Bagaimana Al-Qur’an Membincang Multikulturalisme?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Indonesia merupakan salah satu satu negara dengan penduduk yang sangat majemuk dan sangat kental akan multikulturalisme.
Kenyataan ini dapat dilihat dari dinamika kehidupan masyarakat yang beragam, baik dalam aspek keagamaan, suku bangsa, bahasa maupun budaya.
Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan bahwa sebuah negara atau masyarakat beragam dan majemuk.
Sebaliknya, tidak ada satu negara pun yang mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal. Keragaman yang ada, sesunguhnya dapat menjadi salah satu potensi besar bagi kemajuan bangsa.
Prinsip Multikulturalisme dalam Al-Qur’an
Keragaman (diversity) adalah sentral bagi pandangan Al-Qur’antentang masyarakat.
Al-Qur’an mengakui keragaman ini dengan menyatakan kepada Nabi Muhammad bahwa jika Allah ingin tentu, ia akan menjadikan hanya satu umat.
Namun, manusia dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku sehingga mereka saling mengenal. Al-Qur’an menyatakan bahwa penilaian manusia itu bergantung kepada kebajikannya, bukan pada keterikatannya pada satu keyakinan tertentu atau kelompok golongan tertentu atau bangsa tertentu.
Kesalehan sosial itu menyebar melalui berbagai tindakan dengan cara terbaik untuk mengabdi kepada Allah melalui implementasi kegiatan dan pelayanan kemanusiaan.
Maka, seruan untuk menegakkan keadilan sosial adalah fondasi dari komunitas multikultural yang inklusif (Ummah muqtasidah), yang terdiri dari beragam manusia yang berbeda-beda, yang disatukan oleh etika kemanusiaan tentang tanggung jawab ganda manusia untuk menghormati dan menghargai diri dan masyarakat.
Pandangan Al-Qur’an tentang realitas keragaman tersebut diikat oleh suatu pandangan holistik tentang kesamaan manusia.
Pandangan yang demikian mempengaruhi tindakan dan relasi sosial Nabi dengan komunitas-komunitas umat yang lain dalam sejarah perjalanan hidup Nabi Muhammad saw.
Nilai nilai universal Al-Qur’an kemudian menjadi fondasi terbangunya wacana multikulturalisme yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Nabi Muhammad sendiri telah meneladankan kepada kita mengenai nilai-nilai multikulturalisme.
Di antaranya adalah keadilan (justice), kesetaraan (equality) dan hak asasi manusia (human rights), nilai nilai demokratis (democratic values).
Dari nilai-nilai multikulturalisme tersebut yang kemudian memunculkan berbagai sikap anti diskriminasi, prasangka, dan toleransi terhadap kelompok kelompok yang berbeda baik etnis, ras, suku, agama, budaya dan lain sebagainya.
Al-Qur’an memuat ayat-ayat yang berisi pedoman-pedoman dan pokok-pokok peraturan yang sangat dibutuhkan manusia untuk mengatur kehidupannya dari sekian banyak petunjuk yang terdapat didalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi pesan-pesan yang bersifat multikultural, diantaranya adalah:
Pertama, Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia diciptkan dari asal yang sama sebagaimana di jelasakan didalam surat Al-Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya:
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha mengetahui, Mahateliti.” (Q.S. Al-Hujurat ayat 13)
Ayat ini bertujuan bahwa Allah menciptakan manusia dari asal yang sama yakni tanah.
Seluruh manusia di hadapan Allah itu sama, manusia mulia bukan karena suku, warna kulit ataupun jenis kulit melainkan karena taqwanya.
Manusia dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bukan untuk saling menjatukan atau menghujat melainkan agar saling kenal-mengenal untuk menumbuhkan rasa saling menghormati dan semangat saling tolong menolong.
Dari paparan ayat ini dapat di pahami bahwa agama Islam secara normatif telah menguraikan tentang kesetaraan dalam bermasyarakat yang tidak mendiskriminasikan kelompok lain.
Kedua, Al-Qur’an menyatakan bahwa dulu manusia adalah umat yang satu.
Saat timbul perselisihan, Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.
Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang berisi petunjuk, untuk memberikan keputusan yang benar dan lurus diantara suatu perkara yang mereka perselisihkan. Sebagaimana dijelaskan di dalam surat Al-Baqarah ayat 213:
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ ۚ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۖ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ ۗ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Artinya:
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
(Q.S. Al-Baqarah ayat 213)
Ayat ini menjelasakna bahwa sumber perselisihan, permusuhan dan perpecahan dikalangan umat beragama adalah bukan karena ajaran agama yang dianutnya melainkan karena rasa dengki yang membuat mereka mengabaikan ajaran agamanya masing-masing.
Seandainya mereka menghilangkan rasa dengki dan mengamalkan ajaran agamanya, maka tidak terjadi perselisihan semacam itu.
Karena sejatinya, tiap-tiap agama mengajarkan pemeluknya untuk menjadi manusia-manusia yang baik dan menghargai orang lain.
Ketiga, Al-Qur’an menekankan akan pentignya saling percaya, pengertian, dan menghargai orang lain, menjauhi buruk sangka dan mencari kesalahan orang lain.
Seperti yang di firmankan Allah swt dalam surat Al-Hujurat ayat 12:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan buruk-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari buruk-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hujurat ayat 12)
Ketika menghadapi permasalahan, Al-Qur’anmengajarkan untuk selalu mengedepankan klasifikasi, dialog, diskusi, dan musyawarah. Tidak boleh menjatuhkan vonis tanpa mengetahui dengan jelas permasalahanya. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Hujurat ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya:
“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
(Q.S. Al-Hujurat ayat 6)
Kelima, Al-Qur’an menekankan untuk menghindari konflik dan melaksanakan rekonsiliasi atas berbagai persoalan yang terjadi, yakni upaya perdamaian melalui sarana pengampunan atau memaafkan.
Pemberian maaf dan rekonsiliasi adalah tindakan tepat dalam situasi konflik komunal.
Dalam ajaran Islam, seluruh umat manusia harus mengedepankan perdamaian, cinta damai dan memberi rasa aman bagi seluruh makhluk.
Secara tegas Al-Qur’an menganjurkan untuk memberi maaf, membimbing kearah kesepakatan damai dengan cara musyawarah, duduk satu meja dengan prinsip kasih sayang.
Hal tersebut terdapat dalam surat Asy-Syuura ayat 40:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Artinya:
“Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim,” (Q.S. Asy-Syuura ayat 40)
Dari ayat-ayat Al-Qur’an yang telah disebutkan diatas, keragaman merupakan fitrah yang harus diterima (taken for granted) oleh manusia.
Keragaman akan semakin menambah variasi sehingga kehidupan manusia semakin bermakna, dinamis, dan dapat berkembang dengan baik.
Jadi, masyarakat multikultural merupakan realitas yang harus diterima oleh setiap bangsa. []