Al-Qur’an Sebagai Rujukan Satu-Satunya dalam Pokok dan Dasar Keimanan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Apa tujuan Allah Swt menurunkan Al-Quran? Jawabannya untuk menunjuki manusia jalan yang lurus dan benar agar bisa selamat dalam kehidupan dunia sampai akhirat kelak.
Jadi, al-Quran adalah kitab petunjuk. Karena ia adalah kitab petunjuk untuk menuju jalan keselamatan tentu ia telah mencakup seluruh penjelasan tentang bagaimana caranya agar bisa selamat.
… أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ …(البقرة : 185)
Artinya:
“… al-Quran yang diturunkan di dalam bulan Ramadhan sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang salah)…”
Penjelasan tentang hal itu tidak disampaikan secara global, melainkan terperinci. Karena kalau disampaikan secara global tentu petunjuk yang diberikan tidak utuh atau sempurna.
كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ (هود : 1)
Artinya:
“Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan kokoh (rapi) kemudian dirincikan dari sisi Zat Yang Mahabijaksana, Mahateliti.”
Hal-hal yang bisa menjamin seseorang untuk selamat dan terbebas dari siksaan Allah Swt di akhirat kelak biasa disebut dengan istilah مَعَاقِدُ النَّجَاةِ (simpul-simpul keselamatan).
Apakah مَعَاقِدُ النَّجَاةِ sudah dijelaskan secara utuh dalam al-Quran?
Dengan tegas kita mengatakan: sudah. Karena al-Quran adalah kitab petunjuk, dan tidak mungkin sebuah kitab petunjuk (guide book) luput dari penjelasan tentang apa yang bisa mengantarkan seseorang pada jalan keselamatan.
Simpul-simpul keselamatan (مَعَاقِدُ النَّجَاةِ) yang dimaksud di sini adalah pokok dan dasar-dasar keimanan (أصول الإيمان), di mana seseorang tidak akan selamat di akhirat jika tidak meyakini salah satunya, apalagi seluruhnya.
Apakah dasar-dasar keimanan itu sudah ada dalam al-Quran? Jawabannya, sudah.
Karena hanya al-Quran satu-satunya kitab yang dijamin oleh Allah untuk dijaga dan dipelihara, dan hanya al-Quran yang disepakati (tanpa ada yang menyelisihi) sebagai sesuatu yang bersifat qath’iy ats-tsubut (sudah pasti keotentikannya).
Maka tentu dasar-dasar keimanan yang akan menjamin keselamatan seseorang di akhirat nanti sudah tercantum di dalamnya secara rinci.
Dengan demikian, siapa yang mengingkari satu atau lebih dari dasar-dasar keimanan tersebut maka ia telah sesat.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (النساء : 136)
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah, Rasul-Nya, kitab yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya, dan kitab yang Dia turunkan sebelumnya. Siapa yang kafir terhadap Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, maka ia telah tersesat sangat jauhi.”
Kalau memang dasar-dasar keimanan itu sudah ada dalam al-Quran secara lengkap dan rinci, lalu bagaimana dengan hadits-hadits tentang keimanan?
Jawabannya, hadits-hadits tersebut lebih sebagai penguat dan penegas apa yang telah dijelaskan di dalam al-Quran.
Jadi, untuk masalah keimanan yang menjadi syarat mutlak untuk selamat yang wajib diyakini oleh setiap orang yang ingin selamat, dan dihukum kafir siapa yang mengingkarinya, semua itu sudah terdapat di dalam Al-Quran secara lengkap dan rinci.
Sekarang kita lontarkan sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik,
“Lalu bagaimana dengan berbagai peristiwa akhir zaman, terutama tiga ikon utamanya ; kemunculan Imam Mahdi, Dajjal dan turunnya Nabi Isa, yang menurut banyak ulama wajib diyakini?”
Di sinilah terjadi perbedaan pendapat yang sangat panjang dan tajam antara ulama yang meyakini hal tersebut dengan ulama lain yang mengkaji ulang masalah ini bahkan sampai pada tahap mengingkarinya.
Kalau kita bertanya, apakah ada ayat dalam al-Quran yang berbicara tentang kemunculan Mahdi, Dajjal dan turunnya Nabi Isa?
Jawabannya, tidak ada satu ayatpun dalam al-Quran yang berbicara tentang Mahdi dan Dajjal.
Sementara tentang turunnya Nabi Isa, ada beberapa ayat yang oleh sebagian ulama bisa ditafsirkan ke arah itu.
Namun ayat-ayat tersebut tidak secara sharih (tegas) menjelaskan bahwa Nabi Isa akan turun di akhir zaman nanti.
Karena itulah muncul perbedaan pendapat dalam menafsirkannya.
Bahkan khusus tentang Imam Mahdi, tak satupun ada hadits mengenai itu dalam dua kitab yang paling shahih yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Keterangan tentang Imam Mahdi tersebar di kitab-kitab sunan dan masanid yang tentunya kualitas haditsnya beragam; ada yang shahih, hasan, dha’if bahkan palsu.
Jika demikian, apa dasar sebagian besar ulama yang meyakini kemunculan Imam Mahdi, Dajjal dan Nabi Isa di akhir zaman?
Dasar mereka adalah hadits-hadits yang dalam penilaian mereka sampai ke derjat mutawatir. Karena hadits-hadits tersebut sudah mencapai tingkat mutawatir maka ia juga bersifat qath’iy ats-tsubut seperti halnya Al-Quran.
Sementara para ulama yang mengingkari hal tersebut tidak sependapat hadits-hadits tersebut bersifat mutawatir.
Karena meskipun hadits-hadits tersebut datang dari berbagai jalur namun sebagian besarnya lemah, bahkan tak sedikit yang palsu.
Adapun yang shahih dari hadits-hadits tersebut, ternyata satu sama lain saling bertentangan.
Karena itu, menurut mereka, meskipun hadits-hadits tersebut ada yang shahih, tapi levelnya tetaplah Ahad, tidak sampai ke level mutawatir.
Dan oleh karenanya, ia tidak kuat untuk dijadikan pegangan dalam masalah akidah.
Secara tegas, Syekh Abu Zuhrah menyatakan dalam Tafsirnya (hal 1243) :
هي أخبار آحاد لا يؤخذ بها فى الاعتقاد
Artinya:
“Ia (hadits-hadits tentang turunnya Nabi Isa dan sejenisnya) adalah hadits Ahaad yang tidak bisa dijadikan sebagai acuan dalam masalah akidah.”
Siapa-siapa saja ulama yang mengingkari hal tersebut?
Di antaranya adalah :
– Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Khaldun (Wafat 808 H), dalam kitab monumentalnya yang berjudul al-Muqaddimah (Jilid I halaman 514 tahqiq Abdullah Darwisy).
Dalam bahasan yang mencapai 30 halaman itu, Ibnu Khaldun mendiskusikan berbagai riwayat tentang kemunculan Mahdi.
Meskipun ia tidak dikategorikan sebagai ulama hadits, dan bukunya juga bukan buku hadits, tapi bahasan yang dikemukakannya merujuk kepada kitab-kitab hadits terpercaya dan menggunakan analisa ulama hadits.
Bahasan Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah-nya ini dibantah oleh Syekh Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari dalam kitabnya Ibraz al-Wahm al-Maknun min Kalam Ibnu Khaldun setebal 160 halaman.
– Imam Muhammad Abduh dan muridnya Sayyid Rasyid Ridha di beberapa tempat dalam Tafsir al-Manar, diantaranya dalam menafsirkan QS. Al-A’raaf ayat 187, dan juga tulisan Sayyid Rasyid Ridha di Majalah al-Manar.
– al-Imam al-Akbar Syekh Mushthafa al-Maraghi (Syaikhul Azhar di masanya) dalam tafsirnya yang dikenal dengan Tafsir Maraghi dan juga dalam fatwanya yang dinukil oleh Syekh Mahmud Syaltut.
– al-Imam al-Akbar Syekh Mahmud Syaltut (Syaikul Al-Azhar di masanya) dalam kitabnya al-Fatawa hal 59 – 82, dan juga dalam kitabnya yang populer al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah.
– Syekh Muhammad Abu Zuhrah dalam beberapa tulisannya di majalah Liwa` al-Islam.
Sementara dalam tafsirnya yang berjudul Zahrat at-Tafasir, ia lebih banyak mengetengahkan kedua pendapat yang saling bertentangan secara berimbang, meskipun ia tampak lebih cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa Nabi Isa sudah wafat.
– Syekh Muhammad al-Ghazali dalam beberapa tulisannya juga mengingkari turunnya Nabi Isa di akhir zaman.
Meskipun dalam kitabnya Tafsir Maudhu’i, beliau menyampaikan ihtimal (kemungkinan) Nabi Isa akan turun di akhir zaman.
Namun ia tetap menegaskan bahwa Nabi Isa memang sudah wafat.
– Syekh Thahir Ibnu ‘Asyur (Syaikh Jami’ Zaitunah di masanya) dalam tafsirnya at-Tahrir wa at-Tanwir (lihat misalnya pada jilid 3 halaman 229) tentang turunnya Nabi Isa dan kitabnya Tahqiqat wa Anzhar hal 49 – 61 tentang kemunculan Imam Mahdi.
Syekh Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa masalah Imam Mahdi bukan masalah akidah yang berdampak pada iman atau kafir.
Ia hanya masalah keilmuan biasa yang tidak perlu diperuncing. Bagi yang meyakininya silahkan, dan bagi yang tidak jangan dikafirkan.
– Dr. Ahmad Syalabi (Sejarawan Mesir terkenal yang pernah menetap beberapa lama di Indonesia) dalam kitabnya Muqaranat al-Adyan; al-Masihiyyah.
Dalam kitab ini ia mensinyalir bahwa keyakinan tentang turunnya Nabi Isa di akhir zaman adalah keyakinan Masehi (Kristen) yang menyusup ke dalam akidah umat Islam.
– Syekh Sa’ad Muhammad Hasan, salah seorang ulama Azhar, dalam bukunya al-Mahdiyyah fil Islam.
Dalam buku ini, ia dengan tegas menyatakan bahwa keyakinan Ahlus Sunnah tentang munculnya Imam Mahdi adalah pengaruh dari keyakinan kalangan Syi’ah tentang al-Mahdi al-Muntazhar.
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh ulama-ulama lainnya yang lebih mu’ashir (kontemporer).
Salah satunya, dosen kami di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Dr. Ahmad Sayyid Musayyar.
Ia secara tegas juga menyatakan tidak meyakini kemunculan Mahdi di akhir zaman.
– Syekh Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam salah satu wawancara dengan al-Jazeerah juga tegas menyatakan tidak meyakini kemunculan Imam Mahdi.
– Syekh Abdullah bin Zaid Aku Mahmud yang pernah menjadi Mufti Qatar juga berpendapat senada. Ia bahkan menulis risalah yang berjudul : لا مهدي ينتظر بعد رسول الله “Tidak ada Mahdi setelah Rasulullah SAW. ”
– Seorang ulama terkenal asal Minangkabau; KH. Siradjuddin Abbas dalam bukunya I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah halaman Ulama Indonesia menulis:
“I’tiqad akan lahirnya Imam Mahdi ini tidak sesuai dengan i’tiqad kaum Ahlussunnah wal jama’ah karena hadits-hadits yang menerangkan hal ini tak berjumpa dalam Hadits Bukhari dan Muslim, hanya ada dalam Kitab Hadits Tirmidzi dan Abu Dawud yang kemudian diterangkan bahwa hadits itu dha’if karena si rawinya terdapat seorang yang bernama ‘Ashim yang sangat pelupa dalam hafalannya.”
Nama-nama yang disebutkan di atas bukan tokoh sembarangan yang berijtihad asal-asalan.
Memang, pendapat mereka bertentangan dengan pendapat banyak ulama yang menjadikan masalah kemunculan Imam Mahdi, Dajjal dan turunnya Nabi Isa sebagai masalah akidah yang wajib diimani.
Tapi dengan mengkaji ijtihad dari para ulama yang disebutkan diatas secara lebih mendalam dan dengan pikiran yang jernih.
Setidaknya kita akan mendapatkan sudut pandang yang berbeda, dan tidak buru-buru dalam menyimpulkan sesuatu yang berkaitan dengan keimanan atau keyakinan.
Apalagi kalau kita telah sepakat bahwa simpul-simpul keselamatan dan dasar-dasar keimanan itu sebeanrnya telah dijelaskan secara rinci oleh Al-Quran.
والله تعالى أعلم وأحكم
[]