Agama di Tengah Realitas Modernisasi
HIDAYATUNA.COM – Berbagai realitas keagamaan seakan tidak pernah habis untuk dibahas. Dari waktu ke waktu, kajian-kajian tentang agama semakin membentuk variasi yang beragam, sesuai dengan perspektif yang digunakan para pengkaji, penulis maupun peneliti.
Perkembangan kajian tentang agama menjadi semakin kompleks, terutama jika dipotret dalam payung dinamika zaman yang disebut dengan zaman modern atau modernisasi. Dinamika zaman diikuti dengan dampak yang ditimbulkan yaitu sistem jejaring global atau globalisasi.
Daniel Miller dengan merujuk pada gagasan Jurgen Habermas, mendefinisikan modernisasi dengan kemunculan tiga hal. Di antaranya ialah renaissance atau pencerahan, reformasi dan penemuan tentang dunia baru (A. Lukens – Bull, 2000: 30).
Selanjutnya, Akbar S.Ahmed dan Hastings Donnan mendefinisikan globalisasi sebagai dampak dari modernisasi, sebagai era perkembangan teknologi komunikasi, transportasi dan informasi. Ketiganya bisa dilakukan melalui satu remote kontrol untuk memudahkan jangkauan dalam berbagai akses terkait urusan dunia (Johan Meuleman, 2012: 14).
Mudahnya mengakses berbagai hal seakan menyediakan banyak pilihan bagi masyarakat untuk melakukan apa saja sesuai dengan keinginan masing-masing. Kondisi ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi organisasi maupun otoritas keagamaan yang sebelumnya telah mengukir jejak eksistensinya di tengah masyarakat.
Oleh karenanya, beragam sikap dilakukan oleh komunitas beragama atau otoritas keagamaan untuk merespon kondisi modernisasi. Penyikapan dilakukan sebagai upaya untuk menjaga kelanggengan dari nilai-nilai agama dan bentuk kontrol.
Hal itu ditujukan agar masyarakat beragama, khususnya umat Islam, tidak melenceng dari jalur kebenaran ajaran yang telah ditetapkan.
Agama dalam Merespon Modernisasi
Ada berbagai pendapat yang memberikan gambaran tentang respon agama terhadap modernisasi. Peter Beyer memotret dua kecenderungan sikap masyarakat beragama dalam merespon modernisasi.
Pertama, tampaknya eksistensi agama yang mulanya dari skala lokal ke skala global. Kedua, munculnya proses adaptasi identitas sesuai konteks dan kondisi perkembangan zaman (Peter Beyer, 2006: 416).
Agama maupun budaya merupakan satu kesatuan sistem yang mengandung nilai dan norma yang sering kali menjadi acuan dari prinsip hidup atau way of life individu yang mempercayai. Kesatuan sistem nilai dan norma tersebut sekaligus menjadi control dan filter pada apa yang boleh dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan.
Seringkali hal-hal yang tidak atau belum diajarkan dalam agama maupun budaya dianggap sebagai pantangan atau larangan untuk dilakukan.
Anthony Giddens kemudian mendefiniskan bahwa sikap yang dilakukan oleh individu maupun kelompok masyarakat untuk merespon suatu keadaan adalah bagian dari sikap yang rasional. Ada berbagai rasionalitas pilihan yang bisa diambil.
Dari berbagai pilihan sikap tersebut, semuanya mengandung rasionalisasi dari sebuah arti tentang maksud dan tujuan tertentu (Anthony Giddens, 1993:90).
Tanda Modern adalah Rasional
Rasionalitas sering kali diartikulasikan sebagai tanda di era modern, yaitu fase menguatnya kesadaran masyarakat tentang tujuan untuk mendapatkan manfaat atau benefits dari apa yang dilakukan. Mengacu pada teori rational choice bahwa sikap seseorang tidak terlepas dari alasan kebaikan menurut subyektifitas individu.
Untuk itu, berbagai sikap yang dilakukan oleh seseorang di ruang publik pun tidak terlepas dari pertimbangan penerimaan atau sanksi (Bryan S. Turner,ed.,2006:2) yang bisa saja muncul sebagai respon dari khalayak.
Selanjutnya, Fazlur Rahman menyajikan potret lain tentang respon para intelektual maupun komunitas muslim dalam menyikapi arus globalisasi. Setidaknya ada tiga poin yang dikemukakan.
Pertama, kelompok silence atau diam. Kategori ini cenderung lebih santai menanggapi berbagai isu atau wacana global maupun lokal.
Suara-suara yang disampaikan banyak terbatas pada forum-forum diskusi santai dan non-formal. Biasanya kelompok ini tidak banyak tersentuh di ruang publik.
Kedua, double-speaking and double-writing atau berwajah dua. Kelompok kedua ini cenderung menggunakan jalur aman demi keuntungan sendiri.
Jalur aman ditempuh dengan mengatur ucapan atau pendapat sesuai dengan kondisi dan level sosial yang dihadapi. Sehingga bisa menguntungkan dan menempati posisi yang legitimate dari semua kalangan.
Ketiga, reform through tradition yaitu tipe yang mencoba melakukan reformasi tradisi melalui kontekstualisasi ajaran terdahulu. Kontekstualisasi ajaran dilakukan sebagai upaya menemukan formulasi dalil baru untuk menyikapi kondisi perkembangan zaman (Fazlur Rahman, 1970: 322-325).
Modernisasi dan Pertarungan Identitas Beragama
Membahas tentang agama, sama halnya dengan membincangkan tentang identitas dari diri seseroang. Sebagaimana definisi tentang identitas yaitu ide untuk menjadi sosok manusia sesuai karakteristik yang ada pada diri manusia itu sendiri (Bryan S. Turner,ed.,2006:277).
Namun, identitas tidak selamanya bersifat paten karena sangat mungkin mengalami perubahan. Identitas akan terus bertahan berdasar pada kemampuannya menyesuaikan diri dengan kondisi yang dihadapi.
Sementara perubahan identitas bisa terjadi karena permasalahan politik, ekonomi, budaya, iklan-iklan industri dan berbagai hal yang ada dalam kehidupan keseharian (Sinisa Malesevic (2006).
Dalam konteks masyarakat muslim di Indonesia, satu sisi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi satu prinsip final yang tidak bisa diganggu gugat lagi. Di sisi yang lain, sistem NKRI dianggap tidak islami bagi sebagian kalangan umat muslim.
Melihat hal ini, permasalahan untuk mempertahankan identitas seakan menjadi kebutuhan pokok. Sebagaimana pentingnya keberadaan hidung dan dua telinga bagi manusia (Sinisa Malesevic, 2006:109).
Kuatnya prinsip untuk menawarkan satu identitas tunggal melalui sistem negara Islam dalam bernegara menunjukkan gejala eksklusifime identitas. Eksklusifisme identitas seringkali dibarengi dengan ego superioritas dari masing-masing identitas sehingga sangat mungkin mendorong terjadinya konflik (Saira Yamin, 2008: 8).
Dalam globalisasi, keterbukaan berbagi media dengan kelonggaran menampakkan berbagai identitas serta ideologi seakan menjadi ajang bagi menguatnya konflik antar identitas.
Perkembangan kajian tentang agama di era modern memberikan banyak penambahan perbendaharaan pengetahuan tentang berbagai alternatif cara bersikap di tengah jejaring global yang saat ini terjadi. Untuk itu penyiapan mental yang sehat, pemikiran yang terbuka serta pondasi spiritual yang kuat menjadi bekal-bekal penting agar tetap siap menghadapi hiruk pikuk kondisi zaman.
Wallahu a’alam bishshawaab.
Daftar Rujukan
Lukens – Bull, 2000, “Teaching Morality: Javanese Islamic Education in a Globalizing Era”, Journal of Arabic and Islamic Studies 3 (2000).
Anthony Giddens. New Roles of Sociological Methode (California: Stanford University Press, 1993).
Bryan S. Turner,ed.,2006, The Cambridge Dictionary of Sociology , New York: Cambridge University Press.
Fazlur Rahman, 1970, “Islamic Modernism: It’s Scope, Methode and Alternatives”, International Journal of Middle East Studies, Vol. 1, No. 4. (Oct., 1970), pp. 317-333.
Johan Meuleman, “South-East Asian Islam and The Gloobalization Process”, dalam JohanMeuleman,ed., 2012, Islam in The Era of Globalization: Muslim Attitudes Towards Modernity and Identity, New York: Routledge Curzon.
Peter Beyer, 2006 , “Globalization” dalam Hellen Rose Ebaugh,ed., Handbook of Religion and Social Institutions, New York: Springer.
Saira Yamin, 2008, “Undestanding Religious Identity and The Causes of Religious Violence”, Peace Prints: South Asian Journal of Peacebuilding, Vol. 1, No. 1: Spring 2008.
Sinisa Malesevic, 2006, Identity as Ideology: Understanding atnicity and Nationalism, New York: Palgrave Macmillan.
William R.Garret, “Thinking Religion in the Global Circumstance: A Critique of Roland Robertson’s Globalization Theori”. Journal for the Scientific Study of Religion, 1992, 31 (3): 296-332.