Adab Mengkritik dan Memberi Masukan Kepada Pemimpin

 Adab Mengkritik dan Memberi Masukan Kepada Pemimpin

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Kritik dan masukan yang dilontarkan di ruang publik terhadap pemimpin bukan hal baru dalam tradisi Islam. Tradisi penyampaian kritik dalam Islam sudah ada sejak zaman kekhalifaan.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah KH Cholil Nafis mengatakan, komunikasi pemimpin dan rakyat yang dipimpin telah diqiyaskan dalam pelaksanaan shalat berjamaah.

Seorang imam, kata dia, punya persyaratan-persyaratan untuk memimpin makmum, seperti fasih bacaan, fakih, lebih tua, mukimin, dan sebagainya. Ketika si imam salah, baik dalam perkataan dan perbuatan, maka makmum berkewajiban mengingatkan si imam.

“Bagi laki-laki baca subhanallah, bagi perempuan tepuk tangan. Qiyasan shalat ini pada kehidupan bernegara. Kalangan parlemen dan orang dekat presiden bisa bicara langsung pada presiden sebagaimana makmum laki-laki mengucap subhanallah. Tapi, bagi yang jauh, kritikannya kepada imam dengan tepuk tangan. Mungkin sama dengan rakyat yang demo dan sebagainya,” katanya seperti dilansir Republika.co.id, Senin (28/1/2020).

“Tepuk tangan dan ucapan subhanallah itu tidak pula sampai sorak-sorak. Hanya sekadar si imam itu tahu kalau dia salah. Jadi, rakyat yang merasa tidak terwakili aspirasinya oleh parlemen bisa berdemo. Tetapi, jangan demo yang merusak. Inilah adab dalam mengingatkan pemimpin,” imbuhnya.

Tidak hanya bagi rakyat, Cholil juga menyasar pada pemimpin. Sebagaimana dalam shalat, seorang imam tidak boleh ngotot kalau dia yang benar. Jika memang dia salah, ia segera kembali pada kebenaran. Bahkan, ia bertobat dengan sujud sahwi pada akhir masa jabatannya sebagai imam.

“Seorang imam, telinganya harus kuat dan peka membaca aspirasi rakyatnya. Kalau di media sosial memang tidak bisa diakomodir dan menjadi landasan membuat kebijakan. Tapi, kalau dari tokoh masyarakat itu bisa ditanggapi,” jelasnya.

Kicauan masyarakat yang terkadang vulgar dalam mengkritisi pemimpin di media sosial juga perlu dihindari. Menurut Cholil, bukan seperti itu etika Islam dalam menyampaikan kebenaran.

“Media sosial itu sekarang jadi barometer kebebasan orang. Mereka bebas menyampaikan apa saja. Di media sosial tidak ketahuan mimiknya, sehingga secara psikologi menempatkan semua orang sama tanpa ada batasan pendidikan, kedudukan, dan sebagainya,” katanya menambahkan.

KH A Cholil Ridwan Lc menambahkan, pada dasarnya nasihat untuk siapa saja adalah intisari dari kehidupan beragama. Hadis Rasulullah SAW menyebutkan, “Agama adalah nasihat.” (HR Muslim). (AS/HIDAYATUNA.COM)

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *