Bagaimana Hukum Hasil Pemasukan dari Sponsor Barang Haram?

 Bagaimana Hukum Hasil Pemasukan dari Sponsor Barang Haram?

Ramai diperbincangkan, minuman alkohol jadi sponsor dalam acara Formula E mendatang. Ini penjelasan dalam Fikih Islam (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Barang haram seperti minuman alkohol yang digadang-gadang menjadi sponsor acara balapan Formula E menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada ulama yang membolehkan, tetapi jika dibolehkan bagaimana hukum hasil pemasukan dari sponsor barang haram tersebut?

Di antara pendapat ulama yang membolehkan disampaikan oleh Lajnah Darul Ifta. Dalam salah satu fatwanya mengatakan, bahwa hal itu hukumnya boleh sebab, adanya sponsor hanyalah sebatas kabar, bukan memastikan larisnya penjualan.

وأما الجرائد التي تتضمن إعلانات لما هو محرم في ثنايا ما تضمنته من الأخبار والثقافة وغيرها فيجوز بيعها وتوزيعها لأن ما تضمنته من الإعلانات المحرمة غير مقصودة ولا غالبة

Artinya, “Adapun surat kabar yang di dalamnya terdapat iklan (sponsor) yang diharamkan dalam liputan berita, budaya, dan lain-lain, dibolehkan untuk menjual dan mengedarkannya. Sebab apa yang dikandung dalam sponsor yang diharamkan itu tidak dimaksudkan dan tidak berlebihan.”

Sederhananya, dilihat sekilas hasil pemasukan dari barang haram tentunya haram pula. Namun, dalam fikih belum tentu haram karena ada beberapa praktik yang haram dilakukan, namun hasilnya justru halal atau makruh.

Menjual Barang Haram Hasilnya Belum Tentu Haram?

Praktik haram, dikutip dari Bincangsyariah, misalnya menjual barang halal untuk orang-orang yang akan menggunakan pada kemaksiatan. Secara hukum fikih, praktik seperti ini hukumnya haram karena dikategorikan sebagai penolong terhadap kemaksiatan tetapi, hasil jual beli darinya tidak dianggap haram.

Lantaran dalam akadnya tidak ada hal-hal yang merusak pada ke-sahan akad, begitu pun dengan sponsor. Sekali pun hukumnya haram, akan tetapi pemasukan yang dihasilkan darinya adalah halal.

Kehalalan tersebut sepanjang di dalamnya tidak ada unsur judi, riba dan semacamnya yang bisa memengaruhi kehalalan tersebut. Oleh karenanya, Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr, tt], juz II, halaman 111, mengatakan:

قَدْ اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي حِلِّ الثَّمَنِ الْمَأْخُوْذِ مِنْهُ. وَالْأَقْيَسُ أَنَّ ذَلِكَ صَحِيْحٌ وَالْمَأْخُوْذُ حَلَالٌ وَالرَّجُلُ عَاصٍ بِعَقْدِهِ

Artinya, “Sungguh para ulama berbeda pendapat perihal kehalalan harga (hasil) yang diambil darinya. Dan yang pasti, bahwa hal tersebut dianggap sah dan (hasil) yang diambil darinya halal. Hanya saja laki-laki (yang transaksi semacam itu/menolong perihal kemaksiatan dengan cara transaksi) dianggap bermaksiat dengan akadnya.”

Dari sudut pandang ulama yang membolehkan barang haram menjadi sponsor acara, hasil pemasukan dinilai belum tentu haram. Dengan beberapa syarat di antaranya tidak merusak akadnya, tidak ada unsur riba, judi dan semacamnya dalam praktik tersebut. Wallahu’alam bi-Showab.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *