Ali Taher: Peraturan Turunan Dari UU Pesantren Harus Segera Dibuat
![Ali Taher: Peraturan Turunan Dari UU Pesantren Harus Segera Dibuat](https://i0.wp.com/hidayatuna.com/wp-content/uploads/2019/09/WhatsApp-Image-2019-09-26-at-14.57.33.jpeg?resize=700%2C400&ssl=1)
HIDAYATUNA.COM, Denpasar – Ketua Komisi VIII DPR, Ali Taher mengakui UU Pesantren yang baru saja disahkan pada Selasa (24/9) kemarin ini masih ada beberapa hal memang yang perlu diatur dalam aturan-aturan teknis, bersifat umum, dan banyak yang harus dirinci melalui peraturan turunannya.
“Ada aturan-aturan teknis tentang kriteria pesantren, misalnya. Kemudian tentang kriteria tenaga pendidik, standarisasi (tenaga pendidik), atau sertifikasi, termasuk juga dana abadi dan lainnya. Itu harus segera dibuat turunannya,” tuturnya, seperti yang dikutip HIDAYATUNA.COM di Republika.co.id, Kamis (26/9/2019).
“Peraturan turunan yang saya maksud bisa berupa peraturan pemerintah, presiden, ataupun menteri. Karena, ini berkaitan dengan tugas penyelenggara negara yang menyangkut tugas, pokok, fungsi dan kewenangan masing-masing. Soal SDM, kan perlu diatur. Tenaga pendidik, misal ada sertifikasinya. Misalnya seperti ini. Selain itu, UU Pesantren bersifat lex specialis dan mengandung sejumlah hal spesifik, contohnya yaitu soal pendirian pesantren, pengelolaan pesantren, penyelenggaraan pesantren, dan dewan masyayikh,” imbuh Ali Taher.
Kriteria pesantren, menurutnya, adalah pesantren itu punya kriteria pokok, pasal 5 ayat 1, pesantren berbasis kitab kuning, kedua berbasis dirasah islamiyah dengan pola muallimin, dan ketiga berbasis integrasi dengan pendidikan umum.
Selanjutnya soal pendanaan pemerintah, pemerintah pusat maupun daerah, hanya mengucurkan bantuan anggaran kepada pesantren yang telah berbadan hukum. Ada beberapa jenis badan hukum. Salah satunya yayasan yang diakui selama ini banyak menaungi pondok pesantren.
“Tentu saja yang memiliki badan hukum. Ada badan hukum yang perorangan, ada badan hukum yang bentuknya yayasan, PT, CV, macam-macam. Nah ini kebetulan penyelenggara pesantren hampir semuanya adalah yayasan,” ungkapnya.
Aturan soal kriteria pesantren yang dapat menerima anggaran pemerintah akan dirinci dalam peraturan turunannya, yaitu peraturan pemerintah atau peraturan menteri agama.
“Nanti diatur kriteria pesantren yang dibantu, diberi anggaran, itu seperti apa. Badan hukum yang memayungi pesantren, harus bertanggungjawab terhadap pengelolaan pesantren yang menggunakan anggaran negara, baik itu anggaran pemerintah pusat atau daerah. Nah, inilah yang dipertanggungjawabkan penggunaannya secara administratif,” bebernya.
Dengan demikian, UU Pesantren yang baru saja disahkan pada Selasa (24/9) kemarin, mengamanatkan kepada pemerintah pusat dan daerah, untuk turut memerhatikan pesantren dan memberinya bantuan pendanaan. Hal ini sebagaimana tercantum pada pasal 48 ayat (2) dan (3) UU Pesantren.
“Dana pesantren bersumber tidak hanya dari anggaran pemerintah, APBN maupun APBD, tapi juga berasal masyarakat. Ada beberapa sumber dana untuk pesantren. Ada sumber dana mandiri yang dari masyarakat yang dikelola oleh yayasan. Dan ada juga yang bersumber dari APBN atau APBD,” tuturnya.
RUU Pesantren resmi disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR, di ruang rapat paripurna DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9). Fahri Hamzah selaku pimpinan rapat tersebut mengetok palu seusai menanyakan persetujuan anggota DPR yang hadir. Kemudian dijawab setuju oleh seluruh fraksi anggota DPR.
Sebelum palu diketok, Fraksi PPP memberi catatan terkait UU Pesantren. Menurut Anggota DPR Fraksi PPP Arsul Sani, ada banyak peraturan yang perlu diperhatikan oleh jajaran pemerintahan setelah pengesahan UU tersebut.
“Anggota DPR berikutnya agar tidak hanya berhenti pada mengesahkan dan menyetujui saja, banyak peraturan yang saya kira nanti harus kita ingatkan kepada jajaran pemerintahan untuk bisa disesuaikan dengan semangat dari UU ini,” pungkasnya.