Adab, Akhlak dan Syarat Santri

 Adab, Akhlak dan Syarat Santri

 Ketika Perbedaan Itu Terbatas antara Para Ulama Saja (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Pesantren menjadi lembaga keagamaan Islam terpercaya untuk memperdalam khasanah keilmuan agama bagi para santri dari berbagai pelosok negeri. Di era milennial ini, pesantren tak hanya sebagai pondok salaf, akan tetapi juga bertransformasi sebagai pondok modern.

Terlepas dari itu, satu hal yang pasti dalam pondok pesantren adalah tentang pengajaran adab, tata krama, sopan santun, dan tingkah laku (akhlaqul karimah). Hal itu bisa kita lihat langsung melalui contoh dari para masyayikh hingga teori lewat kitab-kitab kuning ala pesantren.

Akhlaqul Karimah merupakan sebuah hal yang harus dipahami serta diamalkan oleh para santri. Pengamalan akhlak tak hanya setelah keluar mondok, namun juga saat menuntut ilmu di pondok pesantren santri haruslah paham dan mengamalkan akhlak seorang pencari ilmu.

Jika berbicara akhlak atau adab seorang pencari ilmu, tentunya seorang santri tak mungkin tak mengenal dengan kitab ta’limul muta’alim. Sebuah kitab yang disusun seorang alim alamah Syaikh Burhânuddîn Ibrâhim al-Zarnûji al-Hanafi.

Kata al-Zarnûj dinisbatkan kepada salah satu kota terkenal dekat sungai Oxus, Turki. Dari penisbatannya kepada al-Hanafi di ujung namanya dapat diketahui bahwa beliau bermazhab Hanafi (NU Online,2020).

تعلم فإن العلم زين لأهله # وفضل وعنوان لكل المحامد

 وكن مستفيدا كل يوم زيادة # من العلم واسبح في بحور الفوئد

Artinya: Belajarlah karena ilmu adalah perhiasan bagi pemiliknya, juga keutamaan dan tanda bagi setiap sesuatu yang terpuji. Jadilah dirimu dapat mengambil faedah dari ilmu setiap harinya, dan berenanglah engkau dalam lautan kemanfatan. (Imam al-Zarnuji, Ta’lîm al-Muta’alim, Beirut:halaman 61) (NU Onine, 2020)

Syarat Pencari Ilmu dalam Ta’limul Muta’alim

Setidaknya ada enam syarat yang harus dimilki oleh para pencari ilmu yang terkumpul dari suatu sya’ir dalam ta’limul muta’alim, dinukil dari perkataan sayyidina Ali karamallahu wajhah.

ذُكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍوَبُلْغَةٍ ۞ وَاِرْشَادُ اُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ

  1. Dzakain (cerdas/kecerdasan)

Orang yang akan mencari atau menuntut ilmu haruslah memiliki kecerdasan. Kecerdasan dapat diperoleh dari jalur nasab, akan tetapi kekayaan ilmu pengetahuan tetaplah diperoleh dengan belajar tidak terikat dengan jalur nasab.

Para ulama’ membagi kecerdasan menjadi 2, yaitu muhibbatun minnallah ialah kecerdasan yang langsung diberikan oleh Allah. Kedua, muktasab adalah kecerdasan yang diperoleh secara lahir dan batin, seperti dengan proses belajar dan riyadhoh.

Setiap kecerdasan manusia dengan manusia yang lainnya berbeda, akan tetapi barang siapa yang sadar akan potensi yang dimiliki dan mau berikhtiar, maka manusia tersebut akan menjadi ahli dalam bidang yang ia tekuni.

  1. Khirsin (Bersungguh-sungguh)

Sebuah pepatah arab mengatakan “man jadda wa jadda”, yang artinya : barangsiapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil. Ungkapan itulah yang harus di pahami dan diamalkan oleh santri agar memeproleh ilmu yang berkah dan manfaat.

  1. Ishthibarin (Sabar)

Proses menuntut tak selalu mulus seperti yang diabayangkan, sehingga dalam proses menuntut ilmu dibutuhkan tingkat kesabaran yang tinggi. Disebutkan santri atau penuntut ilmu akan mengalami tiga cobaan, yaitu harta, wanita dan orangtua.

Selain tiga cobaan di atas, setiap pencari ilmu pasti akan menerima berbagai ujian maupun cobaan lain yang harus dihadapi dengan kesabaran. Sabar dalam berbagai hal seperti, sabar dalam belajar, sabar dalam ujian atau cobaan yang diberikan Allah SWT.

  1. Bulgotin (Biaya)

Dalam proses menuntut ilmu, pasti diperlukannya biaya (bekal). Biaya inilah yang menjadi sarana melancarkan proses pencarian ilmu yang dialami oleh para santri. Biaya sebagai bekal seorang santri hendaklah diperoleh secara halal karena bekal yang halal juga akan menentukan perolehan hasil belajar selama dalam pesantren.

  1. Irsyadin Ustadzin (Melalui bimbingan guru)

Dalam proses belajar, santri hendaklah memiliki sanad keilmuan yang bersumber dari guru yang salih. Serta dapat dipertanggungjawabkan tingkat kesanadannya hingga bersambung kepada baginda Nabi Muhammad SAW

Belajar mengenai syari’at Islam tak bisa dilakukan secara otodidak semata karena dikhawatirkan terdapat kekeliruan dalam memahami sebuah teks dari Alquran maupun hadis.

Oleh karena itu, pentingnya bimbingan guru yang memilki tingkat kesanadan ilmu yang jelas. Ilmu yang bersumber dari para ulama salih Ahlussunnah waljamaah yang bersambung kepada tabi’in, kemudian tabi’ut-tabi’in.

Kemudian khulafaurrasyidin hingga bersandar kepada Nabi Muhammad Saw yang diperoleh wahyu lewat perantara malaikat Jibril as dari Alllah SWT.

  1. Thuli Zaman (Waktu yang panjang)

Menuntut ilmu tak sekejap seperti membalikkan telapak tangan, proses pengembaraan ilmu membutuhkan waktu yang lama. Terlebih jika meruntut adab seorang thulab (santri) haruslah paham betul sebelum mempelajari khasanah keilmuan selanjutnya, seperti fiqih, tafsir, nahwu, shorof dan lain sebagainya.

Dalam sebuah riwayat diceritakan, sangking pentingnya sebuah adab Imam Malik mengatakan: “aku belajar adab selama 30 tahun, sedangkan aku belajar ilmu selama 20 tahun”. Itulah sepenggal nasihat tentang pentingnya mempelajari adab sebelum merambah ke khazanah keilmuan yang selanjutnya.

Dapat kita tarik kesimpulan bahwasannya dalam kitab ta’limul muta’alim sendiri tak hanya menjelaskan tentang syarat menggapai khazanah keilmuan semata tetapi selain daripada itu. Ada kaidah yang harus dipenuhi oleh seorang thulab (santri) sebelum memperkaya akan wawasan keilmuan, yaitu adab seorang santri.

Dilain sisi, setelah memenuhi ke-enam syarat sebagai pencari ilmu, adab pun haruslah dipupuk sebaik mungkin oleh para santri. Hal itu lantaran mendukung untuk mendapatkan ilmu yang berkah serta manfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Hilal Mulki Putra

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *