Bagaimana Hukum Puasa bagi Ibu Hamil?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Pada dasarnya, hukum puasa Ramadhan bagi seluruh umat Islam adalah wajib, termasuk pada ibu hamil. Perintah tersebut termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 185 berikut ini:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
Artinya:
“Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah.” ( Q.S. Al-Baqarah ayat 185)
Akan tetapi, agama Islam menyediakan rukhsah bagi orang-orang dengan kriteria tertentu, seperti orang yang tidak mampu atau orang yang tengah memiliki uzur tertentu.
Termasuk dengan ibu hamil yang tidak selamanya dikenai hukum wajib untuk berpuasa di bulan suci Ramadhan.
Dalam kitab Nihayah az-Zain Syarh Qurratul ‘Ain dijelaskan mengenai tiga kondisi ibu hamil yang masing-masing mendatangkan konsekuensi hukum yang berbeda-beda di mana hal ini sama halnya seperti orang sakit, yakni:
فللمريض ثلاثة أحوال: إن توهم ضرراً يبيح التيمم كره له الصوم وجاز له الفطر. وإن تحقق الضرر المذكور أو غلب على ظنه أو انتهى به العذر إلى الهلاك أو ذهاب منفعة عضو حرم الصوم ووجب الفطر، وإن كان المرض خفيفاً بحيث لا يتوهم فيه ضرراً يبيح التيمم حرم الفطر ووجب الصوم ما لم يخف الزيادة، وكالمريض الحصادون والملاحون والفعلة ونحوهم، ومثله الحامل والمرضع ولو كان الحمل من زنا أو شبهة
Artinya:
“Bagi orang sakit terdapat tiga keadaan. Pertama, ketika ia menduga akan terjadi bahaya pada dirinya yang sampai memperbolehkan tayamum, maka makruh baginya berpuasa dan boleh baginya untuk tidak berpuasa.
Kedua, ketika ia yakin atau memiliki dugaan kuat (dhann) akan terjadi bahaya atau uzur yang mengenainya akan berakibat pada hilangnya nyawa atau hilangnya fungsi tubuh, maka haram baginya berpuasa dan wajib untuk tidak berpuasa.
Ketiga, ketika rasa sakit hanya ringan, sekiranya ia tak menduga akan terjadi bahaya yang sampai memperbolehkan tayamum, maka haram baginya tidak berpuasa dan wajib untuk tetap berpuasa selama tidak khawatir sakitnya bertambah parah.
Sama halnya dengan orang yang sakit adalah petani, nelayan, buruh, perempuan hamil dan menyusui, meskipun kehamilan hasil dari zina atau wathi syubhat.” (Syekh Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain Syarh Qurratul ‘Ain, juz 1, halaman: 367)
Dalam konteks perempuan hamil, ketika ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa, terkait penggantian puasa yang ditinggalkan terdapat dua ketentuan.
Pertama, ketika ibu hamil meninggalkan puasa karena khawatir atas kondisi fisiknya sekaligus kondisi kandungannya maka ia hanya diwajibkan meng-qadha atau mengganti puasanya saja.
Kedua, jika ibu hamil hanya mengkhawatirkan perihal kandungannya saja, maka ia memiliki kewajiban untuk meng-qadha puasanya dan juga membayar fidyah.
Mengenai dua perincian ini, dalam Hasyiyah al-Qulyubi dijelaskan sebagai berikut:
(وَأَمَّا الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ فَإِنْ أَفْطَرَتَا خَوْفًا) مِنْ الصَّوْمِ. (عَلَى نَفْسِهِمَا) وَحْدَهُمَا أَوْ مَعَ وَلَدَيْهِمَا كَمَا قَالَهُ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ (وَجَبَ) عَلَيْهِمَا (الْقَضَاءُ بِلَا فِدْيَةٍ) كَالْمَرِيضِ. ((أَوْ) (عَلَى الْوَلَدِ) أَيْ وَلَدِ كُلٍّ مِنْهُمَا (لَزِمَتْهُمَا) مَعَ الْقَضَاءِ (الْفِدْيَةُ فِي الْأَظْهَرِ) “Perempuan Hamil dan
Artinya:
“Menyusui ketika tidak berpuasa karena khawatir pada diri mereka, atau khawatir pada diri mereka dan bayi mereka (seperti yang diungkapkan dalam kitab Syarh al-Muhadzab), maka wajib mengqadha’i puasanya saja, tanpa perlu membayar fidyah, seperti halnya bagi orang yang sakit.
Sedangkan ketika khawatir pada kandungan atau bayi mereka, maka wajib mengqadha’i puasa sekaligus membayar fidyah menurut qaul al-Adzhar.” (Syihabuddin al-Qulyubi, Hasyiyah al-Qulyubi ala al-Mahalli, juz 2, hal. 76).
Itulah beberapa keterangan mengenai hukum serta ketentuan puasa Ramadhan bagi ibu hamil. Wallahu a’lam. []