Bagaimana Islam Menghukumi Makelar dalam Jual Beli?
Praktek jual beli terkadang tidak hanya melibatkan penjual dan pembeli saja. Akantetapi juga ada makelar yang berperan menjadi perantara mejual sekaligus mencari pembeli. Makelar atau calo dalam masyarakat seringkali dipandang negative dalam masyarakat karena dicurigai bisa memanipulasi harga lebih tinggi. Namun, di sisi lain dibutuhkan sebab banyak orang yang tidak mau repot untuk mendapatkan atau membeli sesuatu sehingga memanfaatkan jasa makelar.
Dalam konteks demikian makelar dicurigai (dibenci) dan sekaligus dibutuhkan. Konteks fiqih melihat bahwa jual beli selama dilakukan dengan memenuhi syarat sahnya jelas tidak masalah sebagaimana firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artinya: “Wahai orang-orang beriman sempurnakanlah akad-akad ( janji-janji) kalian”(Qs. al-Maidah : 1)
Makelar atau samsarah (dalam bahasa arabnya) merupakan sebuah praktek pekerjaan yang sudah ada sjek zaman Nabi. Hadits riwayat Qais bin Abi Gorzah menyatakan sebagai berikut:
كُنَّا نُسَمَّى فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – السَّمَاسِرَةَ ، فَمَرَّ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ ، فَقَالَ : ” يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ ! إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ
Artinya: “Kami pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam disebut dengan “samasirah“ (calo/makelar), pada suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari calo, beliau bersabda : “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini kadang diselingi dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan sumpah (palsu), maka perbaikilah dengan (memberikan) sedekah“ (Shahih, HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)
Dalam hadits di atas dapat dilihat bahwa kedudukan samsarah disamakan dengan pedagang atau disamakan dalam penyebutan Rasulullah. Mengenai dibolehkannya makelar disampaikan juga oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari dalam Bab Samsarah:
وَلَمْ يَرَ ابْنُ سِيرِينَ، وَعَطَاءٌ، وَإِبْرَاهِيمُ، وَالحَسَنُ بِأَجْرِ السِّمْسَارِ بَأْسًا
Artinya: “Menurut Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim, dan Hasan al-Bashri bahwa upah makelar dibolehkan.”
Lebih rinci lagi mengenai pendapat 4 mazhab mengenai hukum makelar sebagai berikut:
Mazhab Hanafi
Menurut Mazhab Hanafi makelar tidak boleh karena itu adalah gharar, akan tetapi diriwayatkan dari Ibn ‘Abidin dalam al-Hasyiyah bahwa Muhammad bin Salamah ditanya tentang upah makelar, maka ia menjawab tidak apa-apa (tidak jelek), karena banyaknya orang yang bertransaksi dengan makelar walaupun asalnya fasid. Ia berkata kebanyakan transaksi ini tidak boleh, mereka membolehkannya karena banyak orang yang melakukannya.
Mazhab Maliki
Mazhab maliki membolehkan dengan dua syarat tidak menentukan waktu, harganya diketahui dan tidak boleh menerima upah kecuali sesudah beres pekerjaan. Kalau disyaratkan kontan akadnya fasid. Dan boleh ia mengakadkan bagi pegawai sesuatu yang tidak ditentukan seperti ia mengatakan barangsiapa yang menemukan barang yang hilang maka baginya sekian.
Secara khusus Syekh Wahbah Zuhaily menyatakan membolehkan akad samsarah sebagaimana dikatakan dalam Al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu:
ﻭاﻟﺴﻤﺴﺮﺓ ﺟﺎﺋﺰﺓ، ﻭاﻷﺟﺮ اﻟﺬﻱ ﻳﺄﺧﺬﻩ اﻟﺴﻤﺴﺎﺭ ﺣﻼﻝ؛ ﻷﻧﻪ ﺃﺟﺮ ﻋﻠﻰ ﻋﻤﻞ ﻭﺟﻬﺪ ﻣﻌﻘﻮﻝ
Artinya: “Jual beli makelaran adalah boleh. Dan upah yang diambil oleh makelar adalah halal karena ia didapat karena adanya amal dan jerih payah yang masuk akal.”
Mazhab Syafi’i
Menurut Mazhab Syafi’i boleh melakaukan akad jua’lah yaitu, menyerahkan ju’alah (upah) bagi orang yang menemukan barang hilang. Dan boleh juga untuk pekerjaan yang tidak ditentukan, karena kebutuhan. Tidak ada hak upah bagi seorang pekerja kecuali dengan izin pemilik modal dan tidak ada hak jualah (upah) bagi pekerja kecuali kalau sudah mengerjakan upah.
Kesepakatan antar makelar dan pemilik modal atau penjual untuk mencarikan pembeli menjadi syarat mutlak. Dan itu termasuk akad yang diperbolehkan, bagi keduanya boleh membatalkan kontrak sebelum terjadi pekerjaan dan jika sudah diselesaikan maka bagi pemilik modal/harta tidak boleh membatalkannya, jika membatalkannya mesti baginya untuk menyerahkan upah sepadan.
Mazhab Hanbali
Makelar menurut Mazhab Hanbali adalah boleh pada pekerjaan yang mubah walaupun tidak diketahui, karena dibutuhkan seperti mengembalikan binatang/barang yang hilang dan lain-lain. Ia berhak mendapatkan upah setelah selesai pekerjaan dengan syarat mendapat izin dari pemilik harta, jika tidak ada maka tidak ada apa-apa baginya.
Setelah menyimak uraian di atas maka dapat diambil pokok prasyaratnya bahwa makelar boleh selama memenuhi beberaa syarat berikut; mendapat izin pemilik modal/harta/barang. Kedua, Harganya diketahui, jika ia mengatakan yang harganya (keuntungan) lebih dari itu untukmu, Tidak mendapatkan upah kecuali kalau sudah beres pekerjaan dan tidak menentukan jatuh tempo.
Maka jelas yang tidak boleh adalah jika praktek maklear tersebut disertai dengan berbohong, merugikan konsumen dan kecurangan-kecurangan yang lain. Demikian yang dapat kami uraikan, bila ada saran dan masukan silahkan untuk langsung menghubungi redaksi. Wallahu a’lam.
Sumber:
- Lihat: Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’awadlat al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru al-Nashr bi Jâmi’at al-Qâhirah, tt.: 55.
- Ismail Al-Bukhary, Shahih al-Bukhary: Kitabu al-Buyu’, Beirut: Daru al-Kutub Ilmiyyah, 1997
- Lihat: Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tt.,: 5/21.