Akankah Persaingan Ghani-Abdullah Merusak Proses Perdamaian di Afghanistan?

 Akankah Persaingan Ghani-Abdullah Merusak Proses Perdamaian di Afghanistan?

Akankah Persaingan Ghani-Abdullah Merusak Proses Perdamaian di Afghanistan? Simak Selengkapnya Pada Ulasan Di Bawah Ini

HIDAYATUNA.COM – Pada hari Selasa kemarin, beberapa jam setelah Presiden Afghanistan Ashraf Ghani dinyatakan sebagai pemenang dari Pemilihan Presiden pada tanggal 28 September 2019, sang runner-up Abdullah Abdullah menentang hasil pemilu yang keluarnya telah lama tertunda itu.

Menyusul adanya penghitungan ulang suara dan total penundaan yang telah berlangsung hampir selama lima bulan, Abdullah, yang menjabat sebagai kepala eksekutif Afghanistan selama lima tahun terakhir, sekali lagi mempertanyakan posisi keadilan dalam proses pemilihan presiden di negara itu, mengingat pemilu sebelumnya pada tahun 2014 yang dinodai oleh banyak penyimpangan.

Pada hari Selasa, Abdullah mengumumkan bahwa ia akan membentuk pemerintahan parallel, dan sehari kemudian dalam kapasitasnya sebagai kepala eksekutif, ia melarang para pejabat yang bertanggungjawab dalam pemilihan presiden itu untuk bepergian ke luar negeri.

Langkahnya itu datang menjelang kemungkinan terjadinya pembicaraan intra-Afghanistan antara pemerintah Afghanistan dengan kelompok bersenjata Taliban, yang bertujuan untuk mencapai status perdamaian dalam jangka panjang di Afghanistan.

Pada hari Sabtu, pemerintah Kabul (Ibukota Afghanistan), Amerika Serikat (AS) dan Taliban telah mengumumkan dimulainya status gencatan senjata parsial atau ‘pengurangan aksi kekerasan’ (RIV) di Afghanistan, yang akan berjalan selama seminggu ke depan, dan akan berpuncak pada penandatanganan perjanjian damai pada tanggal 29 Februari nanti.

Namun, beberapa jam setelah pakta RIV mulai berlaku, muncul laporan tentang Abdullah yang menggantikan posisi gubernur provinsi Sar-e-Pul dan Baghlan. Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) menyatakan keprihatinannya atas tindakan tersebut, dengan mengatakan bahwa hal itu dapat membahayakan upaya tercapainya perdamaian abadi di Afghanistan.

“Mempergunakan jalan kekerasan atau dengan cara-cara yang melanggar hukum lainnya pada saat upaya untuk merealisasikan pengurangan aksi kekerasan sedang berjalan, yang lanjut dengan harapan bahwa hal itu (RIV) dapat mengarah pada dimulainya negosiasi intra-Afghanistan yang akan membahas tentang perdamaian (di Afghanistan), akan membahayakan harapan para penduduk (Afghanistan) pada rencana perdamaian itu,” kata pernyataan itu.

Pada tahun 2018, Presiden AS Donald Trump memulai pembicaraannya dengan Taliban, sebuah langkah yang merupakan bagian dari janji kampanyenya untuk membawa pulang seluruh pasukan AS kembali ke tanah mereka. Saat ini kedua belah pihak sedang berada di puncaknya dalam mencapai kesepakatan tersebut, sebuah kesepakatan yang akan mengakhiri peperangan yang telah berlangsung selama hampir 19 tahun.

Jika kesepakatan AS-Taliban berhasil ditandatangani, para pemimpin Taliban dan pemerintah Afghanistan akan duduk bersama untuk membahas masa depan politik di negara itu.

Sebuah konsensus politik sangatlah penting ketika Kabul akan duduk berhadap-hadapan dengan Taliban sebagai bagian dari pembicaraan damai intra-Afghanistan. Namun, persaingan antara Ghani-Abdullah dapat meluas menjadi aksi kekerasan yang dapat melemahkan tangan pemerintah Afghanistan dalam proses negosiasi tersebut.

“(Persaingan) Ini telah menciptakan fragmentasi dalam pemerintahan Kabul. Ini tentu akan menyebabkan lemahnya posisi Kabul ketika mereka duduk berhadapan dengan Taliban pada dialog intra-Afghanistan (nanti),” kata Habib Wardak, seorang analis keamanan yang berbasis di Kabul, kepada Al Jazeera.

“Tapi, bahkan sebelum kita mencapai titik duduk bersama dengan Taliban, (persaingan) itu akan menjadi sebuah tantangan dalam pembentukan tim yang inklusif dan membangun kepercayaan di antara para elit politik, yang sebagian besar telah menolak hasil dari pemilihan presiden tersebut,” tambahnya.

Beberapa analis menuduh Abdullah hanya mengejar kepentingan politiknya yang sangat picik.

“Keluhan dari Abdullah tidak bersifat politis, dan hanya didasarkan pada kepentingan pribadinya yang picik, dan kepentingan dari seluruh panglima perang yang merupakan bagian dari koalisi politiknya,” kata Harun Mir, seorang analis politik yang berbasis di Kabul yang dikutip Hidayatuna dari Al Jazeera.

“Presiden Ghani telah berkampanye tentang mempertahankan (sistem) republik dan proses politik konstitusional yang demokratis. Namun, Abdullah Abdullah dan mitra koalisinya berharap bahwa melalui pemerintahan sementara yang baru, memungkinkan mereka untuk mempertahankan kursi pemerintahan dan pengaruh politik yang mereka miliki,” tambahnya.

Sadat, ajudan dari Ghani, menegaskan kembali pentingnya seluruh kekuatan politik di Afghanistan untuk bersatu di bawah satu payung ‘pemerintah Afghanistan’ ketika pintu pembicaraan intra-Afghanistan dibuka.

“Semua pihak harus mempunyai tujuan yang sama, yang bisa mengakhiri perang ini untuk selamanya,” kata Sadat. 

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *