Abah Anom, Macan Suryalaya

 Abah Anom, Macan Suryalaya

HIDAYATUNA.COM – Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin adalah sosok yang memiliki kegemaran menuntut ilmu, menyebabkan Abah Anom menguasai berbagai macam ilmu keislaman pada usia relatif muda (18 tahun).

Ulama Tasikmalaya, Jawa Barat ini Shohibul Wafa Tajul Arifin biasa dipanggil Abah Anom. Ia adalah pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya yang dikenal sebagai Pusat Tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah (TQN). Ia pewaris dan penerus ayahnya, Syeikh Abdullah bin Nur Muhammad yang juga Murstid TQN, pendiri pesantren tersebut, yang dikenal dengan “Abah Sepuh”, sebagaimana ayahnya, ia adalah Musryid TQN yang anggotanya tersebar di Nusantara, bahkan sampai ke luar Negeri.

Sejak itulah, ia lebih dikenal dengan sebutan Abah Anom. Ia resmi menjadi mursyid (pembimbing) TQN di Pesantren tasawuf itu sejak tahun 1950. Abah Anom lalhir 1 Januari 1915, di Kampung Godebag, Suryalaya, Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pageurageung, Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat. Beliau adalah puetera kelima Syeikh Abdullah bin Nur Muhammad alias Abah Sepu, pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, dari Ibunya HJ. Juhriyah.

Nama Abah Anom adalah sebutan yang diambil dari Bahasa Sunda yang berarti bapak atau kyai muda, yang dianugerahkan ayahnya ketika ia masih usia muda. Abah Anom sangat popular di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, lekat dengan Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Ia resmi menjadi mursyid (pembimbing) TQN di Pesantren tasawuf itu sejak tahun 1950. Sebuah masa yang rawan dengan berbagai kekerasan bersenjata antar berbagai kelompok yang ada di masyarakat, terutama antara DI/TII melawan TNI. “Tasawuf tidak hanya produk asli Islam, tapi ia telah berhasil mengembalikan umat Islam kepada keaslian agamanya pada kurun-kurun tertentu,” tegas Abah Anom, tentang eksistensi tasawuf dalam ajaran Islam. Tasawuf yang dipahami Abah Anom, bukanlah kebanyakan tasawuf yang cenderung mengabaikan syari’ah karena mengutamakan dhauq (rasa).

Pada tahun 1980-an, saya bersama seorang kenalan bernama Hj Yahya Hanafiah berkesempatan berjumpa dengan seorang Kyai dan wali Allah di Suryalaya yang terkenal dengan gelaran ‘Macan Suryalaya”. Ketika itu , jamaah rombongan dari Singapura sudah pada tertidur semua kerana jam menunjukkan 11 malam, kami masuk ke Masjid Nurul Asror di mana Kyai yang sudah berumur 125 tahun ketika itu bermalam. Banyak kisah yang di khabarkan kepada kami adalah mengenai karomah Abah Anom, seolah-olah beliau berpesan kepada kami yang muda bahwa pada zaman ini. inilah orangnya yang di tentukan Allah, yang berada di Indonesia.

Ketika Usia Abah Anom 23 tahun ia menikah dengan istri pertamanya Euis Ru’yanah. Mereka dikarunia 13 putera dan puteri;

  1. H. Dudun Nur Saiddudin (1942)
  2. Aos Husnifalah (1943)
  3. Hj. N. Nonong (1945)
  4. H. Didin Hidir Arifin (kembar lahir 1947)
  5. H. Oneng Hesyati (kembar lahir 1947)
  6. H. Endang Ja’far Sidik (1949)
  7. H. Otin Khodijah (1951)
  8. H. Kankan Zulkarnaen (1952)
  9. H. Memet Ruhimat (1954)
  10. Hj. Ati Unsuryati (1956)
  11. Hj. Aneu Utia Rohayaneu (1958)
  12. H. Baban Ahmad Jihad (1960)
  13. Hj. Nia Iryanti (1962)

Dari isteri keduanya, Yoyo Sofiayh di karuniai seorang putera bernama Ujang Muhammad Mubarok Qodiri (1986).

Pendidikan Abah Anom dimulai pada usia 8 tahun, masuk sekolah dasar (verfolg School) di Ciamis tahun 1923-1928. Kemudian melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah di Ciawi Tasikmalaya tahun 1929-1932. Pada tahun 1930 Abah Anom memulai perjalanan belajar berbagai macam ilmu agama islam secara khusus pada beberapa Pondok Pesantren di Jawa Barat.

Ia belajar ilmu fiqih dari seorang kyai terkenal di Pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu fiqih, nahwu, sharafdan balaghah kepada seorang Kyai terkenal di Pondok Pesantren Jambudipa Cianjur. Setelah kurang lebih 2 tahun ia melanjutkan belajarnya ke Pondok Pesantren Gentur, Cianjur yang saat itu diasuh oleh Ajengan Syatibi. Disamping itu Abah Anom juga biasa melakukan latihan spiritual dibawah bimbingan ayahnya Abah Sepuh.

Dua tahun kemudian (1935-1937), Abah Anom melanjutkan belajar di Pondok Pesantren Cireungas, Cimelati, Sukabumi. Pondok Pesantren ini terkenal sekali terutama pada masa kepemimpinan Ajengan Aceng Mumu yang ahli hikmah dan silat. Dari Pondok Pesantren inilah Abah Anom banyak memperoleh pengalaman dalam banyak hal, termasuk dalam hal mengola dan memimpin pondok pesantren.

Sepulang dari Mekah pada 1939, ia membantu ayahnya mengajar di Pondok Pesantren Suryalaya. Pada 1953, ia ditunjuk memimpin Pondok Pesantren Suryalaya dan bertindak mewakili Abah Sepuh. Ketika Abah Sepuh wafat pada tahun 1956, Abah Anom menjadi pewaris dan penerus kepemimpinan Pondok Pesantren Suryalaya.

Pada tahun 50-60-an kondisi perekonomian rakyat amat mengkhawatirkan. Abah Anom turun sebagai pelopor pemberdayaan ekonomi umat. Ia aktif membangun irigasi untuk mengatur pertanian, juga pembangunan kincir angin untuk pembangkit tenaga listrik. Bahkan Abah Anom membuat semacam program swasembada beras di kalangan masyarakat Jawa Barat untuk mengantisipasi krisis pangan. Aktivitas ini telah memaksa Menteri Kesejahteraan Rakyat Suprayogi dan Jendral A. H. Nasution untuk berkunjung dan meninjau aktifitas itu di Pesantren “Suryalaya”.

Medan pertempuran bukanlah wilayah asing bagi Abah Anom. Pada masa-masa perang kemerdekaan, bersama Brig. Jend. Akil bahu-membahu memulihkan keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Ketika pemberontakan PKI meletus (1965), ia bersama para santrinya melakukan perlawanan bersenjata. Bahkan tidak hanya sampai disitu, Abah Anom membuat program “rehabilitasi ruhani” bagi para mantan PKI. Tak heran, jika Abah mendapat berbagai penghargaan dari Jawatan Rohani Islam Kodam VI Siliwangi, Gubernur Jawa Barat dan instansi lainnya. Medan pendidikan juga tak luput dari ruang aktivitasnya. Mulai dari pendirian Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah pada tahun 1977, sampai pendirian Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah pada tahun 1986.

Kiprahnya yang utuh diberbagai bidang kehidupan manusia, ternyata berawal dari pemahamannya tentang makna zuhud. Jika kebanyakan kaum sufi berpendapat zuhud adalah meninggalkan dunia, yang berdampak pada kemunduran umat Islam. Maka menurut pendapat Abah Anom, “Zuhud adalah qasr al-’amal artinya, pendek angan-angan, tidak banyak mengkhayal dan bersikap realistis. Jadi zuhud bukan berarti makan ala kadarnya dan berpakaian compang camping.” Abah merujuk pada surat An-Nur ayat 37 yaitu, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan dari mendirikan shalat, (dari) membayarkan zakat.

Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati menjadi guncang.” Jadi, menurut beliau seorang yang zuhud adalah orang yang mampu mengendalikan harta kekayaannya untuk menjadi pelayannya, sedangkan ia sendiri dapat berkhidmat kepada Allah swt semata. Atau seperti dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani, “Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan kalbumu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu.”

Di samping itu, Abah Anom juga membuat program “rehabilitasi rohani” bagi para mantan anggota PKI. Kontribusinya itu berhasil mendatangkan berbagai penghargaan dari Jawatan Rohani Islam Kodam VI Siliwangi, Gubernur Jawa Barat dan instansi lainnya.

Sejak itu, Abah Anom mengembangkan “metode inabah” sebagai penyembuhan rohani. Tidak hanya sekadar nama untuk pesantrennya, inabah adalah landasan teoritis untuk membebaskan pasien dari gangguan kejiwaan karena ketergantungan terhadap narkoba. Orang yang dirawat dengan metode inabah diperlakukan seperti orang yang dianggap memiliki masalah kejiwaan. Dan, terapi yang digunakan terhadap mereka adalah melalui zikir.

Menurut Badhrowi, proses yang harus dilewati terlebih dahulu dalam inabah adalah mandi yang dilakukan di malam hari. Biasanya, itu dilakukan di atas pukul 12 malam. “Di kemudian hari, oleh banyak peneliti, metode tersebut dianalisis dan ternyata dapat dibenarkan secara ilmiah,” ujar Badhrowi. Air di malam hari, ternyata mengandung molekul-molekul yang baik untuk kesehatan.

Beberapa penghargaan akhirnya diberikan kepada Abah Anom, khususnya terkait metode penyembuhan terhadap pecandu narkoba tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Dr. Juhaya S. Praja, 1981-1989, sebanyak 93.15% dari 5.845 anak binaan yang mengikuti program inabah, bisa kembali menjadi normal.

Abah Anom mengatakan, makanan tidak halal adalah salah satu penyebab penyakit. Pada 1980, diadakan lokakarya di pesantren tersebut yang dihadiri oleh delapan departemen sekaligus, yang merupakan kerjasama lintas sektoral yang dibuat khusus untuk menanggulangi kenakalan remaja. Akhirnya, Januari 2009, Abah Anom menerima Piagam Distinguished Service Awards dari International Federation of Non-Government Organitations (IFNGO), Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebuah penghargaan tertinggi yang diberikan lembaga internasional itu bagi pengabdian seseorang dalam pemulihan korban narkoba.

Sumber

  • Ensiklopedi Pemuka Agama Nusantra
  • Abah Anom, laduni.id

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *