Anak Korban Broken Home, Siapa yang Wajib Menafkahi?

 Anak Korban Broken Home, Siapa yang Wajib Menafkahi?

Fatherless dan Budaya Patriarki yang Tak Pernah Kunjung Usai (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Nafkah keluarga menjadi tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga. Namun bagaimana dengan anak korban broken home (keretakan rumah tangga) yang orangtuanya berpisah?

Selama masa iddah, hukum fikih mensyariatkan ayah sebagai penanggung jawab nafkah anak. Setelah selesai masa iddah, atau setelah si ibu menikah lagi, nafkah tersebut mencakup seluruh kebutuhan anak sesuai kelaziman dan kemampuan ayah.

Meski demikian, dilansir dari Republika.co.id, perihal nafkah anak korban broken home ini bisa dimusyawarahkan dengan mantan istri. Ini menjadi salah satu pilihan.

Misalnya musyawarah pembagian tugas; ibu berfokus pada pembinaan anak tersebut, sedangkan seluruh biaya anak tersebut itu menjadi tanggung jawab ayah (mantan suami).

Ayah Wajib Menafkahi Anak

Ulama sepakat bahwa saat suami menalak istrinya dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil, nafkah anak-anaknya menjadi kewajiban si ayah. Baik selama masa iddah, setelah selesai masa iddah, maupun setelah mantan istri menikah lagi.

Ketentuan tersebut baik saat istri dalam kondisi berkecukupan atau pun tidak. Syekh ‘Athiyah Shaqr menjelaskan, “Jika suami memiliki anak dari istri yang diceraikan dan istri yang mengasuhnya. Suami menyediakan nafkah terhadap anaknya, baik anak-anak tersebut bersamanya atau pun tidak.” (Maushuat al-Usrah, 6/353).

Hal tersebut sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 105 terkait regulasi. Dijelaskan, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya ketika terjadi perceraian.

Sedangkan anak yang sudah mumayyiz pemeliharaannya diserahkan kepada anak untuk memilih ayah atau ibunya sebagai pemegang haknya. Sedangkan, biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, “Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: Baik-ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya. Semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.”

Memberi Nafkah Sesuai Kemampuan Ayah

Nafkah anak memang menjadi kewajiban ayah, namun besarannya tetap harus disesuaikan dengan kemampuannya. Misalnya kebutuhan asasi anak seperti biaya tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan sejenisnya.

Sebagaimana firman Allah SWT:

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya ….” (QS At Talaq: 7).

Besaran nafkah tersebut sesuai dengan analogi terhadap besaran nafkah istri, sebagaimana hadis Rasulullah Saw:

وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan hak mereka (istri-istri) atas kalian adalah menafkahi mereka dan menyandangi mereka dengan cara-cara yang baik”. (HR Muslim).

Begitu pula dengan besaran nafkahnya. Inilah alasan mengapa musyawarah ayah dan ibu dari anak tersebut dianjurkan karena musyawarah itu akan menentukan kebutuhan finansial anak. Ini merupakan adab terbaik.

Hukum Ayah yang Tidak Menafkahi Anaknya

Ketika terjadi keretakan dalam rumah tangga, ternyata si ayah enggan memberikan nafkah anak, maka pengadilan berhak untuk mewajibkan kepadanya.

Hal ini sebagaimana ditegaskan regulasi terkait, “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan. Dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.” (UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Beberapa penjelasan ahli fikih yang menyiratkan kewajiban tersebut juga senada dengan regulasi tersebut. Menurut Ibnu Qudamah, “Kewajiban untuk menyusui anak itu kewajiban seorang ayah, dan ia tidak bisa memak sa si ibu untuk menyusuinya saat ia diceraikan. Kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.” (Lihat Al Mughni, 11/430).

Begitu juga dengan penjelasan Ibnu Taimiyah, “Sesungguhnya upah menyusui anak itu menjadi hak si ibu sebagaimana kesepakatan para ulama.” (Lihat Al Fatawa Al Kubra, 3/347). Wallahu a’lam.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *