Adab Mulia Berbicara Meski dengan Musuh

Adab Berbicara
HIDAYATUNA.COM – Adab berbicara tidak hanya berlaku ketika bersama teman atau orang-orang yang dirasa baik saja. Tetapi juga diterapkan kepada musuh atau ahli maksiat bahkan orang musyrik sekali pun.
Hal tersebut telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Saat itu Utbah bin Rabi’ah melontarkan tawaran-tawaran yang rendah, merayu dan terus berusaha untuk menyelewengkan Nabi Saw. Tetapi apa yang diperbuat oleh Nabi Saw?
Nabi Saw tidak memutus pembicaraannya hingga Utbah bin Rabi’ah menyelesaikan bicaranya. Meski ucapan yang dikeluarkan dari lisannya sangatlah batil dan hina. Nabi Muhammad Saw tidak menampakkan bahwa dirinya risih sedikit pun karena mendengar perkataan-perkataan tersebut.
Justru Nabi Muhammad Saw terus memperhatikan pembicaraan dengan penuh perhatian. Hingga akhirnya Utbah bin Rabi’ah selesai bicara dan barulah Nabi Saw memulai bicaranya.
“Apakah kamu sudah selesai wahai Abal Walid?”
Melalui ucapan Nabi Saw ini pun sudah membuktikan bahwa Nabi Saw sedang menerapkan adab bicara yang baik. Beliau memanggil Utbah bin Rabi’ah dengan gelar yang bisa membuatnya senang, yakni “Abal Walid”. Ini menjadi teknik dari Nabi Muhammad Saw untuk bisa melembutkan hati seorang Utbah bin Rabi’ah. Ia merupakan tokoh kaum kafirin.
Meskipun sedang berbicara dengan musuh, Nabi Muhammad Saw tidak melawan, tidak juga menggunakan nada bicara yang tinggi. Akan tetapi mengajaknya bicara dengan penuh rasa menghargai dan penghargaan melalui panggilan yang disukai.
Karena dalam melakukan apa pun, tidak terkecuali ketika sedang berbicara, sudah sepatutnya untuk turut mempertimbangkan konsekuensi yang akan diterima di kemudian hari.
Jika ketika itu Nabi Muhammad Saw menentang perkataaan Utbah bin Rabi’ah dan tidak menghargai ucapannya, maka konsekuensi yang akan didapat bisa saja beliau akan dijauhi bahkan dimusuhi.
Barang siapa yang memerintahkan kepada yang makruf, maka hendaknya memerintahkan dengan cara yang makruf juga.
Meskipun peristiwa ini telah berlangsung di masa lalu, namun apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw masih sangat relevan. Terlebih untuk diaplikasikan di zaman modern ini.
Tidak sedikit orang yang memutus hubungan pertemanan bahkan hubungan saudara karena berbeda pendapat. Di sisi lain, setiap orang tentunya memiliki pandangan masing-masing dan bebas mengemukakan pendapatnya. Jika tidak setuju, maka bukan berarti harus langsung menentangnya.
Kita sebagai pendengar akan lebih baik jika bersikap lapang dada dalam mendengar pendapat tersebut. Baik pendapat itu penting atau tidak penting, berharga atau tidak berharga, maka dengarkanlah dengan saksama. Ini juga menjadi sikap yang menunjukkan bahwa kita menghargai mereka yang sedang mengutarakan pendapatnya.
Sikap ini juga tidak menunjukkan bahwa kita kalah dan menjadi orang yang lemah. Di sinilah kita sudah bisa memenangkan diri dari godaan dunia berupa nafsu dan amarah karena mendengar pendapat yang dirasa tidak sesuai.
Melalui sikap yang berlapang dada ini, ada harapan besar yang sebenarnya tertanam di dalam hati. Di mana nantinya mereka juga mau untuk mendengarkan kita ketika sedang berbicara.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad suatu hadits dari Ummu Darda’ r.a. bahwa dia berkata, “Abu Darda’ apabila berbicara, ia tersenyum.” Lalu aku berkata, ‘Apakah manusia tidak mengatakan bahwa kamu itu bodoh, disebabkan karena kamu tersenyum ketika berbicara?’
Abu Darda’ menjawab, “Saya tidak pernah mendengar atau melihat Rasulullah Saw bebicara kecuali dengan tersenyum,” Maka Abu Darda’ melakukan seperti itu karena mengikuti Rasulullah Saw.
Allah SWT telah mengajarkan banyak kebaikan kepada seluruh umatnya, termasuk adab ketika berbicara meski orang tersebut musuh sekali pun melalui Nabi Muhammad Saw. Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mengaplikasikan sikap baik tersebut dalam kehidupan sehari-hari. (Hidayatuna/Vi)