Bagaimana Hukum Chattingan Saat Khutbah Jum’at Berlangsung?

 Bagaimana Hukum Chattingan Saat Khutbah Jum’at Berlangsung?

Sebuah Aplikasi untuk Perangi Islamofobia Diluncurkan di Kanada (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Bagaimana hukum chattingan saat khotbah Jumat berlangsung? Pertanyaan tersebut keluar dari teman nyantri saya. Pada saat kami berbincang-bincang, teman saya, sebut saja namanya Kang Zaid.

Sebelum Kang Zaid memaparkan pertanyaannya ia menjelaskan bahwa semua ulama sepakat bahwa berbicara pada saat khotbah Jumat berlangsung hukumnya adalah makruh.

Hal itu dipertegas oleh pendapat Imam Syafi’i, serta jika ia melakukan perbuatan demikian, maka sama saja ia telah melakukan perbuatan menganggur (tiada guna).

Namun, fenomena yang unik pernah Kang Zaid temui, yakni pada saat ia shalat Jumat di beberapa masjid dikota-kota besar.

Kang Zaid mendapati sebagian orang melakukan aktivitas berbicara, namun melalui chatting WhatsApp atau Facebook.

Lantas bagaimana hukum chattingan saat khotbah Jumat berlangsung?

Sebelum menjawab perihal tersebut, perlu diketahui bahwa berbicara pada saat khotbah Jumat berlangsung hukumnya adalah makruh dan sama saja ia telah melakukan perbuatan yang menganggur.

Maksud dari kata menganggur adalah hukum salat Jumatnya tetap sah, namun ia tidak mendapatkan keutamaan-keutamaan salat Jumat.

Hal ini pernah dijelaskan oleh Syaikh Jalaludin As-Suyuthi pada saat beliau menjelaskan redaksi hadis nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi:

إذا قلت لصاحبك أنصت يوم الجمعة والإمام يخطب فقد لغوت

Artinya:

”Jika kamu katakana pada temanmu, “Diamlah”, di hari Jumat saat khatib berkhotbah, maka kamu telah melakukan perbuatan menganggur (tiada guna).” (HR. Muslim)

Syaikh Jalaludin As-Suyuthi menjelaskan:

قال نضر بن شميل معناه خبت من الأجر وقيل بطلت فضيلة جمعتك وقيل صارت جمعتك ظهرا قال الحافظ ابن حجر ويشهد للقول الأخير حديث أبي داود من لغا وتخطّى رقاب الناس كانت له ظهرا قال ابن وهب أحد رواته معناه أجزأت عنه صلاة وحرم فضيلة الجمعة

Artinya:

”Nadlr bin Sumair berkata, makna hadis tersebut adalah, kamu merugi dari pahala. Pendapat lain, batal keutamaan shalat Jumat.

Pendapat lain, Jumatmu menjadi dzuhur. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata pendapat terakhir didukung oleh hadistnya Abu Daud,

Barangsiapa yang menganggur dan melangkahi leher manusia, maka Jumat baginya menjadi shalat dzuhur.

Ibnu Wahab salah satu perawi hadist tersebut berkata, tercukupi baginya shalat Jumat dan ia terhalang dari keutamaannya shalat Jumat.” (Syekh Jalaludin As-Suyuthi,  Hasyiyah al-Suyuthi ‘ala Sunan An-Nasa’i, Juz. 2)

Melihat dari uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa berbicara pada saat khotbah berlangsung hukumnya makruh dan perbuatan tersebut dapat menghilangkan keutamaan-keutamaan shalat Jumat.

Sehingga oleh dalam hadits tersebut diibaratkan perbuatan yang tidak ada gunanya.

Namun, pada hadis dan keterangan para ulama di atas konteksnya adalah berbicara menggunakan lisan yang biasa dilakukan manusia pada umumnya dan itu berbeda dengan aktivitas berbicara dengan chattingan menggunakan aplikasi WhatsApp atau Facebook.

Lantas apakah perbuatan tersebut tetap sama hukumnya dengan aktivitas berbicara menggunakan lisan?

Jawabanya adalah, iya tetap sama. Karena pada dasarnya tujuan dari perintah untuk diam Ketika khotbah Jumat berlangsung adalah agar para jama’ah salat Jumat hendaknya mendengarkan nasehat-nasehat khatib yang selalu mengajak untuk bertakwa kepada Allah Swt.

Maka jika kita berbicara pada saat khotbah Jumat berlangsung itu dapat mengganggu konsentrasi kita ataupun jamaah lain untuk mendengarkan dan mengambil pelajaran dari apa yang disampaikan oleh khatib.

Hal itu sama saja dengan berbicara melalui chatting dengan aplikasi WhatsApp atau Facebook, kesamaannya adalah keduanya sama-sama dapat mengganggu konsentrasi dalam mendengarkan nasihat-nasihat dari khatib.

Dalam kaidah ushul fikih dijelaskan bahwa tulisan kedudukannya sama dengan perkataan.

الكتاب كالخطاب

Artinya: ”Tulisan (aktivitas menulis) sama dengan perkataan.”

Jika mengacu pada kaidah ushul fikih diatas, maka dapat disimpulkan bahwa percakapan tertulis baik melalui aplikasi WhatsApp, Facebook dan sejenisnya, maka dapat dikatakan sama saja dengan percakapan melalui lisan, meskipun itu tidak mengeluarkan suara seperti yang terdapat dalam percakapan menggunakan lisan.

Wallahu a’lam bishawab. []

Fuad Efandi

Pengajar di Pon-Pes Al-Ishlah Mataram Baru dan belajar di STAI Darussalam Lampung. Dapat disapa melalui Facebook Kang Efandi.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *