Abu Ubaidah Ibnul bin Jarrah, Panglima kepercayan umat

 Abu Ubaidah Ibnul bin Jarrah, Panglima kepercayan umat

HIDAYATUNA.COM – Abu Ubaidah Ibnul bin Jarrah adalah seorang panglima yang cerita kemenangan dan suksesnya menjadi pembicaraan dunia. Ia adalah seorang yang mengesampingankan gemerlapnya dunia yang palsu dan menerjunkan dirinya ke dalam berbagai medan perang mencari mati syahid, tetapi selalu saja Allah memberinya hidup.

Nama lengkapnya Amir bin Abdullah bin Jarrah Al-Fihry Al-Quraiys, namun lebih dikenal dengan Abu Ubaidah Ibnul bin Jarrah. Amir bin Abdullah bin Jarrah Al Quraisyi Al Fihri Al Makki adalah salah seorang dari kelompok As-Sabiqun Al Awwalun (orang-orang pertama masuk Islam) dan orang yang mendukung kekhalifahan Ali radhiyallahu ‘anhu.

Nasab Abu Ubaidah bin Al Jarrah bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada garis keturunan Fihri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan pengakuan bahwa ia salah seorang penghuni surga dan menjulukinya Aminul Ummat (kepercayan umat). Di samping itu, ia memiliki banyak keistimewaan dan tersohor.

Dia seorang yang kuat yang dapat dipercaya, yang pernah dipilih oleh Rasulullah Saw. Menjadi guru Najran dan salah seornag di antara sepuluh orang yang dinyatakan akan mendapatkan surga.

Dia adalah seorang panglima yang pernah memohon kepada Allah supaya hari terakhirnya di tentukan di tengah-tengah tentaranya. Allah berkenan mengabulkan permohonnya itu.

Itulah garis-garis besar kepribadian Amirul Ummah, kepercayaan umat islam “Abu Ubaidah Ibnul bin Jarrah”, penyebar kalimat Allahu Akbar di negeri Syam dan sekitarnya. Beliau seorang yang selalu berwajah cerah, baik akhlaknya, ramah kepada semua orang, sehingga mereka simpati kepadanya. Di samping sifatnya yang lemah lembut, dia sangat tawadhu dan pemalu. Tapi bila menghadapi suatu urusan penting, ia sangat cekatan bagai singa jantan.

Sejarah tidak mencatat masa-masa mudanya bersama dengan rekan-rekan sebayanya, tetapi sejarah merekam semua langkahnya ketika menuju ke Baitul Arqam, ketika bergabung dengan kelompok orang-orang mukmin yang telah memilih islam sebagai agamanya, beriman kepada Allah sebagai tuhanya dan menerima Muhammad Saw. Sebagai Nabi dan Rasulnya.

Menurut sejarah, Ibnul Jarrah tergolong orang pertama yang menyambut seruan islam. Ia bersama beberapa orang rekanya; Utsaman bin Mazh’un, Ubaidah Ibnul Harits bin Abdul Muthalib, Abdurrahman bin Auf, Abu Salaman bin Abdul Asad, pergi menemui Rasulullah Saw. Sebelum beliau membuka sekolah dan dakwahnya di Darul Aqram. Beliau menawarkanya islam kepada mereka dan membentangkan apa-apa yang berkenan dengan agama itu, lalu mereka merima tawaran itu dengan puas dan ikhlas.

Sejak saat itulah, ia dan rekan-rekanya menjadi manusia baru, seakan-akan terputus hubungannya dengan manusia lama yang bergelimang kejahiliahan dalam keyakinan dan peyembahan berhala.

Pada waktu kaum Quraisy memaklumkan perang terhadap kelompok orang mukmin yang tiada berdaya dan berdosa, dengan melakukan pengejaran dan penyiksaan di luar batas kemanusian, Rasulullah Saw. Memberikan izin kepada kelompok itu berhijrah ke Habasyah. Diantara para Muhajirin yang menyelamatkan agamanya dari keganasan kaum Quraisy itu ialah Abu Ubaidah Ibnul Jarrah.

Dalam kehidupannya sebagai Muslim, Ibnul Jarah mengalami masa penindasan yang kejam dari kaum Quraiys di Makkah sejak permulaan sampai akhir. Dia turut menderita bersama kaum Muslimin lainnya. Walau demikian, ia tetap teguh menerima segala macam cobaan, tetap setia membela Rasulullah SAW dalam tiap situasi dan kondisi apa pun.

Dalam Perang Badar, Ibnul Jarrah berhasil menyusup ke barisan musuh tanpa takut mati. Namun tentara berkuda kaum musyrikin menghadang dan mengejarnya. Kemana pun ia lari, tentara itu terus mengejarnya dengan beringas. Ibnul Jarrah menghindar dan menjauhkan diri untuk bertarung dengan pengejarnya. Ketika si pengejar bertambah dekat, dan merasa posisinya strategis, Ibnul Jarrah mengayunkan pedang ke arah kepala lawan. Sang lawan tewas seketika dengan kepala terbelah.

Siapakah lawan Ibnul Jarrah yang sangat beringas itu? Tak lain adalah Abdullah bin Jarrah, ayah kandungnya sendiri! Ibnul Jarrah tidak membunuh ayahnya, tapi membunuh kemusyrikan yang bersarang dalam pribadi ayahnya. Ibnul Jarrah ikut dalam perang Badar, dan pada saat itu dia berhasil membunuh ayahnya sendiri (yang masih kafir).

Ibnul Jarrah juga pernah mendapat cobaan (musibah) yang berat pada waktu perang Uhud. Pada saat itu, Ibnul Jarrah menahan dua arah serangan musuh yang ditujukan kepada Rasulullah, sehingga ia terkena pukulan yang mengakibatkan dua giginya rompal. Namun hal itu justru membuat mulutnya nampak semakin indah, sehingga muncul rumor bahwa tidak ada yang lebih indah jika kehilangan gigi melebihi indahnya gigi Ibnul Jarrah.

Zubair bin Bakkar berkata, “Keturunan Ibnul Jarrah dan seluruh putra saudara perempuannya telah habis dan ia termasuk orang yang hijrah ke Habsyah.”

Aku berkata, “Jika beliau hijrah ke Habsyah, berarti ia tidak lama bermukim di sana.”

Ibnul Jarrah termasuk sahabat yang banyak mengumpulkan Al Qur`an.

Mengomentari tentang peperangan yang pernah dilaluinya, Musa bin Uqbah berkata, “Perang Amr bin Ash adalah perang yang berantai melawan para pembesar negeri Syam. Oleh karena itu, Amr merasa khawatir sehingga dia meminta bantuan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amr meminta agar Abu Bakar dan Umar memimpin pasukan kalangan Muhajirin. Tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Ibnul Jarrah sebagai pemimpin pasukan. Ketika mereka menghadap Amr bin Al Ash, dia (Amr bin Al Ash) berkata kepada mereka, ‘Aku adalah pemimpin kalian’. Tetapi kaum Muhajirin menjawab, ‘Engkau adalah pemimpin sahabat-sahabatmu sendiri, sedangkan pemimpin kami adalah Ibnul Jarrah’. Amr lalu berkata, ‘Kalian sebenarnya pasukan yang ditugaskan membantuku’.

Ketika Ibnul Jarrah melihat peristiwa tersebut, dan dia orang yang berperangai mulia, berhati lembut, dan patuh terhadap perintah Rasulullah dan janjinya, maka Ibnul Jarrah menyerahkan kepemimpinan kepada Amr bin Al Ash.”

Diriwayatkan dalam banyak riwayat, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya setiap umat memiliki orang yang dipercaya, dan orang yang dipercaya umat ini adalah Abu Ubaidah Al Jarrah.”

Diriwayatkan dari Amr bin Al Ash, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, ‘Siapakah orang yang lebih engkau cintai?’ Beliau menjawab, ‘Aisyah’. Ditanyakan lagi, “(Siapa yang engkau cintai) dari golongan laki-laki?’ Beliau menjawab, ‘Abu Bakar’. Lalu ditanyakan lagi, ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Abu Ubaidah Ibnul bin Al Jarrah’.”

Ibnul Jarrah memiliki akhlak yang mulia, santun, dan tawadhu.

Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada beberapa orang sahabat yang sedang duduk bersamanya, “Berharaplah kalian!” Para sahabat pun berharap. Umar berkata lagi, “Tetapi aku mengharapkan sebuah rumah yang dipenuhi oleh orang-orang seperti Abu Ubaidah Ibnul bin Al Jarrah.”

Khalifah bin Khayyat berkata, “Abu Bakar mempercayakan pengelolaan Baitul Mal kepada Ibnul Jarrah.”

Menurut aku, maksudnya adalah pengelolaan harta umat Islam dalam sebuah lembaga keuangan, yang sebelumnya belum pernah ada. Umar bin Khaththab adalah orang pertama yang melakukan pengelolaan harta dalam sebuah lembaga keuangan yang disebut Baitul Mal.

Ibnu Al Mubarak dalam kitab Jihad-nya berkisah tentang Ibnul Jarrah: Diriwayatkan dari Hisyam bin Sa’ad, dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, ia berkata: Umar mendengar kabar bahwa Abu Ubaidah terkepung di Syam dan hampir dikalahkan musuh. Umar bin Khaththab pun mengirim surat kepadanya yang berisi, “Amma ba’du. Sesungguhnya setiap kesukaran yang menimpa seorang mukmin yang teguh maka sesudahnya akan ada jalan keluar. Satu kesukaran tidak bisa mengalahkan dua kemudahan. Allah berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung”. (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 200)

Setelah membaca surat tersebut, Ibnul Jarrah lalu membalasnya sebagaimana berikut, “Amma ba’du. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga akan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (Qs. Al Hadiid [57]: 20).

Umar bin Khaththab kemudian keluar dari rumahnya beserta surat tersebut dan membacanya di atas mimbar seraya berkata, “Wahai penduduk Madinah, sungguh Ibnul Jarrah telah mendorong kalian, maka berjihadlah bersamaku!”

Tsabit Al Bunani berkata, “Ibnul Jarrah berkata, ‘Aku adalah orang Quraisy dan tiada seorang pun yang berkulit merah maupun hitam di antara kalian yang mengungguliku dalam ketakwaan kecuali aku ingin menjadi sepertinya’.”

Diriwayatkan dari Qatadah, ia berkata, “Ibnul Jarrah pernah berkata, ‘Aku senang seandainya aku menjadi domba lantas disembelih oleh keluargaku dan mereka memakan dagingku dan merasakan kuahku’.”

Diriwayatkan dari Thariq, ia mengatakan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu pernah mengirim surat kepada Ibnul Jarrah menyinggung masalah wabah penyakit, “Sebenarnya aku sedang dalam masalah besar dan aku sangat membutuhkan bantuanmu, maka segeralah datang ke sini!” Ketika Ibnul Jarrah membaca surat tersebut, ia berkata, “Aku mengerti masalah besar yang sedang dihadapi Amirul Mukminin. Dia sebenarnya ingin menyisakan orang yang seharusnya tidak tersisa. Ibnul Jarrah kemudian membalas dan berkata, “Aku sebenarnya telah mengetahui masalahmu, maka urungkan dulu keinginanmu itu padaku sebab aku berada di tengah-tengah pasukan Islam (sedang berperang) dan aku tidak membenci mereka.” Ketika Umar membaca tulisan tersebut, ia pun menangis. Setelah itu ada yang bertanya kepadanya, “Apakah Ibnul Jarrah meninggal?” Ia menjawab, “Tidak, tetapi sepertinya ia akan meninggal.” Tak lama kemudian Abu Ubaidah wafat dan wabah itu pun hilang.

Tidak hanya sekali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan Ibnul Jarrah, antara lain ketika pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berjumlah 300 orang sedang kelaparan, maka ketika seekor ikan besar sejenis ikan paus terdampar di tepi pantai, Ibnul Jarrah pun berkata, “Bangkai.” Setelah itu ia berkata, “Bukan, kita adalah utusan Rasulullah dan sedang berada di jalan Allah. Oleh karena itu, makanlah!” Selanjutnya ia menyebutkan redaksi hadits secara lengkap seperti yang disebutkan dalam kitab Shahih Al Bukhari Muslim.

Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq selesai memerangi orang-orang murtad dan Musailamah Al Kadzdzab, ia menyiapkan para pemimpin pasukan untuk menaklukkan Syam. Beliau kemudian mengutus Ibnul Jarrah, Yazid bin Abu Sufyan, Amr bin Al Ash, dan Syurahbil bin Hasnah. Setelah itu terjadilah peperangan antara kedua pasukan di daerah dekat Ramalah (Palestina), dan akhirnya Allah memberikan kemenangan kepada orang-orang mukmin. Kemudian berita kemenangan itu disampaikan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, saat ia sedang sakit parah.

Setelah itu terjadilah perang Fihl dan perang Maraj Ash-Shuffar. Pada saat itu Abu Bakar telah memberangkatkan pasukan yang dipimpin Khalid bin Al Walid untuk menaklukkan Irak. Kemudian beliau mengutus seorang delegasi untuk menemui Khalid bin Al Walid agar berkenan membantu pasukan yang sedang bertugas di Syam.

Dia lalu memotong jalan padang pasir, sedangkan Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika itu menjabat sebagai panglima tertinggi dari semua pasukan. Ketika pasukan Islam mengepung Damaskus, Abu Bakar wafat, maka dengan segera Umar menurunkan perintah pencopotan Khalid dari posisi panglima pasukan dan digantikan dengan Ibnul Jarrah. Setelah informasi pengangkatan dirinya sebagai pemimpin pasukan itu diterima, dia berusaha merahasiakannya untuk beberapa saat, karena pemahaman agamanya yang mendalam serta sifat lembut dan santunnya. Ketika Damaskus telah berhasil dikuasai, pada saat itulah dia baru menunjukkan kekuasaannya, yakni membuat perjanjian damai dengan bangsa Romawi hingga akhirnya mereka bisa membuka pintu Selatan dengan jalan damai.

Jika Khalid bin Al Walid menaklukkan Romawi dengan cara militer dari arah Timur, maka Ibnul Jarrah meneruskan penaklukkan tersebut melalui perjanjian damai.

Diriwayatkan dari Al Mughirah,bahwa Ibnul Jarrah membuat perjanjian dengan mereka untuk menjamin keselamatan tempat ibadah dan rumah mereka.

Ibnul Jarrah adalah pemimpin pasukan Islam dalam perang Yarmuk, perang yang menelan banyak korban dari pihak musuh dan berhasil memperoleh kemenangan. Abu Ubaidah wafat tahun 18 H, dalam usia 58 tahun.

Sumber

  • Tokoh-tokoh yang di abadikan Al-Quran, Dr. Abdurrahman Umairah

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *