Al-Imtisal: Majalah Berbahasa Arab Warisan Intelektual Ulama Sunda

 Al-Imtisal: Majalah Berbahasa Arab Warisan Intelektual Ulama Sunda

Pembelokan Sejarah (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Dalam khazanah dunia literasi pesantren, terdapat banyak ulama-ulama yang mewariskan khazanah intelektual. Salah satunya adalah “al-Imtisal”. Menurut pakar filologi Islam, A. Ginanjar Sya’ban al-Imtisal adalah majalah berbahasa Arab yang merupakan warisan para ulama Sunda.

“Al-Imtisal adalah salah satu majalah yang terkemuka di Tatar Sunda dan diterbitkan di Tasikmalaya oleh PGNT (Perkumpulan Guru Ngaji Tasik Malaya),” ungkap Ginanjar Sya’ban dalam catatannya diunggah melalui akun Facebook pribadinya, dikutip Kamis (23/9/2021).

Majalah ini lanjut dia, mulai terbit pada tahun 1925 dan berakhir pada tahun 1940 dengan regulasi terbit 3 kali dalam sebulan. Secara ideologis, corak pemikiran Islam yang diusung oleh majalah “al-Imtisal” adalah tradisionalis (Aswaja).

“Redakturnya terdiri dari para ulama Priangan Timur, di antaranya adalah R.H.M. Saleh Memed (Kijai Babakan Soemedang, Tasikmalaja), H.M. Pachroerodji (Soekalaja, Tasikmalaja), H.M. Soedja’i (Koedang, Tasikmalaja), H.M. Zarkasie (Djajaway, Tasikmalaja), dan lain-lain,” jelasnya.

Menariknya, majalah ini kata Ginanjar, dipromotori langsung oleh bupati Tasikmalaya sendiri, yaitu R.A.A. Wiratanoeningrat. Pemimpin redaksi dari majalah ini adalah R.H.M. Saleh (Memed) yang dikenal sebagai Kiai Babakan Sumedang.

***

“Rumah beliau yang terdapat di Stationweg 41A, Tasikmalaya sekaligus menjadi kantor redaksi dan administrasi majalah. Sekitar tahun 1940-an, kepemimpinan redaksi majalah Al-Imtisal dipegang oleh H.M. Zarkasie, yang beralamat di Jajaway (dikenal juga dengan Kiyai Djadjaway),” ungkapnya.

Ajip Rosidi dalam “Masa Depan Budaya Daerah: Kasus Bahasa dan Sejarah Sunda” (2004: 172) mengatakan bahwa majalah “al-Imtitsal” di Tasikmalaya peredarannya luas hampir di seluruh Tatar Sunda, terutama di pesantren-pesantren, tetapi dibaca juga oleh para menak (bangsawan lokal Sunda).

“Majalah “al-Imtitsal” bisa dibandingkan dengan majalah berbahasa Sunda lainnya, yaitu “Parahiangan”, yang terbit dalam skala besar setiap minggu (terbit sejak 1929) dan menjadi bacaan wajib kaum intelektual Sunda pada masa itu,” kata Ginanjar.

Dalam setiap nomornya “al-Imtisal” memuat rubrik yang cukup lengkap. Mulai tulisan yang membahas fiqih, tafsir al-Qur’an, ruang untuk menjawab pertanyaan pembaca seputar agama Islam, ruang untuk bacaan anak-anak, dan lain-lain.

Dalam Ensiklopedi Sunda disebutkan, bahwa sejak nomor pertama dimuat juga feuilleton (dongeng) Malik Sep bin Diyazin yang baru tamat setelah 406 kali muat (1925-1938). Setelah dongeng tersebut tamat, diganti dengan cerita Futuhusysyaam. Dalam setiap cerita yang dimuat banyak petikan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis dalam huruf Arab disertai salinannya dalam Bahasa Sunda.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *