Al-Kindi: Kita Tak Perlu Malu Mengakui Kebenaran

 Al-Kindi: Kita Tak Perlu Malu Mengakui Kebenaran

Al-Kindi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Di tengah kehidupan polirisasi yang menguat, tampaknya kata bijak dari sosok Bapak Filsafat Arab, Al-Kindi masih sangat relevan. Salah satu pernyataan populer Al-Kindi adalah seseorang tidak perlu merasa malu untuk mengakui sebuah kebenaran.

Menurutnya, kebenaran dari manapun saja asalnya tetap harus kita hargai dan akui. Manusia tidak akan merugi jika ia mau benar benar mengakui sebuah kebenaran.

“Kita tidak perlu malu untuk menghargai kebenaran dan memperolehnya dari mana pun asalnya. Bahkan jika itu berasal dari ras yang jauh dan bangsa yang berbeda dari kita,” ungkap Al-Kindi dikutip dari akun Twitter Islam & Science, Selasa (13/7/2021).

Sebagai informasi, sosok Al-Kindi atau dikenal juga Alkindus. Ia memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya`kub ibn Ishaq ibn Sabbah ibn Imran ibn Ismail al-Ash`ats ibn Qais al-Kindi. Al-kindi lahir di Kufah (sekarang Iraq) pada tahun 801 M.

Tepatnya ia lahir pada masa periode khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dari dinasti Bani Abbas (750-1258 M). Nama Al-Kindi sendiri dinisbatkan kepada marga atau suku leluhurnya, salah satu suku besar zaman pra-Islam.

Latar Belakang Al-Kindi

Menurut Faud Ahwani, al-Kindi lahir dari keluarga bangsawan, terpelajar dan kaya. Ismail al-Ash`ats ibn Qais, buyutnya, telah memeluk Islam pada masa Nabi dan menjadi shahabat Rasul.

Mereka kemudian pindah ke Kufah. Di Kufah sendiri, ayah Al-Kindi, Ishaq ibn Shabbah, menjabat sebagai Gubernur. Tepatnya pada masa khalifah al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (785-876 M) dan Harun al-Rasyid (786-909 M), masa kekuasaan Bani Abbas (750-1258 M).

Pendidikan Al-Kindi dimulai di Kufah, dengan pelajaran yang umum saat itu, yaitu Alquran, tata bahasa Arab, kesusasteraan, ilmu hitung, fiqh dan teologi. Perlu dicatat, kota Kufah saat itu merupakan pusat keilmuan dan kebudayaan Islam, di samping Basrah. Sementara Kufah cenderung pada studi keilmuan rasional (aqliyah).

Kondisi dan situasi inilah tampaknya yang kemudian menggiring Al-Kindi untuk memilih dan mendalami sains dan filsafat pada masa-masa berikutnya. Selanjutnya Al-Kindi kemudian pindah ke Baghdad.

Di ibu kota pemerintahan Bani Abbas ini Al-Kindi mencurahkan perhatiannya. Utamanya untuk menterjemah dan mengkaji filsafat serta pemikiran-pemikiran rasional lainnya yang marak saat itu.

Menurut Al-Qifthi (1171-1248 M), Al-Kindi banyak menterjemahkan buku filsafat, menjelaskan hal-hal yang pelik dan meringkaskan secara canggih teori-teorinya. Hal itu dapat dilakukan karena Al-Kindi diyakini menguasai secara baik bahasa Yunani dan Syiria, bahasa induk karya-karya filsafat saat itu.

Romandhon MK

Peminat Sejarah Pengelola @podcasttanyasejarah

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *