Akhlak dalam diri Manusia Modern, Benarkah Telah Hilang?

 Akhlak dalam diri Manusia Modern, Benarkah Telah Hilang?

Standarnya Akhlak (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Akhlak merupakan hal penting dalam islam, betapa tidak, dari segi term saja memiliki suatu hal unik. Mari kita bedah.

Akhlak adalah bentuk jama’ (plural) dari kata khuluq berarti tingkah laku, tabiat, atau perangai. Akar katanya dari “khalaqa” yang berarti menciptakan sehingga berkaitan erat dengan Khalik (Sang Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan).

Dari hal tersebut mengindikasikan bahwa akhlak, khalik, dan makhluk sangat erat kaitannya. Banyak para ulama yang menjunjung tinggi pribadi yang berakhlak karena keterkaitannya.

Ada pula yang mengatakan kesempurnaan manusia dapat dicapai ketika berakhlak. Dengan akhlak Allah serta berhias dengan meniru sifat-sifatNya yang agung.

Sadruddin al-Qunawi juga memberi komentar bahwa manusia itu ciptakan dengan citra ar-Rahman. Dalam berakhlak, manusia sebagai mahlukNya hendaknya merepresentasikan dari sifat-sifat sang khalik Yang Maha welas asih.

Meneladani Akhlak Nabi Saw

Jika ada manusia yang berprilaku buruk terhadap yang lain, berarti memunggungi sifat-sifatNya yang ditanamkan dalam diri manusia. Dalam hadis dikemukakan bahwa Rasul diutus tidak lain hanya untuk menyempurnakan akhlak.

“إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق”

Saking pentingnya berbudi luhur pada sesama, Rasulullah Saw pun menjadi teladan dalam berperangai baik. Siapa coba yang menyangkal kepribadian nabi? Kecuali mereka yang benar benar membencinya dan tidak mau menerima kebenarannya.

Baik kawan maupun lawan banyak yang mengakui perangainya. Sebelum nabi diangkat menjadi rasul, beliau telah dikenal dengan al-amin (yang dipercaya). Bahkan banyak sebutan lain yang menunjukkan pujian akan akhlak nabi.

Allah memuji akhlak Rasul dan menjadikannya sebagai teladan bagi umat manusia. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Surah al-Qalam ayat 4 “sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung”

Hafal Dalil tapi nir Akhlak

Sang mufassir ulung Indonesia, Prof Quraish Shihab menyatakan yang kurang dari kita adalah akhlak. Penulis pun mengamini dari apa yang dinyatakan Pak Quraish. Lihat saja fenomena dakwah yang mengitari kita, betapa banyak pendakwah yang hafal menukil ayat hadis sana-sini.

Meski begitu masih saja menodong kafir kepada yang liyan lantaran bersebrang paham, budaya takfir, membid’ahkan, ujaran kebencian. Hingga di penghujung keluar fatwa halal darahnya, bukankah ini memunggungi nilai-nilai akhlaqi-islami yang qurani.

Dengan lantangnya menyeru Islam, mendaku paling benar dengan paham yang dianut. Hingga membuat yang lain salah karena paham yang tak seragam.

Merasa paling kuat nan hebat dalam menjalankan syariat-Nya hafal ayat tentang ini dan hadis itu. Sekalipun beranggapan Islam adalah agama paling benar baginya. Paling tidak tanpa harus mendiskreditkan agama lain hingga memicu pertikaian.

Bukankah toleransi lebih indah daripada bertikai? Apa salah jika kita hidup berdampingan dengan yang berbeda agama atau menjalin hubungan sosial dengan yang bersebrang faham sekalipun?

Bukannya Nabi Saw juga menyatukan dan hidup berdampingan dengan penganut agama yang berbeda dan beragam ras dan suku. Mereka disatukannya untuk hidup saling bahu-membahu dalam menata kehidupan sosial kemasyarakatan di bawah satu payung bernama Madinah.

Bersifat islami bukan hanya sekadar hafal ayat hadisnya. Namun juga mampu mengaplikasikan apa yang menjadi teladan Rasul dan menerapkan nilai-nilai yang terkandung dari Alquran. Bukankah nabi telah mencontohkan, Alquran juga mengajarkan untuk berbuat baik terhadap sesama?

Akhlak Dulu, Baru Ilmu

Dalam hal apapun akhlak harus menjadi bahan bakar utama kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam ranah akademik misalnya, betapapun luasnya ilmu yang dimiliki, menguasai cabang ilmu ini dan itu. Namun jika tidak ada akhlak yang menghiasi, akan segera tampak kepongahan sebagai konseskuensinya.

Lihat saja dewasa ini, merebaknya fenomena korupsi pun lantaran kurangnya akhlak. Ingat para pelaku korupsi pun adalah mereka yang menduduki kedudukan sebagai pejabat negara. Mereka seorang terpelajar, berpendidikan tinggi. Jika ditanya perihal ilmu ini dan itu, tentu bukan hal yang asing lagi.

Imam Ali ibn Abi Thalib karramallahu wajhah pernah mengingatkan;

إذا فقدت المال، لم تفقد شيء. وإذا فقدت الصحة، فقدت بعض الشيء. وإذا فقدت الأخلاق، فقدت كل شيء

“Jika kau kehilangan harta, kau belum kehilangan sesuatu apapun (dari yang kau punya), jika kau kehilangan kesehatan, kau telah kehilangan separuh sesuatu (yang kau punya), tapi jika kau kehilangan akhlak, maka kau telah kehilangan segala-galanya.”

Beginilah pentingnya akhlak sebagai benteng dari aneka hujaman godaan. Apa jadinya tatanan kehidupan tanpa akhlak? Ya Salaam, baru saja diberi jabatan tinggi, jika ada sedikit peluang saja untuk korupsi, tentu akan main sikat aja.

Menanamkan Akhlak dalam Diri

Ilmu saja tidak cukup, tapi harus diiringi akhlak. Kenapa kita tidak belajar dari para ulama terdahulu yang lebih lama dan lebih mendahulukan belajar akhlak, baru setelah itu ilmu.

Sebut saja Abdurrahman bin Al-Qasim salah seorang murid Imam Malik. Ia mengabdi selama 20 tahun, 18 tahun belajar akhlak 2 tahun berikutnya belajar ilmu.

Imam Syafi’i pun demikian, dan banyak lainnya. Harapan mampu mengontrol keinginan kita yang berpotensi merugikan orang lain dapat kita cegah.

Jika hanya mengandalkan ilmu, setan pun berilmu, tapi dengan ilmunya menuai kepongahan hingga berujung kenistaan. Para koruptor pun juga berilmu.

Dengan demikian, tanamkan lekat-lekat akhlak yang baik untuk membentengi kita dari beragam godaan, jangan sampai hilang. Jika sampai hilang sebagaimana dinyatakan Imam Ali “akan kehilangan segala-galanya”. Baik itu kedudukan, martabat dan muruah kemanusiaannya hingga dapat merugikan pihak lain. Wallahu A’lam bil ash-Shawab

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *