Abuya KH Sirajuddin Abbas Ulama dan Politikus Besar Asal Minang
HIDAYATUNA.COM – KH Sirajuddin Abbas lahir pada tanggal 20 Mei 1905 di Kampung Bengkawas, Kabupaten Agam, Bukittinggi, Sumatera Barat. K.H Sirajuddin Abbas adalah anak sulung yang lahir di keluarga Kyai. Ayahnya bernama Syaikh Abbas bin Abdi Wahab bin Abdul Hakim Ladangwalas, beliau adalah seorang Qadi atau hakim. Ibunya bernama Ramalat binti Jai Bengkawas. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang taat. Dari kedua orangtuanya, karakter Sirajuddin dibentuk agar menjadi seorang Kyai.
KH Sirajuddin Abbas atau yang sering dikenal dengan sebutan ‘Abuya’ –merupakan panggilan khas ulama-ulama Sumatra- adalah seorang ulama, penulis buku, sekaligus politikus ulung. Ia banyak berjasa untuk umat Islam dan bangsa Indonesia. Karya-karyanya dalam bidang Fiqih, khususnya Madzhab Syafii ia wariskan untuk umat Islam di Indonesia. Sebagai seorang ulama, ia sangat gigih dalam mempertahankan paham Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya Mazhab Syafi’i dalam bidang ilmu Fiqih.
Riwayat Pendidikan
Sejak kecil, K.H Sirajuddin Abbas mempelajari Al-Qur’an dari orang tuannya hingga berusia 13 tahun. Setelah itu ia belajar kitab-kitab Berbahasa Arab kepada ayahnya selama 3 tahun. Ia juga pernah belajar di pesantren Syaikh Haji Husein Pakan Senayan, Tuanku Imran Limbukan, Bukit Tinggi pada tahun 1920-1923 M.
Tahun 1927 ia berangkat ke Makkah dan berguru pada beberapa ulama di Masjidil Haram, seperti Syaikh Muhammad Said Yamani, Syaikh Husen Al Hanafi, Syaikh Ali Al Maliki, Syaikh Umar Hamdan yang darinya, Sirajuddin mempelajari kitab al-Muwatha’ karangan Imam Maliki, Ali Basya guru bahasa Inggrisnya yang berasal dari Tapanuli. Dalam rentang waktu sejak 1927 hingga 1933, K.H Sirajuddin Abbas menuntut ilmu sekaligus menunaikan ibadah haji pada setiap tahunnya. Setelah itu beliau diangkat menjadi staf sekretariat pada konsulat Belanda di kota Makkah.
Kembali ke Kampung Halaman
Kepada Maulana Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli di Candung, Sirajuddin Abbas mempelajari berbagai macam ilmu sepulangnya dari menuntut ilmu di Makkah pada tahun 1933. Ia mendapat ijazah dari gurunya itu. Kemudian ia pulang ke kampung halamnnya untuk meneruskan perjuangan ayahnya. Ia mengajar di pesantren-pesantren yang ada di Minagkabau. Ia mulai dikenal sebagai mubalig muda yang potensial sehingga menarik minat para ulama Tarbiyah.
Tiga tahun kemudian, pada 1936 ia terpilih sebagai Ketua Umum Tarbiyah Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada saat kongres ketiga organisasi tersebut di Bukittinggi. Saat itu Tarbiyah semakin berkembang dan mulai merambah ke dunia politik dalam kepemimpinannya. Ia lalu melebarkan kiprahnya di dunia pendidikan, keagamaan dan politik. Selain sebagai ketua umum tarbiyah, ia juga pendiri organisasi politik Liga Muslim Indonesia bersama K.H Wachid Hasyim (Wakil dari NU) dan Abikusno Cokrosuyono (wakil PSII).
Perjuangan
Tahun 1940 Tarbiyah mulai mengajukan usul kepada pemerintah kolonial Belanda agar Indonesia bisa berparlemen. Usul tersebut diajukan melalui komisi Visman yang dibuka pemerintah kolonial untuk menjaring suara-suara kalangan bawah. Soekarno mulai mendengarkan usulnya. Pada saat Soekarno ditahan oleh pemerintah kolonial di Bengkulu dan dipersiapkan unutk dibuang ke Australia, Soekarno melarikan diri ke Bukittinggi dan menemui K.H Sirajuddin Abbas.
Dalam pertemuan di tengah pelariannya, Soekarno berpesan kepada Sirajuddin agar Tarbiyah lebih berhati-hati karena Jepang akan menjajah Indonesia. Soekarno berkata “Jepang lebih berbahaya daripada Belanda”.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia disiarkan melalui radio-radio bawah tanah, hal ini tak luput dari telinga K.H Sirajuddin Abbas. Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat No.X/1945 pada bulan November yang isinya mendorong agar rakyat bergabung dalam partai politik dan menganjurkan pembentukan partai demi tegaknya demokrasi. Hal inilah yang kemudian mendorong K.H Sirajuddin Abbas untuk membentuk partai berbasis Tarbiyah. Sebagai ketua Tarbiyah, ia meminta izin dan restu kepada pendiri dan sesepuh agar niatnya dapat diwujudkan.
Para sesepuh menyetujui keinginannya, tetapi mereka meminta agar K.H Siraj tidak meninggalkan tugas pokoknya, yaitu mengurus pendidikan, dakwah, kegiatan sosial keagamaan dan umat. Persatuan Tarbiyah Islamiyah membuat satu partai dengan nama Partai Islam Tarbiyah Islamiyah (PI Perti) dan mengangkat K.H Sirajuddin Abbas sebagai ketua umum pada bulan Desember 1945, pada kongres keempat Tarbiyah di Bukittinggi.
Sejak saat itu, kiprah KH Siraj di bidang politik semakin terbuka lebar. Badan legislatif juga memberinya tempat, mulai dari DPRD, DPR RIS, DPRS dan DPR GR. Hal ini membuatnya pindah ke Jakarta pada tahun 1950. KH Siraj meninggalkan sebuah organisasi bernama Laskar Muslimin dan Muslimat Indonesia (lasmi) yang digagasnya pada tahun 1948 demi memobilisasi kekuatan rakyat Sumatra Barat untuk mempertahankan kesatuan Negara Republik Indonesia. Lasmi diresmikan oleh Moh. Nasir, seorang tokoh nasional yang berasal dari Sumatra Barat yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan.
Ketika Presiden dan Wakil Presiden ditangkap, Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Padang. Saat itu Perti turut mendukung gerakan pemerintah dengan mengerahkan kekuatan Lasmi yang beranggotakan 12.000 orang untuk mengamankan dan melindungi kegiatan PDRI. PDRI harus terus bergerak karena kejaran Belanda. KH Siraj juga tercatat sebagai salah satu anggota Komite Nasional Indonesia pada saat komite dibentuk.
Tahun Penuh Fitnah
Pada tahun 1965, kondisi Sirajuddin Abbas sangat tidak menguntungkan. Nama KH Sirajuddin Abbas tercantum sebagai anggota ketika dewan revolusi yang menjadi penggerak kudeta G 30 S memperkrnalkan diri melalui radio RRI. Padahal saat itu ia sedang berobat di RS Suci, di tepi laut Hitam yang masuk wilayah Uni Soviet. K.H Sirajuddin Abbas dapat berobat hingga Uni Soviet atas bantuan Anwar Sadat. Dan karena inilah KH Sirajuddin Abbas dicap sebagai PKI.
Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Germahi) yang merupakan organisasi mahasiswa PERTI memberikan bantahan bahwa K.H Sirajuddin Abbas tidak mengetahui hal tersebut dan berita itu hanya fitnah belaka. Namun, bantahan itu tidak bernmanfaat karena Nasakom yang sedang dikibarkan oleh Soekarno terus menerus membuat isu-isu.
Fitnah tidak berhenti sampai situ. Fitnah baru pun kemudian muncul dan semakin memberatkan K.H Sirajuddin Abbas. Fitnah baru ini didasari adanya Dokumen Cianjur yang menyebutkan bahwa jika terjadi perselisihan antara ABRI dengan PKI maka seluruh jajaran PERTI harus membantu PKI. Akibatnya, K.H Sirajuddin Abbas ditangkap dan ditahan di markas Kodam V Jaya selama 40 hari.
Kemudian ditemukan seribu pasang pakaian loreng dan uang puluhan juta rupiah di rumah Sofyan Siraj -anak sulung K.H Sirajuddin Abbas- di jalan Dempo, Matraman. Hal serupa juga ditemukan di rumah DN Aidit, Ketua Umum PKI. Penemuan ini kemudian dianggap sebagai petunjuk adanya kerja sama antara K.H Sirajuddin Abbas dab Aidit.
Pemerintah membuktikan bahwa dokumen Cianjur adalah dokumen palsu dan telah merehabilitasi nama K.H Sirajuddin Abbas, namun hal ini tak banyak berpengaruh atas pemulihan nama K.H Sirajuddin Abbas. Koran-koran tidak ada yang bersedia memuat berita rehabilitasi itu, hingga tudingan tersebut melekat pada K.H Sirajuddin Abbas.
Karya
KH Sirajuddin Abbas aktif menulis. Banyak karyanya yang telah dibukukan. Karyanya yang terkenal adalah I’tikad Ahlus Sunnah wal Jamaah dan 40 Masalah Agama yang terdiri dari emapt jilid. Kedua buku tersebut menjadi rujukan utama mazhab Syafi’i di kalangan ulama dan santri Indonesia. Sebagian karya KH Sirajuddin Abbas ditulis dalam bahasa Arab dan sebagian lainnya dalam bahasa Indonesia. Buku-buku ini dikarangnya sejak tahun 1933-1937. Diantara karyanya yang berbahasa Arab :
- Sirajul Munir
- Bidayatul Balaghah
- Khulasah Tarikh Islami
- Ilmu Insya’
- Sirajul Bayan fi Fihrasati Ayatil Qur’an
- Ilmun Nafs
Dan karyanya dalam Bahasa Indonesia antara lain :
- I’tiqad Ahlusunnah wal jamaah
- Sejarah Keagungan Mazhab Syafi’i
- 40 masalah Agama
- Kumpulan soal jawab keagamaan
- Kitab Fiqih Ringkas
- Perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW
- Thabaqus Syafi’iyah
Tutup Usia
KH Sirajuddin Abbas wafat pada tanggal 5 Agustus 1980 di usianya yang ke 75 tahun. Ia meninggal karena menderita serangan jantung. Ia pergi selamanya setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit Cipto Mangkusumo. Jasadnya dimakamkan di Tanah Kusir Jakarta Selatan. Wakil Presiden Republik Indonesia, Adam Malik turut menghadiri pemakamannya. Ia meninggalkan seorang istri dan dua anak, Soryan dan Fuadi.