Allah (Tidak) Perlu Dibela?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – “Kasihan sekali Allah (mu) ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya, DIA lah pembelaku selalu dan Allah (ku) tak perlu dibela.” Begitulah cuitan dari sosok Ferdinand Hutahaean yang ramai diperbincangan warga maya.
Bermula dari sebuah cuitan tersebut menggaduh-gemparkan publik twitter hingga melahirkan tagar. Tagar tersebut kemudian menjadi trending topik top 1 #tangkapferdinand, yang menjadi sorotan adalah di poin “Allahmu ternyata lemah” dan dianggap sebagai bentuk penistaan.
Ferdinand sendiri telah dilaporkan oleh Brigade Muslim Indonesia (BMI) Sulawesi Selatan yang merupakan gerakan Islam di Makassar. Menurutnya, mengandung unsur ujaran kebencian yang bermuatan SARA sebagaimana dilaporkan Suara.com, Rabu, (05/01/2022). Intinya kemunculan tagar itu menuntut penangkapan Ferdinanad karena dianggap penistaan.
Saya tidak begitu heran dengan fenomena yang terjadi, karena apa-apa yang menjadi trending hampir keseluruhan memakai embel-embel agama. Perlu diakui, sentimen agama memang sangatlah sensitif, dan kerap menuai kegaduhan.
Tulisan ini bukan untuk menabuh riuh kegaduhan, bukan pula tinjauan hukum, dan sebagainya. Namun ada fenomena menarik yang muncul di tengah-tengah kegaduhan ini.
Terdapat cuitan jenis lain yang masih setopik yang menampakkan kekesalan yang memuncak hingga lahir cuitan seperti ini;
“Darahnya halal, karena sudah menghina dan merendahkan ALLAH, yang merasa terhina mainkan jari kalian” tulis seorang warga twiter dengan disisipkan gambar seperti berikut;
Kekhawatiran Munculnya Bibit Ekstremisme
Ketika melihat cuitan yang bernada “Halal darahnya” saya langsung merasa merinding seketika. Bukan saja menampakkan kekesalan yang membuncah tapi kengerian yang tak terperikan.
Bayangkan saja, jika seandainya ada seseorang yang mengafirmasi panggilan tersebut hingga menggerakkan hatinya memenuhi panggilan. Demi memuncratkan darah dari seorang Ferdinand karena ada legitimasi “halal darahnya”.
Bukankah akan menimbulkan masalah baru yang semakin runyam? Bahkan lahir pengandaian lain dan kemungkinan terburuk yang mengitari kepala saya kala itu.
Adalah bagaimana jika tindakan yang dilakukan dalam rangka menumpahkan darah si Ferdinand itu dengan melakukan bom bunuh diri. Di sini bukan hanya Ferdinand yang terhempas, tapi orang sekitar juga akan mendapatkan getah pahitnya. Bisa masalah bukan?
Meskipun itu hanya sebuah pikiran pengandaian-pengandaian yang teramat pesimistis dan terlampau berlebihan. Namun tetap saja, yang dipikirkan terus-terusan adalah “mungkin saja dapat terjadi yang seperti itu”, alasan saya sederhana karena yang dipakai di sini adalah atas nama Allah.
Jika term “Allah” telah digunakan apa pun akan menjadi mungkin, termasuk terejawantah dalam aksi nekat berupa terorisme-ekstrimisme. Berupa bom bunuh diri atau tindakan anarkis yang sejenis dengan dalih membelaNya.
Bijak dalam Bermedia Sosial
Data empiris menyebutkan bahwa orang-orang yang rela mati dengan berebut menjadi martir dengan bom dalam pelukan. Adalah mereka yang meyakini sebagai bentuk kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya.
Penghambaan yang sebenar-benarnya yang rela mati atas nama Tuhan. Juga sebagai bentuk jalan meraih surga-Nya dengan ditemani bidadari-bidadari cantik nan jelita yang diidamkannya (menurut versinya). Bahkan sebelum melakukan aksi tersebut terkadang sempat memekik takbir sebagai anggapan titah suci dari-Nya.
Mau diakui atau tidak begitulah realitanya, hampir setiap insiden bom bunuh diri yang terjadi hampir selalu berkedok agama. Ya, lagi-lagi atas nama pembelaan.
Saya sangat memahami bagaimana kesalnya hingga orang tersebut mengeluarkan adagium keramat “Halal darahnya” untuk menanggapi atas pernyataan Ferdinand. Namun hal tersebut juga berlebihan, lagi-lagi bagaimana jika hal tersebut memperburuk keadaan sampai meletus kekerasan, bukan malah menyelesaikan kan?
Tersinggung sih oke dan sangat manusiawi, tapi ketersinggungan yang berlebihan juga tidak baik, jangankan di situ, berbuat baik saja yang statusnya sangat jelas berbuat kebaikan namun dosisnya berlebihan dapat saja dikategorikan tidak baik, apalagi begitu? Intinya apapun yang berlebihan merupakan ketidak-baikan (tentu saja dengan syarat dan ketentuannya) termasuk berlebihan baik itu sendiri.
Tulisan ini tidak bermaksud membela Ferdinand, sudah tahu persoalan yang paling laku keras nan sensitif adalah berbalut agama. Ia tetap saja memancing keributan.
Paling tidak patut menjadi catatan penting untuk sedikit mengerem dalam meminimalisir kegaduhan. Mau bagaimanapun, perasaan yang menggema di dada hingga memaksa melontarkan dalam bentuk cuitan atau postingan di media sosial, haruslah dipikirkan.
Apa dampak yang akan diperoleh dan ditelaah kembali padanan kata yang pas itu apa untuk hal yang teramat sensitif. Apalagi memiliki banyak pengikut dan dikenal publik ramai harus dituntut lebih berhati-hati nan bijak dalam bermedia sosial.
Hinaan Tak Mengurangi Ke-Mahabesaran-Nya
Saya pun sedikit sepakat jika “Tuhan tak perlu dibela” karena sejatinya memang begitu. Betapa pun orang-orang menjelekkan bahkan menghina-dinakan Allah, DIA tidak akan langsung mengurangi ke-Maha-an dan kuasaNya. Selamanya akan tetap mulia dan tidak akan gugur kemuliaanNya hanya sekedar ocehan hina-dina manusia.
Mau membela pun tidak masalah dan dapat dibenarkan, yang salah itu jika cara yang digunakan memunggungi prinsip kemanusiaan. Semisal pembelaan yang dilakukan dengan cara kotor dan berbuat anarkis yang melahirkan aksi ekstrimisme-terorisme yang merugikan banyak orang.
Begitu pun pembelaan atas nama Allah dengan aksi yang memunggungi sifat Welas-Asih dan Rahman-RahimNya. Lantas buat apa membela Allah yang maha pengasih, penyayang dengan tindakan kekerasan yang dibenci-Nya?
Di mana pun posisi pembaca, baik mau membela Tuhan (Allah) atau tidak, semuanya sama-sama baik. Terpenting, mengetahui batas wajar yang seharusnya tanpa harus memunggungi nilai-nilai universal yang dianut bersama.
Apalagi sampai mencederai prinsip toleransi dan kemanusiaan hingga menjadikan yang berbeda sebagai musuh yang juga layak ditumpas. Apa pun dalihnya jika masih merenggut kemanusiaan tidak dapat dibenarkan, termasuk dalih pembelaan nama Allah sekalipun.
Wallahu A’lam bi al-Sahawab