Agama Cinta: Islam Moderat Vs Islam Radikal di Indonesia

 Agama Cinta: Islam Moderat Vs Islam Radikal di Indonesia

Mengenal Garis Nasab Joko Tingkir Hingga ke Gus Dur (Ilustrasi/Hidayatuna)

Artikel berikut merupakan kiriman dari peserta Lomba Menulis Artikel Hidayatuna.com yang lolos ke tahap penjurian, sebelum penetapan pemenang. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

HIDAYATUNA.COM – Gerakan terorisme dan radikalisme akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus sekaligus keprihatinan masyarakat. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga secara global. Baru-baru ini masyarakat Indonesia digegerkan dengan peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di kawasan gereja katedral Makassar, Sulawesi Selatan.

Meskipun pada tahun-tahun sebelumnya kasus serupa juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, seperti di daerah Jawa dan Bali. Keprihatinan masyarakat merupakan dampak dari kasus teror dan pengeboman yang terjadi di berbagai wilayah dengan mengatasnamakan agama sebagai alasan.

Umat Islam menjadi penganut yang seringkali dikaitkan dengan aksi radikal tersebut sehingga kondisi ini melahirkan stigma publik. Bahwa Islam adalah agama yang identik dengan kekerasan, radikalisme, fundamentalisme, terorisme, dan semisalnya.

Bahkan dampak islamofobia sangat terasa di beberapa negara. Prancis misalnya, yang belum lama ini membuat aturan terkait pelarangan hijab ataupun simbol-simbol agama di ruang publik. 

Fenomena radikalisme tidak hanya persoalan subjek atau siapa pelakunya, bukan juga sekadar siapa korban atau objeknya. Akan tetapi ada hal yang lebih krusial dari keduanya, yakni pemahaman teologis yang tersembunyi di balik aksi tersebut.

Pelaku bisa saja ditangkap dan dihukum oleh pihak berwajib, namun pemahaman dan doktrinnya tidak mudah untuk dilenyapkan. Di Indonesia sendiri, aksi radikalisme agama semakin subur dan terus berganti setiap kali hilang, selalu tumbuh setiap kali patah.

***

Semakin hari, gerakan ini memberikan isyarat bahwa radikalisme sebagai suatu proyek bukan lagi murni gerakan keagamaan. Akan tetapi telah berkembang menjadi gerakan politik yang juga dipicu oleh persoalan domestik.

Hal ini menunjukkan bahwa radikalisme tidak mewakili suatu agama tertentu. Namun gerakan ini muncul akibat adanya kekeliruan dalam memahami dan mengimplementasikan ajaran-ajaran yang bersifat fundamental. 

Kemunculan gerakan ini selain merugikan umat Islam secara umum, juga memberi dampak kepada perempuan bercadar yang seringkali diidentikkan dengan pelaku teror dan aksi-aksi radikal. Pelabelan ini bukan tanpa alasan, karena pelaku aksi tersebut menggunakan simbol-simbol agama, dan kerap kali pelaku wanita menggunakan cadar. Maka timbullah stigmatisasi terhadap cadar serta kaitannya dengan radikalisme.

Sebagai wanita bercadar, penulis merasa sangat dirugikan lantaran keyakinan dan ideologi penulis yang berbeda dengan mereka karena stigma yang telah berkembang di masyarakat. Sehingga sering terjadi generalisasi terhadap pemakai cadar, padahal radikalisme adalah sebuah paham yang letaknya di kepala, dan tidak memiliki seragam tertentu.

***

Terkait busana yang dikenakan seseorang belum tentu mencerminkan pemahamannya, ada yang menutup wajah bukan dilandasi dalil agama melainkan atas dasar kenyamanan berpakaian. Sehingga untuk melacak radikalisme, tidak cukup dengan melihat simbol yang digunakan seseorang, tapi apa yang ada di balik keyakinan dan tindakannya.

Radikalisme bukanlah suatu permasalahan sepele, untuk itu diperlukan wacana khusus dan suatu paradigma baru mengenai pemahaman keislaman yang ramah dan toleran. Sebagaimana konsep Islam sesungguhnya yang diajarkan oleh Nabi Muhammad yakni anti kekerasan dan rahmatan lil’alamin.

Dengan demikian, untuk mengimbangi paham Islam radikal muncullah narasi moderasi Islam atau Islam yang moderat yang bersifat wasath (pertengahan), dan menjunjung tinggi toleransi. Berada di Indonesia dengan paham teologi yang multikultural mengajarkan kita akan pentingnya berjiwa nasionalis, bukan hanya agamais.

Sebab betapa banyak yang mengaku pegiat agama, namun menyangsikan nilai-nilai sosial-keagamaan sehingga merusak citra agama yang seharusnya sebagai drive atau pedoman hidup. Cinta tidak memiliki agama, tapi setiap agama mengajarkan cinta kasih.

***

Agama mengajarkan kasih sayang, perdamaian dan persatuan umat, namun betapa banyak kekacauan, pertikaian, dan kekerasan yang terjadi atas nama agama. Padahal Allah telah mengingatkan dalam Alquran bahwa kita adalah umat yang moderat (ummatan wasathan). Tidak ekstrem kanan maupun kiri, bukankah sikap berlebih-lebihan tak jarang memberikan kemudaratan. 

Nilai-nilai luhur pancasila dan makna tersirat dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” merupakan perwujudan dari ajaran agama yang sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia. Terlebih Indonesia sebagai negara yang majemuk dengan keragaman budaya, agama, maupun suku bangsa.

Radikalisme, terorisme, maupun fundamentalisme tidak memiliki tempat di negara ini karena konsep yang mereka usung hanya akan memicu kerusuhan dan perpecahan umat. Mengutip perkataan Prof. Qasim Mathar dalam sebuah kuliah filsafat:” Islam adalah agama yang terbaik yang pernah saya temui. Akan tetapi umat Islam adalah pengikut terburuk yang saya temui.”

Pernyataan tersebut bukan bermaksud menjelekkan siapa pun, melainkan sebagai tamparan bagi kita agar tidak hanya meletakkan Islam di KTP semata. Bukan hanya memahami secara tekstual, tapi juga secara konteks, agar kesadaran keberislaman tetap seimbang antara relasi horizontal dengan Pencipta, dan relasi vertikal dengan lingkungan.

Sementara itu, sebagai reaksi terhadap fanatisme kelompok tersebut, wacana moderasi Islam harus dicanangkan dan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Terutama pada instansi pendidikan, yang mencetak jutaan generasi penerus yang akan memegang nasib peradaban bangsa ke depannya.

Moderasi yes, radikalisme no! Katakan tidak pada segala bentuk kekerasan.

Andi Ulfa Wulandari

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *