Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini: Salah Satu Ulama Terkemuka Madzhab Asy’ariyah
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Abu Al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwaini, atau lebih dikenal sebagai Imam Al-Haramain, adalah salah satu ulama besar dalam sejarah pemikiran Islam, terutama di bidang teologi (kalam), fiqh, dan ushul fiqh.
Lahir pada tahun 1028 M (419 H) di Juwain, sebuah kota di wilayah Khurasan (sekarang Iran), Al-Juwaini berkembang menjadi salah satu intelektual terkemuka dalam madzhab Syafi’i dan pengaruhnya terasa hingga kini di berbagai bidang ilmu agama.
Al-Juwaini dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang terpelajar. Ayahnya, Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf, adalah seorang ulama terkenal di Juwain dan seorang pengikut madzhab Syafi’i.
Sejak kecil, Al-Juwaini telah dididik dalam suasana yang kental dengan ilmu pengetahuan agama.
Pendidikan awalnya dipimpin oleh ayahnya sendiri, yang mengajarkannya dasar-dasar fiqh, ushul fiqh, dan ilmu kalam.
Namun, ketika ayahnya wafat, Al-Juwaini menghadapi tantangan dalam melanjutkan pendidikannya.
Setelah kematian ayahnya, ia berkelana ke berbagai pusat ilmu di Khurasan dan Irak, di mana ia belajar dari banyak ulama terkemuka, seperti Abu Ishaq Al-Isfarayini.
Ini menandai dimulainya perjalanan intelektualnya yang mendalam dan pengaruhnya dalam dunia ilmu pengetahuan Islam.
Salah satu peristiwa penting dalam kehidupan Al-Juwaini adalah pengasingannya dari Nishapur akibat perselisihan politik dengan penguasa setempat.
Pada masa itu, ia memilih mengungsi ke Hijaz dan tinggal di Makkah serta Madinah selama sekitar empat tahun.
Dari sinilah ia mendapatkan gelar “Imam Al-Haramain,” yang berarti “Imam dari dua Tanah Suci,” merujuk kepada Makkah dan Madinah.
Di tempat suci ini, ia mengajar dan menyebarkan ilmunya kepada para murid dari berbagai belahan dunia Muslim.
Pemikiran Teologi Al-Juwaini: Asy’ariyah dan Kritik terhadap Mu’tazilah
Sebagai seorang teolog, Al-Juwaini adalah salah satu tokoh penting dalam pengembangan madzhab Asy’ariyah, yang merupakan aliran teologi yang mendasarkan akidahnya pada rasionalisme yang moderat.
Al-Juwaini melanjutkan dan menyempurnakan karya Imam Al-Asy’ari, pendiri madzhab Asy’ariyah, dan memperluas konsep-konsep teologis dengan pendekatan filosofis yang lebih matang.
Salah satu aspek utama dari pemikiran Al-Juwaini dalam teologi adalah upayanya untuk mempertahankan prinsip keesaan Allah (tauhid) dari pengaruh aliran Mu’tazilah.
Mu’tazilah adalah kelompok teologi yang menekankan rasionalitas ekstrem dalam memahami sifat-sifat Tuhan dan keadilan-Nya.
Al-Juwaini, dalam karyanya “Al-Irsyad,” mengkritik pandangan Mu’tazilah, terutama dalam hal konsep takdir dan kehendak bebas manusia.
Menurutnya, meskipun manusia memiliki kehendak bebas, Allah tetap memiliki kontrol mutlak atas segala sesuatu.
Pandangan teologis ini mengokohkan posisi Asy’ariyah sebagai aliran yang berusaha menyeimbangkan antara wahyu dan rasionalitas.
Al-Juwaini percaya bahwa wahyu dan akal tidak bertentangan, tetapi harus dipahami bersama-sama dalam kerangka keimanan yang kuat terhadap keesaan dan kebesaran Allah.
Ushul Fiqh dan Karya Monumental “Al-Burhan”
Selain dalam teologi, Al-Juwaini juga dikenal sebagai ahli dalam bidang ushul fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau metode penarikan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Salah satu karya terbesarnya di bidang ini adalah “Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh,” yang hingga kini masih menjadi salah satu referensi utama dalam studi ushul fiqh.
“Al-Burhan” adalah karya sistematis yang menyajikan pembahasan mendalam tentang berbagai sumber hukum Islam, seperti Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ (konsensus), qiyas (analogi), dan istihsan (preferensi hukum).
Al-Juwaini menekankan pentingnya metode rasional dalam menafsirkan teks-teks agama.
Karya ini tidak hanya menunjukkan kedalaman pemikirannya dalam hukum Islam, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan metodologi hukum Islam di kemudian hari.
Selain “Al-Burhan,” karya penting lainnya dalam bidang ushul fiqh adalah “Al-Waraqat,” yang merupakan risalah ringkas namun padat tentang prinsip-prinsip dasar ushul fiqh.
Meskipun pendek, “Al-Waraqat” sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan hukum Islam dan banyak digunakan sebagai buku teks dasar di berbagai madrasah hingga saat ini.
Al-Juwaini Menjadi Guru Imam Al-Ghazali
Salah satu murid paling terkenal dari Al-Juwaini adalah Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar yang kemudian dikenal sebagai salah satu filsuf dan teolog terbesar dalam sejarah Islam.
Al-Ghazali belajar kepada Al-Juwaini di Nishapur, dan pengaruh gurunya terlihat jelas dalam banyak karyanya, terutama dalam bidang ushul fiqh dan teologi.
Al-Juwaini berperan besar dalam membentuk pemikiran Al-Ghazali, terutama dalam menggabungkan pendekatan rasionalisme dengan spiritualitas Islam.
Pengaruh ini terlihat dalam karya-karya besar Al-Ghazali, seperti “Ihya’ Ulumuddin” dan “Al-Mustasfa,” yang mengembangkan lebih jauh prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh Al-Juwaini.
Pemikiran Politik Al-Juwaini
Dalam bidang politik, Al-Juwaini juga memberikan sumbangan penting, terutama melalui karyanya “Ghayat Al-Maram fi Ilm Al-Kalam” yang membahas tentang imamah, atau kepemimpinan dalam Islam.
Menurutnya, imamah adalah sebuah kebutuhan yang wajib dalam masyarakat Muslim untuk menjaga ketertiban dan menegakkan syariat.
Namun, Al-Juwaini juga menegaskan bahwa seorang imam atau pemimpin harus dipilih berdasarkan kualitas keilmuan, keadilan, dan kemampuan untuk menegakkan hukum Allah.
Pemikirannya tentang imamah ini memberikan pengaruh besar terhadap diskursus politik dalam Islam mengenai legitimasi kekuasaan dan hubungan antara agama dan negara.
Warisan dan Pengaruh Pemikiran Al-Juwaini
Selama hidupnya, Al-Juwaini meninggalkan warisan intelektual yang luar biasa, baik dalam bidang teologi, hukum Islam, maupun filsafat.
Karya-karyanya tidak hanya diakui oleh para sarjana sezamannya, tetapi juga terus dipelajari dan dikaji oleh generasi-generasi ulama setelahnya.
Pemikirannya yang moderat, terutama dalam menggabungkan rasionalitas dengan wahyu, menjadi salah satu landasan penting dalam tradisi pemikiran Islam klasik.
Sebagai tokoh Asy’ariyah, ia berhasil menjaga keseimbangan antara pendekatan rasional dan spiritual, yang menjadikan pemikirannya tetap relevan hingga saat ini.
Sebagai salah satu tokoh utama dalam tradisi keilmuan Islam, Al-Juwaini dikenang sebagai sosok yang menginspirasi murid-muridnya untuk terus berjuang mencari kebenaran dan keadilan, baik dalam ranah ilmu pengetahuan maupun dalam kehidupan sosial-politik umat Islam. []