Arogansi dan Paradoks Abu Janda

 Arogansi dan Paradoks Abu Janda

Ilustrasi/Hidayatuna

HIDAYATUNA.COM – Baru-baru ini nama Permadi Arya alias Abu Janda kembali mencuat di publik maya. Mulai dari berlaku rasis terhadap eks komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai. Belum juga selesai, muncul lagi twit baru darinya yang menuai banyak kritik dengan menganggap ‘”Islam adalah agama Arogan”.

“Islam memang pendatang dari Arab, agama asli Indonesia itu Sunda Wiwitan, Kaharingan, dll. Dan memang arogan, mengharamkan tradisi asli, ritual orang dibubarkan, pakai kebaya murtad, wayang kulit diharamkan. Kalo tidak mau disebut arogan, jangan injak2 keraifan lokal ” Begitulah cuitan Permadi di Twitter.

Bukan hal aneh lagi jika celoteh kasar yang memunggungi nilai-nilai kesopanan keluar dari mulut Abu Janda. Nyinyir dan nyinyir terlebih pada kubu sebelah yang sering dianggap kadrun (kadal gurun) HTI, FPI dan sejenisnya. Eh, kini malah merembet menyatakan bahwa Islam agama yang arogan.

Jangan salahkan jika kritik datang silih berganti. Penduduk twiter pun dibuat geger olehnya hingga kini rating Abu Janda tidak turun-turun sejak empat hari terakhir. Jika dulu orang-orang mengatakan “Mulutmu harimaumu”, sekarang telah kehilangan taringnya. Untaian kata yang pas saat ini adalah “Jarimu harimaumu”.

Betapa tidak, dengan laju arus teknologi yang begitu canggih menggeser pola kehidupan masyarakat semakin dekat ke arah dunia maya. Siapa pun dapat mencari informasi dengan cepat melalui sentuhan jari bahkan hingga ratusan informasi tersuguhkan di setiap detiknya. Termasuk apa yang dilakukan Abu Janda ini.

Terbukti “Jarimu harimaumu” menimpa Abu Janda. Segala narasi yang dibuat, menuai kritik dan respon dari berbagai macam kalangan. Ahmad Sahal misalnya, salah seorang pengurus Cabang Istimewa NU Amerika menyebutnya koplak. Masih banyak lagi tokoh lain yang juga mengirimkan kritik terhadapnya baik dari luar maupun dari dalam NU itu sendiri.

Kritik atas Abu Janda

Klaim permadi atas dirinya sebagai pelaku Islam yang moderat berbanding terbalik dengan sikap dan prilaku yang dilakukan setiap kali muncul polemik yang mengemuka di publik. Narasi-narasi yang dihadirkan tidak lepas dari nyinyiran yang memaksa untuk terus bersitegang dengan sekitar.

Permadi yang selalu menampilkan diri sebagai orang yang turut andil dalam Banser dan Ansor tapi ngomongnya serampangan. Mendaku paling pancasilais kok malah rasis. Bagi mereka yang tidak menyukai NU menjadi kesempatan dengan terus menjadikan Abu Janda sebagai representasi dari orang-orang NU.

Alhasil, mencoreng nama baik NU, padahal apabila kita mau menelisik dan mendedah lebih dalam. Tidak satu pun punggawa-punggawa NU yang sepertinya, memberikan narasi nyinyir ketika terjadi ketidak-sepahaman.

Jika orang sepertinya dibiarkan terus menerus akan berimbas nantinya pada Indonesia secara umum . Sebab ditinjau dari konten-konten yang dibuat memantik kegaduhan, seolah-olah seorang Permadi ini “Kebal dari Hukum”. Bebas berbuat semaunya.

Semoga saja cocot yang terlontar berbuah setimpal dengan apa yang diperbuat. Masa iya, Indonesia yang katanya Negara hukum akan kalah dengan Abu Janda? Saya sangat optimis Indonesia dengan jajaran penegak hukumnya mampu menghadirkan keadilan dan tidak akan dilecet hanya karena seorang Permadi.

Terkait cuitannya “Islam agama pendatang yang Arogan” dengan dalih budaya yang dihadap-hadapkan. Betapa pun ada golongan dari tubuh Islam yang mengharam-haramkan budaya yang dilakukan sebagaimana dimaksud. Tentunya kita tidak perlu mengeneralisasi bahwa Islam sebagai agama yang arogan.

Masih banyak golongan lain yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal. Sejauh tidak memunggungi batasan-batasan aqidah dan syariah sebagaimana diajarkan.

Tindakan Bar-Bar Abu Janda

Fenomena apa pun di Indonesia, ketika sebuah ucapan berbuah kegaduhan akan banyak melakukan klarifikasi, lalu selesai. Meskipun dirinya memberikan klarifikasi bahwa hal itu tidak berlaku untuk “Islam secara umum”. Apakah dengan klarifikasi selesai?

Alih-alih menjadi moderat atau tawazun sebagaimana yang seringkali dikumandangkan ala-ala NU. Tapi justru memunggungi dan mencemarinya, yang moderat adalah mereka yang ingin mengekstrak nilai-nilai rahmah yang terkandung dalam Alquran dan sunnah. Menjadikan Islam yang benar-benar rahmatan lil ‘alamin. Bukan malah mencemari risalah damai dengan tindakan bar-bar yang jauh dari muatan nilai-nilai akhlaqi-islami.

Tindakan rasisnya juga yang membuat hati banyak orang terluka, khususnya orang-orang Papua. Jelas-jelas Alquran tidak mengajarkan kita untuk berlaku rasis terhadap sesama. Tidak pernah sekali pun, apalagi lantaran sekat SARA. Jika saja Allah menginginkan kita menjadi umat yang satu, bukan hal nihil untuk dilakukan. Tapi Allah memiliki cara lain untuk membuat mahluk bernama manusia dengan berbeda-beda Ras, suku, agama, dan budaya yang beragam untuk saling mengenal. Dalam bahasa Alquran disebut lita’arafu.

Tidak berlebihan jika Ahmad Khoiri menyatakan, “Yang Radikal dari Abu Janda adalah Kebodohannya”. Saya pun sepakat. Dengan tindakan sembarangannya hingga menjurus kepada laku rasis. Hal itu bisa mencederai NU dan Islam dengan menyatakan “Islam agama yang arogan” lantaran tidak bersahabat dengan budaya lokal. Abu Janda telah benar-benar mencederai apa yang telah dicanangkan pendiri NU dan Ulama dulunya. Mirisnya lagi bahkan melukai pancasila yang sering didengung-dengungkannya.

Paradoks Abu Janda menubuh dalam ucapan dan tindakannya yang berbanding terbalik. Mendaku moderat tapi laku dan tindakannya tidak mencerminkan kemoderatan. Malahan boleh dikata nyinyirannya saja yang tampak. Mendaku aktivis NU justru malah mencederai konsep tawazun yang digemakan ulama NU, hingga mendaku pancasilais tapi malah berlaku rasis.

Wallahu ‘Alam bi al-Shawab

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *