Al-Quran Diantara Polemik Ayat Muhkam Dan Mutasyabih

 Al-Quran Diantara Polemik Ayat Muhkam Dan Mutasyabih

Kenapa Gua Tsur Menjadi Penting dalam Sejarah Nabi Muhammad?

HIDAYATUNA.COM – Dalam upaya untuk memahami makna al-Quran secara presisi, ada pembahasan yang cukup vital dalam ulumul al-Quran. Yaitu muhkam dan mutasyabih.

Mengenai apa muhkam dan mutasyabih sebenarnya ada banyak penjelasan terkait itu. Namun secara garis besar dapat disederhanakan menjadi. ayat muhkam adalah ayat yang mudah dipahami, ayat yang maknanya jelas, tidak mengandung multimakna dan tidak pula memerlukan keterangan lain untuk memahami maknanya. ayat yang jelas dan nyata, tidak mengandung kemungkinan naskh, sedangkan mutasyabih sendiri adalah ayat yang tersembunyi maknanya dan tidak diketahui maknanya secara pasti, baik secara rasional, aqli maupun naqli.

Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu makna, sehingga dengannya dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung kemungkinan banyak makna takwil, karena ambiguitas maknanya sehingga mutasyabih membutuhkan penjelasan lain.

Para ulama semisal al-Zarqani klasifikasinya ayat-ayat mutasyabih menjadi tiga jenis. Pertama,  ayat-ayat dimana tertutup kemungkinan manusia untuk mengetahui maksudnya, ayat-ayat ini biasanya berkutat pada Dzat Allah, hakikat-hakikat sifat-Nya dan terkait hal-hal ghaib semisal waktu kiamat. Keyakinan seperti ini dikukuhkan oleh firman Allah.

وَعِنْدَهٗ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ اِلَّا هُوَۗ

Dan pada sisi Allah SWT-lah kunci-kunci semua yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia (Allah) sendiri. (QS. al-An’am :59)

اِنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗ عِلْمُ السَّاعَةِۚ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَۚ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْاَرْحَامِۗ

Sesungguhnya Allah SWT, haya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan mengenai hari kiamat. Dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada di dalam Rahim. (QS. Luqman :34)

Kedua adalah, ayat yang rumit dan samar, baik kesamarannya lantaran ringkasnya redaksi ayat, atau sejenisnya namun dapat diketahui maknanya melalui penelitian dan pengkajian mendalam.

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ

Sedangkan mutasyabih jenis yang Ketiga adalah, ayat yang tersembunyi maknanya, meski demikian, tetap dapat di pahami orang-orang tertentu yang memiliki kejernihan hati, jiwa dan pikiran. Kategori ulama yang seperti ini biasanya seorang mujtahid.

Jika dirunut musabab munculnya disiplin ini sebenarnya terilhami dari keterangan al-Quran sendiri yang tersurat dalam banyak ayat, diantaranya adalah.

الۤرٰ ۗ كِتٰبٌ اُحْكِمَتْ اٰيٰتُهٗ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَّدُنْ حَكِيْمٍ خَبِيْرٍۙ

Alif Lam Ra. (Inilah) sebuah kitab yang disempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya secara terperinci, (yang diturunkan) dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi  Maha Teliti, (QS. Hud :1)

اَللّٰهُ نَزَّلَ اَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتٰبًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَۙ

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Kitab (al-Quran) yang serupa (mutasyabih) lagi berulang-ulang (QS. Al-Zumar :23)

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepada kamu. Di antara (isinya) ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami” dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya), melainkan orang-orang yang berakal. (QS. ali-Imran :7)

Ayat-ayat di atas ini memiliki polemiknya tersendiri, polemik disini tidak selalu bernuansa negatif, bisa juga berarti hikmah, karena dengan adanya perbedaan, maka akan semakin luas khazanah keislaman. sebab itu Ibn Habib al-Nisabur menceritakan bahwa ada tiga pendapat terkait posisi muhkam dan mutasyabih dalam al-Quran.

Pendapat pertama mengatakan bahwa dalam al-Quran seluruh ayat-ayatnya adalah muhkamah, berdasarkan tafsiran atas surah al Hud ayat pertama. Sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa seluruh ayat-ayat dalam al-Quran adalah ayat-ayat mutasyabih, berdasarkan dalil surah al-Zumar ayat 23. Selain itu ada pendapat terakhir yang mengatakan bahwa, di dalam al-Quran sebagian ayat-ayatnya adalah muhkam dan sebagian lainnya mutasyabih, ta’birnya didapat dari surah ali-Imran ayat 7.  Selain menerangkan tentang adanya ayat-ayat mutasyabih dan ayat muhkam dalam al-Quran, ayat di atas juga memiliki problematikanya tersendiri, mengenai siapa yang memiliki otoritas memahami makna ayat-ayat mutasyabih.

Pendapat pertama diwakili oleh ulama yang memaknai kata Wa alrasikhuna fi al-‘ilm dalam ayat ke-tujuh surah ali-Imran di-athaf-kan pada lafazh Allah, sementara lafazh yaaquluna  sebagai hal. Itu artinya, bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang mendalami ilmunya. Pendapat yang kedua, memahami kata Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm sebagai mubtada’ dan yaaquluna sebagai khabar. Itu artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih hanya diketahui oleh Allah, sedangkan orang-orang yang mempelajari ilmunya hanya mengimaninya.

Selain itu cenderung banyak ulama berpegangan pada arti gramatikalnya,  Seperti Imam An-Nawawi, dalam Syarah Muslim, ia berkata, “Pendapat inilah yang paling shahih karena tidak mungkin Allah mengkhitabi hamba-hambaNya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.”Kemudian ada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Ishaq Asy-Syirazi yang mengatakan, “Tidak ada satu ayat pun yang maksudnya hanya diketahui Allah. Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam?”.

Namun sebagian besar sahabat, tabi’in, generasi sesudahnya, terutama kalangan Ahlussunnah berpihak pada gramatikal ungkapan yang kedua. Seperti pendapat dari Al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda ketika mengomentari Surah Ali-Imran ayat 7 : “Jika engkau menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, orang itulah yang dicela Allah, maka berhati-hatilah menghadapi mereka.

Maka jika dilihat dari kenyataan ini, dapat diartikan bahwa hanya dalam satu sub bab disiplin ulumul Quran para ulama telah berbeda-beda pendapat. Belum lagi ketika terjadi irisan-irisan dengan sub bab lain dalam internal ulumul Quran, atau ekstrnal semisal ushul fiqhi, dll sehingga rentang jarak yang cukup jauh dengan zaman Nabi, memungkinkan “sukarnya” memahami makna al-Quran secara pasti. Jadi sekalipun  al-Quran adalah kebenaran absolut itu sendiri, tetapi cara memahami dan memaknai al-Quran yang berbeda-beda menegaskan bahwa tidak ada penafsiran yang absolut.

Wallahu A’lam bishshowab,,,

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *