Argumen Teologi tentang Kewajiban Menjaga Lingkungan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Pernahkah kita berpikir tentang Bumi pada tahun 2050? Ketika diprediksi akan terjadi kekeringan, kelaparan bahkan tidak ada udara untuk manusia yang hidup di masa itu, kita seolah merasa biasa-biasa aja.
Prediksi itu menjadi sangat wajar ada ketika pada hari ini, kita masih sangat asyik untuk membuang sampah sembarangan, tidak hemat energi, bahkan tidak memiliki upaya untuk menyelamatkan lingkungan untuk anak cucu di masa depan.
Bisa jadi karena kita merasa bahwa di masa yang akan datang kita sudah tidak hidup lagi, atau bahkan sudah tidak memerlukan Bumi untuk hidup.
Meskipun demikian, pikiran untuk meninggalkan Bumi yang layak huni kepada para anak cucu, sangat wajib untuk dilakukan.
Pembahasan tentang lingkungan, nampaknya menjadi hal yang sangat urgen untuk terus dikaji oleh kita sebagai manusia.
Sebab bagaimanapun, Bumi adalah nyawa manusia yang menjadi satu-satunya tempat tinggal. Apabila Bumi sudah rusak, apa yang bisa dilakukan oleh manusia?
Berbagai kajian tentang lingkungan menjadi salah satu upaya untuk memperkuat kesadaran masyarakat dalam merawat Bumi secara kolektif.
Setidaknya, dalam konteks ini, ada kalimat yang cukup menggelitik pernah disampaikan oleh Habib Husein Ja’far Al-Hadar, yakni:
“Nabi Adam metik satu buah, jatuh dari surga. Eh kita nebangin pohon secara zalim ingin masuk surga? Mimpi!”
Contoh semacam ini adalah sebuah refleksi kritis bagi masyarakat daripada berkhotbah agar orang lain bisa membuang sampah pada tempatnya atau menjaga lingkungan dari mulai lingkungan keluarga.
Kalimat di atas juga sejalan dengan yang disampaikan dalam Islam. Pada hakikatnya, Islam sangat memperhatikan dan menjunjung akhlak manusia terhadap alam, yang juga menjadi sumber bencana alam dalam berbagai bentuk.
Bentuk hubungan yang paling bisa kita pikirkan adalah, hablumminallah, hablumminannas dan hablum minal ‘alam.
Bentuk hubungan dengan alam ini perlu diperhatikan oleh manusia. Sebab perilakunya diatur oleh Al-Qur’an secara lengkap.
Munculnya fikih lingkungan merupakan respon masalah yang cukup kompleks bagi masyarakat modern.
Menyusul dengan banyaknya bencana alam yang diakibatkan oleh ulah manusia itu sendiri, maka sangat penting untuk mengkaji bagaimana perintah Islam dalam menjawab persoalan lingkungan.
Islam mengatur secara tegas tentang kewajiban menjaga lingkungan, di antaranya:
Pertama, Islam melarang secara tegas manusia untuk berbuat kerusakan di muka bumi sebagai sumber dari bencana alam.
Allah sangat keras melarang manusia untuk berbuat kerusakan di Bumi. Hukuman Allah sangat tegas kepada manusia yang melakukan kerusakan terhadap lingkungan. Hal ini tercantum pada QS. Al-Maidah:33.
Kedua, Islam menganjurkan kepada manusia untuk mempunyai akhlak yang baik terhadap alam.
Allah memerintahkan manusia untuk berperilaku baik, terhadap makhluk Allah lainnya, seperti: hewan dan tumbuhan.
Menyakiti hewan dan tumbuhan merupakan sesuatu yang dilarang dalam Islam, terlebih lagi dengan merusaknya.
Banyak sekali firman Allah atau pun hadis nabi yang memerintahkan manusia untuk mempunyai akhlak yang baik terhadap alam.
Konteks hubungan yang dimiliki oleh manusia, seperti hubungan dengan Allah, manusia dan alam, adalah bukti bahwa Islam secara tegas mengatur sedemikian rupa agar manusia bisa menjaga akhlak yang baik untuk membagun ketiga hubungan tersebut.
Ketiga, Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka Bumi, tetapi dalam memanfaatkan alam harus menjaga keseimbangan dan pelestarian lingkungan.
Keseimbangan ini perlu diciptakan oleh manusia untuk menjalankan kehidupan di dunia dengan nyaman.
Keempat, Allah memandang bahwa orang-orang yang merusak lingkungan merupakan orang-orang yang berbuat melampaui batas.
Hal ini tercantum dalam Q.S. Ar-Ruum ayat 41 yang berisi pernyataan tegas bahwa manusialah yang menjadi perusak bumi.
Argumen di atas merupakan salah satu bentuk ketegasan Islam bahwa, manusia memiliki kewajiban untuk menjaga alam.
Artinya, jihad ekologi menjadi salah satu term yang melekat dalam diri manusia sebagai makhluk alam. Wallahu a’lam. []