Bagaimana Hukum Berpuasa Hanya pada Hari Asyura atau Tanggal 10 Muharram?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Bulan Muharram begitu istimewa. Sampai-sampai dikatakan bahwa beramal baik dan bermaksiat di bulan itu, pahala dan dosanya akan dilipatgandakan, tidak seperti di bulan-bulan lain selain bulan-bulan haram.
Ibnu Katsir mengutip dawuh Qatadah sebagai berikut:
إن العمل الصالح والأجر أعظم في الأشهر الحرم. والذنب والظلم فيهن أعظم من الظلم فيما سواهن، وإن كان الظلم على كل حال عظيم. ولكن الله يعظم من أمره ما شاء.
Artinya:
“Amal shalih dan pahalanya lebih besar (jika dilakukan) pada bulan-bulan haram. Begitu juga dosa dan kezaliman di bulan-bulan Haram lebih berat dan besar dibanding bulan-bulan yang lain. Kezaliman apapun termasuk kesalahan berat. Hanya saja, Allah Swt. memberatkan apapun yang Dia kehendaki.”
Kesunahan Puasa di Bulan Muharram
Cara kita mengagungkan Bulan Muharram di antaranya adalah dengan berpuasa. Ibnu Rajab dalam kitab karangannya, Lathaif al-Ma’arif mengatakan bahwa kemungkinan yang dimaksud dengan anjuran puasa di Bulan Muharram adalah puasa satu bulan penuh di bulan tersebut.
Sementara itu, Nuruddin al-Mala al-Harawi dalam komentarnya terhadap kitab Misykat al-Mashabih yang ia beri nama Mirqat al-Mafatih, mengatakan bahwa kesunahan puasa di Bulan Muharram juga satu bulan penuh.
Hanya saja, dari keseluruhan hari di Bulan Muharram, ada penekanan (anjuran) untuk berpuasa di hari Asyura’ (tanggal 10 Muharram). Para ulama sepakat bahwa berpuasa di hari Asyura’ hukumnya adalah sunnah.
Hukum Berpuasa di Hari Tasu’a
Agar berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan baik kaum Nabi Musa (Yahudi), yang hanya mengkhususkan berpuasa Asyura’, ulama’ di antaranya Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ishaq bin Rahawaih menganjurkan agar kita mengiringinya dengan berpuasa di tanggal 9 Muharram (Tasu’a).
Pendapat ini disimpulkan dari hadis riwayat Ibnu Abbas:
حِيْنَ صَامَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ اَلْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ: فإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ. قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ اَلْعَامُ اَلْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم. رواه مسلم
Artinya:
“Ketika Rasulullah SAW. berpuasa hari Asyura’ dan memerintahkan (sahabat-sahabatnya) untuk berpuasa, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah hari Asyura’ itu hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani?” Lantas beliau bersabda, “Kalau begitu tahun yang akan datang, insyallah kami akan berpuasa pada hari Tasu’a.” Ibnu Abbas berkata, “Belum sampai tahun berikutnya datang, Rasulullah saw. wafat.” (HR. Muslim)
Penamaan Hari Asyura’
Setiap memasuki bulan Muharram, akan dijumpai hari Asyura’, yaitu hari ke-10 dari bulan Muharram dalam kalender hijriyyah Islam.
Para penganut Syi’ah menjadikan hari Asyura’ sebagai hari berkabung massal atas kewafatan dan kesyahidan Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib di Kaarbala pada tahun 680 M.
Namun bagi masyarakat Sunni, hari Asyura’ menjadi hari istimewa dan agung. Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim al-Samarqandi dalam salah satu karyanya yang berjudul Tanbih al-Ghafilin menyebut berbagai pendapat ulama mengenai alasan atau penyebab penamaan hari Asyura’.
Menurut Ibnu Katsir, dinamakan Asyura’ karena berada diurutan ke-10 dari bulan Muharram. Sebagaimana disebut Tasu’a karena berada diurutan ke-9 dari bulan Muharam.
Sementara ulama’ yang lain, mengatakan disebut Asyura’ karena Allah memuliakan sepuluh Nabi dengan sepuluh keutamaan.
Hukum Berpuasa hanya Pada Hari Asyura’ (10 Muharram)
Hukum berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram, tanpa diiringi dengan puasa pada hari sebelumnya (Tasu’a) menurut fatwa Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm adalah boleh.
Atau dalam istilah beliau adalah tidak ada masalah (la ba’sa). Artinya, kita tidak perlu mempermasalahkan jika ada orang yang hanya berpuasa Asyura’’ saja, tanpa diiringi puasa satu hari sebelum atau setelahnya.
Al-Nawawi dalam al-Majmu’ dan al-Hafizh Nashiruddin al-Dimasyqi dalam Majmu’ fihi Rasail menjelaskan bahwa hikmah dianjurkannya berpuasa pada tanggal 9 Muharram (Tasu’a) adalah;
Pertama, agar tidak menyamai dan menyerupai tradisi puasanya orang-orang Yahudi. Kedua, untuk menyambung puasa Asyura’ dengan hari yang lain.
Ketiga, untuk mengantisipasi berkurangnya hilal sehingga akan terjadi kesalahan dalam menetapkan hitungan hari kesembilan yang sebenarnya sudah masuk hari kesepuluh.
Tetimoni dan Endors Para Ulama Tentang Keutamaan Puasa Hari Tasu’a dan Asyura’
Imam Nashiruddin al-Dimasyqi mengutip asar dari Abdullah bin Imam Ahmad bin Hanbal. Abdullah menceritakan mimpi ayahnya yang bertemu Abdurrahman bin Mahdi.
Kata Abdullah, di dalam mimpi itu, ayahnya bertanya tentang keadaan Abdurrahman al-Mahdi. Lalu al-Mahdi menjawab, “Allah telah mengampuni dosa-dosaku, mendekatiku dan mengangkat derajatku.”
Imam Ahmad bertanya kembali dengan penuh penasaran, “Dengan cara apa Anda mendapatkan kemulian itu?” Beliau menjawab lagi, “Karena kebiasaanku berpuasa di hari Tasu’a, Asyura’ dan hari setelahnya (11 Muharram).”
Kebiasaan berpuasa tanggal Muharram yang diiringi hari sebelum dan setelahnya (9 dan 11 Muharram) juga dilakukan oleh beberapa sahabat dan tabi’in.
Di antaranya adalah Ibnu Abbas, Abu Ishaq al-Sabi’i sebagai bentuk kekhawatiran dan kehati-hatian (ihtiyath) mereka akan tertinggalnya berpuasa di hari Asyura’.