hal ini tentunya menjadi problematika tersendiri mengingat bahwasannya tidak semua umat muslim di Indonesia khususnya, memiliki pemahaman keagamaan yang dalam, terutama terkait ilmu tasawuf ini.
Sehingga dari fenomena tersebut menimbulkan ambiguitas. Hingga perlu adanya penjelasan yang lebih gamblang tentang bagaimana sebenarnya kedudukan tasawuf itu sendiri dalam syariat Islam.
Selayang Pandang Tasawuf
Jika kita hendak membahas arti atau makna dari kata tasawuf, maka pembahasan terkait makna sufi juga sharusnya tak luput dari pembahasan juga.
Terkait asal mula dan arti dari kata sufi itu sendiri terdapat banyak khilafiyah atau perbedaan pendapat di antara banyak kalangan ulama sendiri.
Berikut beberapa pendapat yang mencoba menjelaskan makna dari sufi ini.
Pendapat pertama menyatakan bahwa sufi berasal dari kata sufi seperti berikut: perkataan sufi mungkin berasal dari Ibnu Shauf, yang sudah dikenal sejak sebelum Islam sebagai gelar dari seorang anak Arab yang saleh yang selalu mengasingkan diri di dekat Ka’bah untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Pendapat kedua menyatakan bahwa kata sufi berasal dari kata shufah yang dipergunakan unuk nama ijazah orang naik haji; bisa juga berasal dari kata kerja (fiil madhi) shafa yang berari bersih dan suci.
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari istilah bangsa Yunani yakni sophia yang berarti hikmah atau filsafat.
Pendapat ahli lainnya menyatakan bahwa kata sufi berasal dari kata shuffah, nama suatu ruangan dekat Masjid Madinah, tempat Nabi Muhammad Saw memberikan pengajaran kepada sahabatnya.
Ada pula yang menyatakan bahwa kata sufi berasal dari kata Shaf yang berarti bulu kambing, yang biasanya dijadikan bahan pakaian oleh para sufi Kristen dari Syiria (Suriah).
Definisi tasawuf secara istilah dirumuskan dengan berbagai macam definisi.
Tasawuf adalah ilmu tentang menyucikan batin dengan cahaya ma’rifat dan tauhid kepada Allah Swt yang mana dengannya akan menghasilkan akhlak kehambaan yang sempurna menuruti sunah Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Saw.
Ada yang menyatakan bahwa intisari tasawuf ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Kesadaran berada dekat Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad (bersatu dengan Tuhan).
Ada pula yang menyatakan bahwa tujuan tasawuf adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan berusaha agar bersatu dengan Tuhan.
Sedangkan Ibnu Sina menyatakan bahwa orang-orang yang memusatkan pikirannya pada kesucian Tuhannya dan mengharap terbitnya cahaya Al-Haq (Allah Swt.) dalam hatinya itulah yang dinamakan al-`arif, yakni orang sufi.
Dari beberapa rumusan definisi tasawuf yang tuliskan di atas, maka pengertian tasawuf yaitu suatu usaha yang sungguh-sungguh dengan jalan mengasingkan diri sambil bertafakur, melepaskan diri dari semua yang bersifat duniawi dan memusatkan diri hanya kepada Tuhan sehingga bersatu dengan-Nya.
Kedudukan Tasawuf dalam Syariat Islam
Islam adalah kepatuhan lahiriah. Kepatuhan ini tidak dapat sempurna tanpa kepatuhan batiniyah, jika tidak kemunafikanlah yang akan terjadi.
Kepatuhan batiniyah adalah keimanan yang di wujudkan kedalam perbuatan-perbuatan bathin, yang disebut tasawuf.
Sufisme atau tasawuf atau mistisme Islam adalah suatu situasi pengalaman spiritual yang pararel dengan aliran utama kesadaran Islam yang diturunkan dari wahyu profetis yang dipahami dalam syailah dan teologi.
Dalam mazhab sufi mengatakan mistisme adalah metode tertentu dalam menghampirkan kepada realitas engan memanfaatkan fakultas-fakultas spiritual intuitif dan emosional yang umumnya tidak aktif dan terpendam.
Sufisme adalah bungan atau getah dari pohon Islam atau dapat pula dikatakan bahwa sufisme adalah permata diatas mahkita Islam.
Ketika kita berbicara sufisme, maka sebenarnya kita sedang berbicara mengenai aspek tradisi Islam yang paling dalam dan universal.
Kenyataan bahwa pada saat ini di Barat banyak sekalinperhatian yang tertuju kepada metafisika dan spiritual Timur.
Apalagi di era modern seperti ini kebutuhan terhadap tasawuf sangan dibutuhkan, karena manusia modern sangat haus dan dahaga akan kebutuhan-kebutuhan spiritual untuk memperoleh kepastian (yakin).
Kedudukan tasawuf dalam syariat Islam pertama, sebagai metode atau jalan untuk mendapatkan mendapatkan kelezatan dalam beribadah.
Kedua, sebagai metode untuk mencapai derajat ihsan, karena tasawuf mempunyai sumber dan landasan yang kokoh, kuat dari ajaran Islam.
Ketiga, tasawuf sebagai sarana memperkuat mental, ketabahan dalam beribadah.
Keempat, tasawuf sebagai landasan dalam mengaplikasikan rasa syukur baik syukur secara lisan, tingkah laku atau kemantapan hati dalam melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah.
Kelima, tasawuf sebagai ruang untuk menilai dan mempelajari serta menelaah kelemahan diri didalam melaksanakan kewajiban atau perbuatan baik serta meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Islam.
Mempelajari tasawuf atau sufisme tidak boleh sembarangan. Alangkah lebih baik jika berguru kepada para ulama ahli tasawuf. Lebih baik lagi jika umat muslim telah mempelajari dan memahami ilmu syariat terlebih dahulu. Wallahu a’lam. []