Aksiologi Mudik Lebaran: Antara Etika dan Estetika Merayakan Hari Kemenangan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى .
Artinya:
“Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, kaum jahiliyah dalam setiap tahunnya memiliki dua hari yang digunakan untuk bermain, ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah,
Rasulullah bersabda: kalian memiliki dua hari yang biasa digunakan bermain, sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Mudik Lebaran pada perayaan hari raya Idul Fitri menjadi momen penting untuk merajut kembali tali persaudaraan yang mungkin terputus dan mempererat ikatan kekeluargaan.
Mudik Lebaran juga mencerminkan makna estetik rasa syukur atas nikmat kembali ke kampung halaman dan bertemu dengan orang-orang terkasih setelah melewati bulan Ramadan.
Kembali ke kampung halaman merupakan bentuk penegasan akan identitas dan eksistensi seseorang sebagai bagian dari komunitas tertentu.
Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah kepada manusia.
Dalam perspektif filsafat, tradisi mudik Lebaran mencerminkan pentingnya hubungan antara individu dan asal-usulnya, serta hubungan sosial dalam konteks kebersamaan dan kekeluargaan.
Dari sudut pandang filsafat eksistensialisme, mudik Lebaran menekankan pentingnya individu untuk memiliki identitas dan akar yang kuat dalam budaya dan sejarahnya.
Dalam konteks keislaman, tradisi mudik Lebaran mencerminkan etika berupa nilai-nilai solidaritas, empati, dan kebersamaan yang diajarkan oleh agama Islam.
Puasa Ramadan, sebagai bulan yang penuh dengan ibadah dan pengorbanan, mengajarkan umat Muslim untuk lebih memperhatikan hubungan sosial, terutama dengan keluarga dan sanak saudara.
Mudik Lebaran menjadi momen penting untuk merajut kembali tali persaudaraan yang mungkin terputus dan mempererat ikatan kekeluargaan.
Mudik Lebaran juga mencerminkan makna estetik rasa syukur atas nikmat kembali ke kampung halaman dan bertemu dengan orang-orang terkasih setelah melewati bulan Ramadan.
Lebaran menjadi momen untuk memperkuat rasa syukur dan mengingatkan umat Muslim akan pentingnya memperhatikan hubungan sosial dan kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam perspektif historis, asal usul tradisi mudik Lebaran dapat ditelusuri kembali ke zaman kolonial Belanda di Indonesia.
Pada masa itu, banyak pekerja pabrik atau buruh migran yang tinggal di perkotaan, jauh dari kampung halaman mereka di pedesaan.
Ketika Lebaran tiba, mereka akan pulang kampung untuk merayakan bersama keluarga dan sanak saudara.
Tradisi ini semakin menguat seiring dengan perkembangan infrastruktur transportasi, seperti jalan raya dan kereta api, yang memudahkan akses ke kampung halaman.
Selain itu, tradisi mudik Lebaran juga dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan agama.
Dalam Islam, merayakan Idul Fitri dengan berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara memiliki makna yang sangat penting.
Ini mencerminkan hubungan kekeluargaan yang kuat dan memperkuat ikatan sosial antar anggota masyarakat.
Seiring dengan perkembangan zaman, tradisi mudik Lebaran menjadi semakin populer dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Indonesia.
Setiap tahun, jutaan orang memadati terminal bus, stasiun kereta api, dan bandara untuk melakukan perjalanan pulang kampung.
Meskipun terkadang menghadapi tantangan seperti kemacetan dan keterbatasan tempat, semangat untuk bertemu dengan keluarga dan merayakan Idul Fitri bersama keluarga dalam balutan semangat kemenangan setelah satu bulan penuh berjuang di bulan Suci Ramadhan tetap tak tergoyahkan.
Namun demikian, tradisi mudik Lebaran juga perlu dipahami dalam konteks kehati-hatian dan tanggung jawab sosial. Dalam pandemi COVID-19 yang terjadi beberapa tahun belakangan ini misalnya, tradisi mudik Lebaran perlu disesuaikan dengan protokol kesehatan yang berlaku untuk melindungi diri sendiri dan orang lain dari penyebaran virus.
Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip Islam tentang menjaga keselamatan dan kesejahteraan bersama.
Dengan demikian, esensi mudik Lebaran dalam perspektif filsafat dan keislaman adalah tentang menghargai hubungan sosial, memperkuat ikatan kekeluargaan, dan bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah.
Namun, dalam melaksanakan tradisi ini, penting untuk tetap memperhatikan nilai-nilai kehati-hatian, tanggung jawab sosial, dan kesejahteraan bersama.
Akhir kata, bagi yang melaksanakan mudik lebaran tahun ini, semoga selamat sampai tujuan dan selamat merayakan hari raya Idul Fitri 1445 Hijriyah. []