Khalifah Umar, Abu ‘Ubaidah dan ‘Amr bin ‘Aṣ dalam Menyikapi Wabah

 Khalifah Umar, Abu ‘Ubaidah dan ‘Amr bin ‘Aṣ dalam Menyikapi Wabah

Oleh: Prof. Dr. Machasin,. MA.*

HIDAYATUNA.CO – Pada tahun 17/18 H atau 629/630 M. Khalifah ‘Umar pergi untuk melihat keadaan di Syām. Ketika sampai di suatu tempat yang bernama Saragh, beberapa pimpinan pasukan menemui beliau, termasuk panglima Abū ‘Ubaidah bin al-Jarrāḥ. Mereka menyampaikan terjangkitnya wabah (ṭā‘ūn) di Syām.

Kemudian terjadi perbedaan pendapat di antara mereka mengenai apakah Khalifah meneruskan perjalanan atau kembali ke Medinah. Setelah mendengar argumen yang disampaikan, Khalifah memutuskan untuk kembali ke Madinah.

Abu ‘Ubaidah bertanya, “Bukankah ini berarti lari dari ketentuan Allah?” Jawab ‘Umar, “Kami lari dari satu ketentuan Allah ke ketentuan yang lain. Misalkan kau sampai ke suatu lembah dengan untamu dan di situ terdapat bagian yang subur dan yang kering. Bukankah ketika kau gembalakan untamu ke tanah yang subur, itu hanya terjadi dengan taksir Allah? Demikian juga kalau kau memilih tanah yang kering?” ‘Abu ‘Ubaidah menjawab, “Betul.” Khalifah pun lalu kembali ke Medinah. (HR Bukhārī, Muslim dll.)

Mengenai panglima Abū ‘Ubaidah bin al-Jarrāḥ, disebutkan bahwa ketika  wabah berkecamuk, ia berpidato, “… Penyakit ini adalah kasih sayang Tuhan kalian, doa Nabi kalian dan [penyebab] kematian orang-orang saleh sebelum kalian. Sungguh Abū ‘Ubaidah memohon kepada Allah untuk memberikan bagiannya dari penyakit ini.” Ia pun terjangkiti dan meninggal. Abū ‘Ubaidah kemudian digantikan Mu‘ādz bin Jabal yang mempunyai sikap serupa dan meninggal tidak lama kemudian. (HR Aḥmad dll.)

Lalu ‘Amr bin al-‘Aṣ diangkat sebagai pengganti. Ia datang dari Mesir ke Syām dan mengatakan dalam pidatonya, “Sesungguhnya wabah ini, jika berjangkit, maka berjangkitannya itu seperti nyala api. Karena itu, berpindahlah kalian ke gunung-gunung.” Lalu mereka pergi ke tempat-tempat yang lebih tinggi dan wabah pun kemudian berhenti. (Tārikh Ṭabarī Usud al-Ghābah Ibn al-Atsīr dan Majma‘ al-Zawā’id Haiytsamī).

Sikap ‘Umar

‘Umar tidak jadi masuk ke daerah yang sedang dilanda wabah. Sikap ini bisa disalahkan sebagai lari dari takdir Allah. Akan tetapi, dapatkan orang lari dari takdir? Penjelasan yang diberikan ‘Umar menunjukkan bahwa dalam pemahamannya, takdir tidak berhadap-hadapan dengan ikhtiar. Ikhtiar manusia pun hanya dapat terjadi dengan takdir Allah.

Sebagai Khalifah, ‘Umar mengemban tugas yang jauh lebih luas daripada Syām. Ia tidak semestinya terpaku hanya pada satu daerah. Dari Madinah, ibukota saat, ia dapat memberikan perintah-perintah untuk seluruh daerah.

Sikap ‘Abu ‘Ubaidah

Panglima ini ada di tengah-tengah pasukan. Kalau ia pergi, moril pasukan akan jatuh, padahal saat itu mereka ada di baris depan dalam peperangan dengan pasukan Romawi Timur. Menyelamatkan diri merupakan sikap yang tidak terpuji.

Mengapa ia tidak mengajak seluruh pasukan untuk pergi ke tempat lain?

Ṭabarī menyebutkan satu riwayat bahwa ‘Umar memberi petunjuk kepadanya untuk pergi ke tempat yang lebih tinggi karena pasukan saat itu ditempatkan di daerah berair. Panglima lalu meminta seorang sahabat, Abū Mūsa, untuk memimpin perpindahan itu. Akan tetapi, Abū ‘Ubaidah meninggal sebelum sempat ikut pindah.

Sikap ‘Amr bin ‘Āṣ

Tampaknya ‘Amr bin ‘Āṣ lebih memahami tabiat wabah. Tidak terdengar bahwa ia mempersoalkan masalah ketentuan Allah. Yang diriwayatkan adalah bahwa ia membawa pasukan untuk pergi ke tempat yang lebih tinggi. Mungkin dia sudah tahu bahwa tempat-tempat berair itu merupakan lahan yang subur bagi penyebaran penyakit dan karenanya ia mengajak pasukan ke pegunungan. Selain itu kelihatannya ia tahu bahwa wabah itu akan surut kalau tempat berjangkitnya kosong dari orang banyak, seperti api yang akan berhenti menyala kalau bahan bakarnya habis.


Guru Besar UIN Sunan Kalijaga

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *