Al-Azhar Kiblat Ilmu Sepanjang Zaman
HIDAYATUNA.COM – Bermula dari sebuah masjid yang dibangun pada 971 M/359 H, al-Azhar kini dikenal sebagai universitas tertua di dunia dan menjadi kiblat ilmu pengetahuan di penjuru dunia. Al-Azhar yang didirikan pada masa Dinasti Fatimiyah oleh Panglima Jauhar as-Siqilli merupakan masjid sekaligus institusi pendidikan yang secara fundamental sangat berperan dalam membangun paradigma pemikiran Islam di dunia.
Bermula dari kajian-kajian terbatas (halaqoh) yang diadakan di bawah tiang masjid dengan sistem yang sangat tradisonal, Al-Azhar tak pernah lelah membidanngi lahirnya ulama dan cendekiawan muslim sepanjang zaman yang berkontribusi besar terhadap kemajuan Islam.
Al-Azhar bukan hanya yang tertua di kalangan dunia Islam, melainkan juga di seluruh dunia. Universitas-universitas di Amerika dan Eropa baru didirikan dua abad setelah berdirinya Al-Azhar. Universitas Paris didirikan pada abad ke-12 Masehi, Universitas Oxford di Inggris pada abad ke-13, demikian juga universitas-universitas Eropa lainnya.
Universitas yang mengimbangi Al-Azhar dari segi sejarahnya adalah Universitas al-Qairawan di Kota Fez, Maroko. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Universitas al- Qairawan adalah yang tertua di dunia karena pendidikan di sana sudah berlangsung sejak tahun 859 M/245 H.
Walaupun demikian, tingginya kedudukan Al-Azhar, seperti disebutkan oleh Muhammad Kamal as-Sayyid Muhammad dalam Jami’an wa Jami’atan, Al-Azhar fi Alf Am, bukan karena usianya, melainkan karena peranan utama yang dijalankannya dalam menjaga kemurnian ajaran Islam.
Kehadiran Al-Azhar tidak bisa dipisahkan dari peran Dinasti Fatimiyah yang kala itu dipimpin oleh khalifah yang ke-4, al-Mu’iz li Dînillah Ma’d bin al-Mansur (931-975 M/319-365 H). Jauh sebelumnya, ketika Islam mulai menyebar di Mesir pada masa Khalifah ‘Umar bin Khattab, pendidikan Islam formal sebenarnya telah berjalan sejak berdirinya masjid pertama di Afrika.
Sudah menjadi suatu kaedah tak tertulis bahwa peradaban Islam di suatu daerah selalu dikaitkan dengan peran masjid di kawasan tersebut. Hal ini mungkin diilhami oleh kerja nyata saat berada di Madinah. Rasulullah Hal pertama yang beliau lakukan di Madinah adalah membangun masjid.
Ini menandakan bahwa peran masjid yang tidak hanya terbatas pada kegiatan ritual semata. Tapi lebih dari itu, masjid adalah sentral pemerintahan Islam, sarana pendidikan, mahkamah, tempat mengeluarkan fatwa, dan lain sebagainya.
Hal inilah yang kemudian dilakukan oleh ‘Amru bin ‘As setelah berhasil menguasai Mesir. Atas perintah Khalifah ‘Umar, Panglima ‘Amru bin ‘As mendirikan masjid pertama di Afrika yang kemudian dinamakan Masjid Amrú bin ‘As di Fustat dan Fustat pun dijadikan ibu kota pemerintahan Islam di Mesir.
Selanjutnya, pada masa Dinasti Abbasiyah, ibu kota pemerintahan dipindahkan ke al-Qathai dan ditandai dengan pembangunan sebuah masjid yang dinamakan Ahmad bin Tulun.
Pada era Dinasti Fatimiyah, ibu kota Mesir dipindahkan ke daerah baru yang kemudian dinamakan al- Qahirah atau Kairo. Kota ini didirikan oleh Panglima Jauhar as-Siqillî atas perintah Khalifah al Mu’iz Li Dinillah. Sekitar setahun kemudian, seiring dengan pembangunan Kota Kairo, didirikan pula sebuah masjid yang dinamakan Jàmi’ al-Qahirah, meniru nama ibu kota.
Selanjutnya, pada masa Khalifah al-Aziz Billah, di sekeliling Jami’ al-Qahirah dibangun beberapa istana yang disebut al-Qusur az-Zahirah. Is- tana-istana ini sebagian besar berada di sebelah timur (kini di sebelah barat Masjid Husain), sedangkan sebagian yang kecil berada di sebelah barat (di dekat masjid al-Azhar sekarang).
Kedua istana dipisahkan oleh sebuah taman yang indah. Keseluruhan daerah ini dikenal dengan sebutan Madinah al-Fatimiyyin al-Mulukiyyah. Kondisi di sekitar Jami’ al-Qahirah yang begitu indah bercahaya ini mendorong orang menyebutnya dengan sebutan baru, yaitu Jami’ al-Azhar. Kata Al-Azhar berasal dari kara Zahra yang berarti bersinar, bercahaya dan berkilauan.
Al Azhar didirikan bersamaan dengan berkuasanya Dinasti Fatimiyah di Mesir. Pembangunannya dimulai pada tahun 359 H dan memakan waktu kurang lebih dua tahun. Peresmian dilakukan oleh Jauhar as-Siqilli dengan menunaikan shalat Jumat di Jami’ Al-Azhar pertama kali pada tanggal 7 Ramadhan 361 H/21 Juni 972 M.
Seiring gelombang pasang surut sejarah, berbagai penguasa silih berganti memainkan peranannya di lembaga tertua ini. Selain sebagai masjid, proses penyebaran paham Syiah turut mewarnai aktivitas awal yang dilakukan Dinasti Fatimiyah, khususnya pada penghujung masa Khalifah al- Mu’iz li Dinillah.
Ketika itu, Hakim Agung Abu al-Hlasan Alf bin Nu’man al- Qairawani mengajarkan fikih mazhab Syiah di Masjid Al-Azhar sejak Oktober 975 M/ Safar 365 H. Semenjak Salahuddin al-Ayyubi memegang pemerintahan Mesir pada 1171 M/567 H, ajaran Syiah pelan-pelan dikikis.
Al-Azhar sempat dibekukan untuk sementara waktu sambil dibentuk lembaga pendidikan alternatif guna mengikis pengaruh Syiah.
Di sinilah mulai dimasukkan perubahan orientasi besar-besaran dari mazhab Syiah ke mazhab Sunni yang berlaku hingga sekarang. Sultan Salahuddin mengikuti mazhab asy Syafi’i, yang tidak membolehkan adanya dua khutbah dan shalat Jumat di dua masjid pada satu kota.
Akibatnya, shalat Jumat di Masjid Al-Azhar ditiadakan karena sudah diadakan di Jami’ Al-Anwar. Sejak saat itu, Masjid Al-Azhar tidak dipakai untuk shalat Jumat lagi kurang lebih selama seratus tahun, dan baru digunakan kembali pada masa Sultan az-Zahir Baibars dari Dinasti Mamluk. Sejak saat itu, Jami’ Al-Azhar berangsur-angsur men jadi pusat kajian keilmuan dunia.
Ada dua hal yang menjadikan Jami’ Al-Azhar menjadi pusat keilmuan uta- ma saat itu. Pertama, ekspansi yang dilakukan oleh pasukan Tatar terhadap Baghdad, ibu kota Abbasiyah. Ekspansi ini menyebabkan pusat kekhalifahan pindah ke Mesir, dari tahun 660 H hingga tahun 923 H, bertepatan dengan awal munculnya Turki Utsmani.
Akibat serangan Tatar, banyak ulama muslim dari Timur berhijrah ke Mesir karena mesir berhasil mengalahkan Tatar dalam peperangan Ain Jalut yang dipimpin oleh Raja Mesir, Sultan Saifuddin al-Muzalfar Qutz.
Kedua, orang-orang Islam di Andalusia ditindas oleh orang-orang Eropa sehingga banyak ulama di Barat berhijrah ke Kairo. Dua hal inilah yang menyebabkan Al-Azhar menjadi menara keilmuan dunia Islam saat itu. Di samping ilmu agama dan bahasa, dipelajari juga ilmu-ilmu eksakta, seperti matematika, astronomi, kimia, kedokteran, logika, dan sejarah.
Di antara ulama-ulama terkenal yang mengajar di Al-Azhar adalah
- Ibnu Khaldun.
- Ibnu Hajar al-Asqalani.
- Abd al-Wahhab asy-Sya’rani.
- Kamaluddin ad-Daairi.
- al-Farisi.
- Jalaluddin as-Suyuti.
- al-Aint, al-Khawi.
- ‘Abd al-Latif al-Baghdidl.
- lbnu Khaliqan, dan al-Maqrizi.
Pada masa inilah, abad ke-15 M/ke-9 H. Puncak keemasan Al-Azhar.
Pada masa Mamluk, di Jaml’ Al- Azhar sudah dikenal ruwaq, tempat bermukim bagi orang-orang dari daerah-daerah yang jauh. Namun, ruwaq pada masa Mamluk tidak sebanyak pada masa Turki Utsmani, yang berjumlah 37 ruwaq.
Pada waktu itu sudah ada juga ruwaq Jawa, tempat ber- mukim orang-orang dari Indonesia dan sekitarnya. Para khalifah jauh-jauh hari sudah menyadari bahwa kelanjutan Al-Azhar tidak bisa lepas dari segi pendanaan. Oleh karena itu, setiap khalifah memberikan harta wakaf, baik dari kantong pribadi maupun kas negara, untuk pendanaan Al-Azhar.
Pelopor wakaf bagi Al-Azhar adalah Khalifah al-Hakim bi Amrillah. Berkat kepeloporannya, para khalifah berikutnya dan orang-orang kaya di seluruh dunia Islam Ikut mewakafkan hartanya untuk Al-Azhar.
Harta wakaf al-Azhar kabarnya pernah mencapai sepertiga dari kekayaan Mesir. Dari harta wakaf Inilah roda perjalanan Al-Azhar bisa terus berputar hingga hari ini. Termasuk untuk memberikan beasiswa, asrama dan biaya pengiriman utusan Al-Azhar ke berbagai penjuru dunia.
Pada masa Dinasti Turki Utsmani, kondisi keilmuan di Al-Azhar mengalami stagnansi dan kemunduran yang drastis. Pada masa itu, ilmu-ilmu nonkeagamaan tidak dipelajari lagi, kecuali yang berkaitan dengan penghitungan dalam ilmu faraid dan penentuan waktu shalat dan awal bulan.
Meskipun Al-Azhar mengalami pembangunan secara besar-besaran dari segi fisik pada masa pemerintahan Abdurrahman Kadkha, gubernur Utsmani di mesir, namun kemunduran dari segi keilmuan tetap berlangsung.
Pada tahun 1860, datanglah Jamaluddin al Afghani ke Mesir dan mengajar di Al-Azhar. Di sela-sela pengajarannya, ia mengajak umat islam untuk mempelajari ilmu-ilmu modern, seperti ilmu pengetahuan alam, kimia dan matematika yang pernah menjadi kebanggaan umat islam di masa lampau.
Namun, karena tidak dipelajari lagi, akhirnya umat islam menjadi tertinggal oleh umat lain. Ia juga mengajak umat islam untuk menggalang persatuan. Karena memiliki argumentasi-argumentasi yang kuat, banyak pemikir islam saat itu yang tertaruk dengan pemikiran jamaluddin al Afghani.
Mereka antara lain Muhammad Abduh, Ahmad ‘Orabi, Sa’d Zaghlul dan ‘Abdullah Nadim. Mereka semua adalah alumni Al-Azhar. Madrasah Darul Ulum, yang didirikan tahun 1871, merupakan langkah untuk mereformasi Al-Azhar dari luar. Di madrasah ini dipelajari bahasa Perancis, matematika, kimia dan ilmu-ilmu pengetahuan umum lainnya, di samping ilmu-ilmu agama.
Murid-muridnya adalah murid-murid pilihan dari Al-Azhar dan guru-gurunya dalam bidang agama dan bahasa Arab juga dari ulama Al-Azhar. Namun, usaha mereformasi Al-Azhar melalui Darul ‘Ulum ini kandas karena pada tahun 1945 Darul Ulum digabungkan dengan Universitas Kairo.
Memang tidak mudah untuk mengadakan reformasi di Al-Azhar Ketika Muhammad Abduh mengusulkan Muqaddimah karya ibnu Khaldun untuk menjadi materi perkulihan di Al-Azhar, ia ditolak oleh Syekh Muhammad al Anbani, imam akbar Al-Azhar saat itu.
Usaha memasukkan materi-materi pengetahuan umum di Al-Azhar baru berhasil pada tahun 1895. Bermula dengan hanya mencakup 11 cabang ilmu dan kemudian berkembang menjadi 26 cabang, namun itu hanya meliputi beberapa cabang ilmu pengetahuan umum saja, seperti al Jabar, ilmu hidtung dan dasar-dasar teknik.
Kepemimpinan Muhammad All Pasya di Mesir pada tahap selanjutnya telah membentuk sistem pendidikan yang paralel tapi terpisah, yaitu pendidikan tradisional dan pendidikan modern sekuler. la juga berusaha menciutkan peranan Al-Azhar sebagai lembaga yang berpengaruh sepanjang sejarah, antara lain dengan menguasai badan wakaf Al-Azhar yang merupakan urat nadinya.
Seterusnya, pada masa pemerintahan Khedive Ismail Pasya (1863-1879) mulai diusahakan reorganisasi pendidikan dan dari ini pendidikan tradisional mulai bersaing dengan pendidikan modern sekuler. Serangan terhadap pendidikan tradisional sering tampak dari usaha yang menginginkan perbaikan Al-Azhar sebagai pusat pendidikan Islam terpenting.
Sejak awal abad ke-19, sistem pendidikan Barat mulai diterapkan di sekolah-sekolah Mesir. Sementara Al-Azhar masih saja mempergunakan sistem tradisional. Dari sini mulai muncul suara pembaruan.
Di antara perubahan yang menonjol di Al-Azhar adalah dicantumkannya sistem ujian untuk mendapatkan ijazah al-‘alimiyyah (kesarjanaan) sejak Februari 1872.
Kemudian pada tahun 1896, dibentuk Idarah Al-Azhar (Dewan Administrasi). Usaha pertama dari dewan ini adalah mengeluarkan peraturan yang membagi masa belajar di Al-Azhar menjadi dua periode, pendidikan dasar 8 tahun serta pendidikan menengah dan tinggi selama 12 tahun.
Kurikulum Al-Azhar pun ikut diklasifikasikan menjadi dua kelas, yaitu al-‘ulum al-manqulah (bidang studi agama) dan al-‘ulum al-ma’qulah (bidang studi umum). Pada tahun 1930, dikeluarkan undang-undang pembentukan tiga fakultas di Al-Azhar, yaitu Fakultas Ushuluddin, Fakulatas Syariah dan Fakultas Bahasa Arab.
Kemudian pada tahun 1961, pada masa Syekh Mahmud Syaltut, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 103 Tahun 1961, yang menetapkan pendirian fakultas-fakultas ilmu pengetahuan umum, seperti kedokteran, perdagangan, teknik, pertanian, dan farmasi. Fakultas-fakultas umum ini dapat kita saksikan hingga hari ini. Ini merupakan kemajuan yang patut kita syukuri.
Source: Ensiklopedia Peradaban Islam Kairo, Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec dan Tim Tazkia