Agama dalam Pusaran Politik

 Agama dalam Pusaran Politik

Dasar-dasar Ilmu Politik Perspektif Ibnu Abi Rabi’ (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Hampir setiap orang di dunia memeluk agama dan kepercayaan tertentu. Ada agama yang sifatnya samawi atau diwahyukan dan ada yang non samawi.

Agama samawi meliputi Islam, Yahudi dan Kristen. Sedangkan yang non samawi ada Hindu, Budha dan Konghucu.

Selain pemeluk agama, mayoritas manusia di atas bumi ini juga seorang warga negara. Mereka tidak lepas dari aktivitas politik kekuasaan di masing negaranya.

Ada yang berposisi sebagai aktor dan aktif dalam ranah kebijakan publik dan ada pula yang sekadar menjadi warga negara biasa.

Yang sering kali problematik adalah ketika persaingan memperebutkan jabatan dan pengaruh publik ditopang oleh mesin agama.

Agama di sini mengacu pada istilah dan pengertian politik. Apa agama sebagai istilah politik?

Dikutip dari apa yang dipaparkan oleh Syamsul Ma’arif Dosen CRCS UGM dalam program HiTalk YouTube @Hidayatuna TV (06/10), agama bisa didefinisikan dengan mengelompokkannya pada tiga ranah: ranah politik, ranah akademik dan ranah kehidupan masyarakat.

Agama dalam ranah politik, yang katanya lebih sering jadi perbincangan masyarakat kita, lebih sering merupakan domain kekuasaan.

Karenanya kerap bersifat inklusi dan ekslusi. Mengakui sebagian tetapi sekaligus mengecualikan atau menapikan sebagian lainnya.

Maka tidak heran jika untuk konteks Indonesia, hanya ada enam agama yang diakui: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu.

Salah satu yang dikhawatirkannya, ketika agama terlalu jauh dibawa ke ranah politik adalah pengelolaan agama yang sifatnya diskriminatif.

Ada semacam favoritisme di sana, di mana pemeluk mayoritas lebih dipermudah dalam mengakses kebijakan publik sedangkan pemeluk agama dan kepercayaan yang minoritas kesulitan dalam memenuhi hak-hak dasarnya, terutama yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan.

Sedangkan di saat yang sama, Syamsul Ma’arif menegaskan kalau kita menggunakan prinsip kewargaan inklusif, prinsip kewargaan demokratis berkeadilan, maka sesungguhnya diskriminasi (seperti dalam praktik pengelolaan agama resmi) tidak boleh terjadi.

Di samping ada agama politik, ada pula istilah politik agama. Politik agama atau lebih sering kita mendengarnya sebagai politisasi agama didefinisikan sebagai sebuah upaya politik oleh kelompok warga negara dengan melalui misalnya partai politik atau apapun sampai ke jalanan untuk menginfiltrasi dan mengintervensi negara sebagai alat kekuasaan atas nama agama.

Dalam pengertian ini, baginya, praktek bernegara dan berdemokrasi kerap bermasalah. Tidak jarang lahir kebijakan-kebijakan yang menguntungkan bagi satu agama tertentu namun tidak untuk selebihnya. []

Uu Akhyarudin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *