Abbas Bin Abdul Muthalib Paman Rasulullah

Inilah Sosok Muhammad Iqbal Sang Revolusioner Islam
HIDAYATUNA.COM – Abbas Bin Abdul Muthalib adalah paman Rasulullah SAW dan salah seorang yang paling akrab di hatinya dan yang dicintainya. Karena itu, beliau senantiasa berkata menegaskan, “Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku”. Abbas adalah saudara bungsu ayah Nabi SAW. Nama sebenarnya adalah Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim.
Di zaman jahiliah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para jama’ah haji. Seperti halnya ia akrab di hati Rasulullah, Rasulullah pun dekat sekali di hatinya. Ia pernah menjadi pembantu dan penasihat dalam baiat Al-Aqabah menghadapi kaum Anshar dari Madinah. Waktu Itu terjadi pada tahun-tahun awal perjuangan Nabi SAW menyampaikan dakwah Islam. Abbas selalu melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari orang-orang Quraisy yang hendak mencelakakan beliau, walaupun pada saat itu, ia sendiri belum masuk Islam.
Beliau juga merupakan ayah dari seorang sahabat besar, seorang ulama dari kalangan mereka yang juga ahli tafsir yaitu Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu. Abbas radhiyallahu ‘anhu adalah pria yang berpostur tinggi, tampan, berwibawa, suaranya lantang tetapi lembut, dan karismatik.
Menurut sejarah ia dilahirkan 3 tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Mekkah. Ibunya, natihlah binti Khabbab bin Kulaib adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah Al-haram.
Pada waktu Abbas masih anak-anak, ia pernah hilang. Sang ibu lalu bernazar, kalau puteranya itu ditemukan, ia akan mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama antaranya, Abbas ditemukan maka ia pun menepati nazarnya itu.
Abbas menikah dengan Lubabah binti Harits bin Hazan bin Bajir bin Hilaliyah radhiyallahu ‘anha. Istrinya ini dikenal dengan Lubabah al-Kubra, juga dikenal dengan sebutan Ummu Fadhl, yang dalam sejarah Islam, menjadi wanita kedua yang masuk Islam. Lubabah masuk Islam pada hari yang sama dengan sahabatnya, Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha, yang tidak lain adalah istri Nabi Muhammad SAW. Lubabah melahirkan anak (Al Fadhl, Abdullah, Ubaidullah, Qasim bin Abbas, Abdurrahman, Ma’bad dan Ummu Habib). Di antara keturunan Abbas yang lain adalah Katsir, Tamam, dan Umaimah. Ibu mereka adalah Ummu Walid. Kemudian Harits bin Al Abbas dan ibunya adalah Hujailah binti Jundab At-Tamimiyah.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang kapan Islamnya Abbas radhiyallahu ‘anhu. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukkan Khaibar. Ada yang mengatakan bahwa dia masuk Islam sebelum hijrah, tetapi dia menyembunyikan keislamannya. Ada pula yang mengatakan, sebelum perang Badar. Abbas radhiyallahu ‘anhu sendiri termasuk tawanan kaum muslimin saat Perang Badar. Pada waktu perang Badar, dia keluar dengan kaumnya ikut berperang di barisan musyrikin karena terpaksa. Kala itu dia ditawan oleh pasukan Islam, tetapi beliau mengatakan bahwa beliau seorang muslim, dan beliau menebus dirinya sendiri dengan harga 40 uqiyah emas (1 uqiyah emas setara dengan 29,75 gram emas).
Beliau pergi berhijrah ke Madinah bersama Naufal ibnul Harits sebelum peristiwa Fathu Makkah. Abbas juga merupakan salah satu dari sekitar 80 atau 100 orang sahabat yang bertahan bersama Rasulullah SAW saat Perang Hunain (termasuk anak beliau, Fadhl bin ‘Abbas).
Ketika itu, banyak kaum muslimin lari meninggalkan Nabi. Paman Nabi ini memegangi kekang bighal (peranakan kuda dan keledai) sebelah kanan, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus bergerak ke arah musuh di atas bighal-nya.
Kemudian Rasulullah SAW meminta Abbas untuk memanggil orang-orang untuk kembali. Abbas pun berteriak dengan selantang-lantangnya, memang beliau memiliki suara yang lantang, “Wahai orang-orang yang ikut (berbaiat) di bawah pohon (pada peristiwa Bai’at Ar Ridhwan). Wahai orang-orang yang ikut dalam peristiwa malam hari. Wahai orang-orang yang hafal surat Al Baqarah”. Maka kaum muslimin pun menyambut panggilan-panggilan tersebut dan kembali kepada Rasulullah SAW.
Pada suatu masa, peperangan sengit terjadi antara tentara muslim dan kaum musyrikin Quraisy di lembah Badar. Perang ini dikenal dengan Perang Badar dan merupakan perang pertama antara kaum muslim dan kaum musyrikin Quraisy.
Pada Perang Badar itu terdapat beberapa orang dari Bani Hasyim yang dipaksa untuk berperang melawan tentara muslim. Di antara keluarga Bani Hasyim yang ikut berperang melawan tentara muslim adalah Abbas bin Abdul Muthalib dan Aqil bin Abu Thalib (saudara kandung Ali bin Abu Thalib).
Peperangan itu berakhir dengan kemenangan tentara muslim, sekalipun jumlah mereka jauh lebih sedikit. Tentara muslim menawan sekitar tujuh puluh orang tentara Quraisy, di antara mereka yang ditawan terdapat Abbas bin Abdul Muthalib dan Aqil bin Abu Thalib. Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk memperlakukan tawanan dengan baik.
Pada saat itu, para sahabat berbeda pendapat tentang perlakuan terhadap para tawanan. Menurut Abu Bakar, tawanan tersebut merupakan kerabat dan bangsa mereka. Oleh karena itu, tawanan dapat dibebaskan dengan memberikan tebusan.
Menurut Umar, tawanan itu adalah musuh yang menghalangi jalan Allah. Oleh karena itu, mereka seharusnya dibunuh. Akhirnya, Rasulullah mengambil keputusan untuk menukar para tawanan dengan suatu tebusan. Bagi tawanan yang tidak mampu, setiap tawanan harus mengajar sepuluh anak muslim membaca dan menulis. Kaum Quraisy pun menyetujuinya.
Pada suatu pagi, seluruh tawanan dibawa untuk menghadap Rasulullah, mereka ditanya satu persatu oleh Rasulullah. Tiba giliran Abbas yang ditanya, Abbas mengatakan bahwa dirinya adalah seorang muslim yang dipaksa untuk melawan tentara muslim. Rasulullah berkata, “Hanya Allah, Abbas mengatakan bahwa dirinya adalah seorang muslim yang dipaksa untuk melawan tentara muslim. Rasulullah berkata, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui tentang keislamanmu. Namun, engkau adalah seorang tawanan maka bayarlah tebusanmu itu.” Setelah itu, turun wahyu Surat Al-Anfal ayat 70 yang artinya, “Hai Nabi katakanlah kepada tawanan yang ada di tanganmu, Jika Allah mengetahui ada kebaikkan dalam hatimu, niscaya, Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah di ambil darimu dan Dia akan mengampuni kamu.’ Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Abbas berhasil membayar tebusan untuk dirinya dan keponakannya. Aqil bin Abu Thalib, setelah beberapa lama, Abbas mendapatkan reziki melebihi jumlah tebusan yang dibayarkan. Dengan demikian, Allah telah menepati satu janji-Nya, Abbas mengatakan bahwa ia menantikan janji Allah yang lain, yaitu pengampunan untuk dirinya.
Pada suatu masa, pemeluk agama Islam di Madinah semakin banyak. Begitu banyaknya kaum muslim di Madinah sehingga Masjid Nabawi tidak mampu menampung seluruh kaum muslim yang hendak shalat berjamaah. Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab berkeinginan untuk memperluas Masjid Nabawi.
Untuk memperluas Masjid Nabawi, Khalifah Umar membeli rumah-rumah yang ada di sekitar masjid. Namun, ada bangunan yang belum dibeli oleh Umar, yaitu rumah milik Abbas. Suatu hari, Umar menemui Abbas. Umar mengungkapkan keinginannya untuk memperluas Masjid Nabawi dan meminta Abbas menjual rumahnya kepada baitul mal. Namun, Abbas tidak mau menjual rumahnya.
Dengan sedikit memaksa, Umar memberikan tiga pilihan kepada Abbas. Pertama, Abbas menjual rumahnya kepada baitul mal. Kedua Umar mengganti rumah Abbas dengan bangunan lain di daerah mana pun sesuai keinginan Abbas dengan menggunakan uang dari Baitul Mal. Ketiga, Abbas memberikannya sebagai sedekah untuk perluasan Masjid Nabawi. Namun, Abbas tidak memilih salah satu pilihan tersebut.
Kemudian, Umar mengusulkan untuk mengangkat seorang penengah. Abbas pun menunjuk Ubai bin Ka’ab sebagai penengah pada permasalahan tersebut. Kemudian, keduanya mendatangi Ubai bin Ka’ab dan menceritakan permasalahan mereka.
Kemudian, Ubai mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda tentang Nabi Daud yang membangun rumah ibadah. Suatu ketika, Allah SWT memerintahkan Nabi Daud untuk membangun rumah tempat orang-orang menyebut nama Allah. Nabi Daud pun merencanakan pembangunan suatu rumah. Perencanaan pembanguan rumah itu melewati rumah seorang Bani Israel. Oleh karena itu, Nabi Daud menemuinya dan menyatakan hendak membeli rumahnya. Orang Bani Israel itu menolaknya. Nabi Daud sempat berpikir hendak mengambil rumah itu secara paksa. Kemudian, Allah menegur Nabi Daud untuk tidak melakukan pemaksaan. Allah juga memerintahkan Nabi Daud agar membatalkan pembangunan rumah tersebut.
Mendengar kisah Ubai bin Ka’ab, Khalifah Umar menjadi marah dan menyeret Ubai ke Mesjid. Kebetulan saat itu, kaum muslim sedang mengadakan pertemuan di Masjid Nabawi. Di hadapan kaum muslim, Umar berkata, “Apakah di antara kalian ada yang pernah mendengar Rasulullah bersabda tentang perintah Allah kepada Nabi Daud untuk membangun rumah tempat orang menyebut nama-Nya?” Abu Dzar Radhiyallahu, kaum muslim yang hadir juga membenarkan hal tersebut.
Umar pun menyadari bahwa dirinya tidak dapat memaksa seseorang sekalipun untuk kepentingan kaum muslim. Ia berkata kepada Abbas, “Pergilah, Aku tidak akan memaksamu”. Abbas pun jadi mengetahui bahwa Umar bin Khattab adalah seorang yang patuh terhadap hukum dan ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya. Pada awalnya, Umar memang setengah memaksa Abbas. Namun, hal itu ia lakukan untuk kepentingan umat Islam. Kemudian, Abbas berkata, “Aku akan menyedekahkan rumahku untuk kepentingan kaum muslim. Namun, apabila kamu mengambilnya secara paksa, aku tidak akan membiarkan begitu saja.” Abbas pun menyumbangkan rumahnya untuk memperluas Masjid Nabawi.
Sumber:
- Tokoh – tokoh dalam yang di abadikan dalam Al-quran, Dr. Abdurrahman Umairah
- Kisah Abbas bin Abdul Muthalib