Bagaimana Hukum Mengeraskan Suara Saat Berdzikir Sebagaimana Tradisi Warga NU?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Dzikir atau berdzikir adalah penyebutan, penyucian dan pengagungan terhadap Allah Swt., baik diucapkan dengan lisan atau dengan hati atau dengan lisan sekaligus menghadirkannya ke dalam hati.
Dzikir tidak hanya dilakukan setelah salat lima waktu, tetapi bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja.
Berdzikir adalah ibadah. Apalagi dilakukan dengan khusyu’ sambil memahami dan menyelami makna setiap kata dari dzikir yang dibaca.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa perbandingan orang yang berdzikir dengan orang yang tidak berdzikir bagaikan orang yang hidup dengan orang yang mati (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, orang yang banyak berdzikir, hatinya akan senantiasa hidup. Sebaliknya, orang yang tidak pernah berdzikir hatinya akan mati, dan matinya hati sama dengan matinya seluruh tubuh.
Oleh sebab itu, Ibnu Ajibah mengatakan bahwa matinya hati disebabkan oleh tiga hal; cinta dunia, lalai dari berdzikir kepada Allah dan membiarkan diri terjatuh dalam kemaksiatan.
Membaca wirid, dzikir dan do’a ma’tsurah (bersumber dari al-Qur’an atau hadis) setelah salat hukumnya adalah sunnah.
Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum mengeraskan suara dzikir secara berjamaa’ah.
Di Indonesia, praktik dzikir secara berjamaa’ah biasa dilakukan oleh kaum Nahdliyyin, sementara jama’ah Muhammadiyah biasa membacanya secara pelan dan dilakukan secara sendiri-sendiri. Lalu apa dalil yang mendasari perbedaan pendapat tersebut.
Ada dalil yang menyuruh umat Islam untuk berdzikir dengan suara lemah lembut, dan di sisi lain terdapat juga dalil yang memperbolehkan mengeraskan suara saat berdzikir.
NU menganggap dalil-dalil tersebut, baik dari al-Qur’an maupun hadis tidaklah bertentangan, karena menurut mereka masing-masing memiliki porsinya sendiri-sendiri.
Di antara dalil yang menunjukkan kebolehan berdzikir dengan suara keras setelah salat adalah hadis riwayat Ibnu Abbas sebagai berikut:
عَنِ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَاانْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَاسَمِعْتُهُ. متفق عليه
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas ra. mengabarkan kepadanya bahwa sesungguhnya mengeraskan suara saat berdzikir ketika orang-orang selesai salat fardlu pernah terjadi sejak zaman Nabi SAW. Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa jika mereka selesai salat melakukan demikian (berdzikir dengan suara keras) karena aku mendengarnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu al-Adra’ juga pernah berkata:
قال ابنُ الْأَدْرَعِ: اِنْطَلَقْتُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله وسلم لَيْلَةً، فمرَّ بِرَجُلٍ فِي الْمَسْجِدِ يَرْفَعُ صَوْتَهُ، قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، عَسَى أَنْ يَكُوْنَ هَذَا مُرَائِيًا، قَالَ: لاَ، وَلَكِنَّهُ أَوَّاهُ. رواه البيهقي
Artinya:
“Ibnu al-Adra’ berkata, “Pernah suatu malam aku berjalan bersama Rasulullah SAW. lalu bertemu dengan seorang laki-laki di masjid yang sedang mengeraskan suaranya (untuk berdzikir). Saya berkata, “Wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya’.” Rasulullah menjawab, “Tidak, dia sedang mencari ketenangan.” (HR. al-Baihaqi dalam kitab Faidh al-Qadir karya al-Munawi)
Sementara itu, ada juga dalil yang menjelaskan keutamaan berdzikir dengan suara pelan yaitu hadis riwayat Sa’ad bin Malik bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
خَيْرُ الذِّكْرِ اَلْخَفِيُّ، وَخَيْرُ الرِّزْقِ مَا كَفَى
Artinya:
“Keutamaan dzikir adalah yang pelan dan sebaik rizqi adalah sesuatu yang mencukupi.”
1. Cholil Nafis, salah satu ulama NU sebagaimana dikutip M. Yusuf Amin Nugroho dalam bukunya Fiqh al-Ikhtilaf Nu-Muhammadiyah mencoba melakukan jam’u (kompromi) dengan mengutip penjelasan Imam Nawawi sebagai berikut:
Memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya’, mengganggu orang salat atau orang tidur.
Mengeraskan suara dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar bacaan dzikir tersebut bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan kantuk serta menambah semangat.
Selanjutkan KH. Chalil Nafis menegaskan bahwa NU tidak mewajibkan warganya untuk berdzikir dengan suara keras, tetapi semua tergantung dengan situasi dan kondisi.
Jika ingin mengajarkan, membimbing dan menambah kekhusyu’an, maka mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Bahkan dalam beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk mengeraskan suara saat berdzikir.
Sementara itu, imam Nawawi ketika mengomentari hadis Ibnu Abbas di atas berkata:
هَذَا دَلِيْلٌ لِمَا قَالَهُ بَعْضُ السَّلَفِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالتَّكْبِيْرِ وَالذِّكْرِ عَقِبَ الْمَكْتُوْبَةِ، وَمِمَّنْ اِسْتَحَبَّهُ مِنَ الْمُتَأَخِّرِيْنَ ابْنُ حَزْمٍ اَلظَّاهِرِي
Artinya:
Ini (hadis Ibnu Abbas) merupakan dalil pendapat sebagian ulama’ salaf tentang disunnahkannya mengeraskan suara saat takbir dan dzikir sesudah salat fardhu. Diantara ulama muta’akhkhirin yang menganjurkan hal tersebut adalah Ibnu Hazm al-Zhahiri. (Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz 5, hlm. 84) []