Abadi Bersama Qur’an

Membincang Perkembangan Khazanah Tafsir Indonesia (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM – Apa rasanya bila diri kita disebut langsung di dalam Al-Qur’an?
Setidaknya nama kita jadi abadi. Sebab Al-Qur’an itu kitab abadi sepanjang masa, tidak akan lenyap sampai hari kiamat.
Menariknya lagi, kalau kita hitung mundur, sesungguhnya Al-Qur’an sudah ada di sisi Allah (Lauhil Mahfuzh) jauh sebelum masa diturunkan ke muka bumi di era kenabian Muhammad SAW.
Kita sudah paham ada dua kali penurunan Al-Qur’an, yaitu turun sekaligus di Lailatul Qadar ke langit dunia. Lalu periode kedua turun secara berangsur-angsur selama 23 tahun.
Pasti jadi unik sekali bila ada orang yang tercantum di dalam Al-Qur’an, bukan hanya namanya tapi dirinya seutuhnya.
Kalau orang itu nabi utusan Allah, tentu wajar dan biasa saja. Tapi kalau orang itu bukan nabi, baru jadi unik. Saya ingin menyebut dua nama manusia biasa yang termuat dalam Al-Qur’an.
Pertama bernama Abu Lahab, seorang kafir bos kaum musyrikin Mekkah. Kedua, Zaid bin Haritsah, seorang shahabiyyun jalil yang pernah diangkat jadi ‘putera nabi’.
1. Abu Lahab
Abu Lahab sebenarnya paman Nabi SAW yang paling baik dan erat sekali dengan sang keponakan.
Malah dua orang puteri Nabi SAW dinikahkan dengan dua anak laki-lakinya. Utbah bin Abu Lahab menikahi Ummu Kaltsum puteri nabi, lalu adiknya yang bernama Utaibah bin Abu Lahab menikahi Ruqayah puteri Nabi, adiknya Ummi Kaltsum.
Jadilah dua pasang suami istri unik, suaminya kakak beradik dan istrinya juga kakak beradik. Berbesanannya Nabi SAW dengan Abu Lahab dua lapis. Kebayang betapa dekatnya persaudaraan antara mereka, sudah paman dan keponakan, berbesanan pangkat dua pula.
Tapi urusan hidayah bikin cerita jadi lain. Abu Lahab sang paman bukannya beriman malah ingkar. Ikatan pernikahan dua puteranya pun diputuskan sepihak. Kedua Puteri Nabi SAW itu jadi janda secara berbarengan oleh ulah Abu Lahab. Utbah dan Utaibah dipaksa menceraikan istri masing-masing, saking tidak sudinya dengan Nabi SAW.
Sudah gitu, tidak berhentinya cacian dan makian keluar dari mulut kotor sang paman. Yang paling menyakitkan adalah hinaan bahwa Muhammad itu seorang ABTAR yang tidak punya keturunan.
Bagi bangsa Arab, tidak ada hinaan yang lebih menyakitkan hati dari pada hinaan sebagai orang tak berketurunan. Maka turun ayat dari langit, bukan hanya ayat tapi satu surat berjudul Surat Al-Lahab.
Isinya menyatakan celaka kepada paman Nabi sendiri yang justru jadi penentang dakwahnya. Termasuk juga istrinya ikut disebut juga. Keduanya disebut sebagai ABTAR tak berketurunan oleh Al-Qur’an.
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. (QS. Al-Lahab : 3)
Betapa sial nasib Abu Lahab ini. Jauh sebelum surat itu diturunkan berarti dia sudah disebut-sebut dalam Al-Qur’an, sebagai orang kafir. Sejak sebelum Al-Qur’an diturunkan ke bumi, berarti nasibnya sudah apes duluan.
Dan karena Al-Qur’an akan tetap ada sampai kiamat, sejarah akan mengenal Abu Lahab sebagai orang kafir terus-terusan.
2. Zaid bin Haritsah
فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia. (QS. Al-Ahzab : 37)
Nama kedua yang disebut Al-Qur’an adalah Zaid. Kisahnya kebalikan dari Abu Lahab, beliau sosok orang paling baik yang justru sempat diangkat jadi ‘anak angkat’ Nabi SAW.
Awalnya ketika masih kecil, Zaid dan ibunya dirampok oleh penyamun Padang pasir. Meski tidak dibunuh, tapi nasibnya sial karena dijadikan budak dan dijual di pasar budak Ukazh.
Zaid yang masih kecil dan jadi budak itu secara kebetulan dibeli oleh seorang saudagar dari Mekkah. Ternyata pembelinya masih keponakan Khadijah. Zaid dengan beberapa anak kecil lain sesama budak lalu ditawarkan kepada Khadijah dan disuruh pilih salah satu sebagai hadiah.
Khadijah pun melihat-lihat dan akhirnya pilihannya jatuh pada Zaid. Maka jadilah Zaid anak kecil budak milik Khadijah, tinggal bersama Khadijah menjadi pelayan di rumahnya.
Ketika suatu hari Khadijah menikah dengan Nabi SAW, Zaid yang budak itu dihadiahkan Khadijah kepada suaminya. Jadilah Zaid budak anak kecil milik Nabi SAW. Nabi SAW memperlakukan Zaid tidak seperti umumnya budak, tapi seperti anaknya sendiri.
Sampai suatu hari datanglah ayah kandung Zaid mencari-cari keberadaan anaknya yang dulu hilang dirampok.
Sang ayah dapat informasi bahwa Zaid kini jadi budak milik warga Mekkah, yaitu Nabi SAW. Begitu sampai di hadapan Nabi, ayah Zaid pun memohon-mohon ingin menebus Zaid dari tangan Nabi SAW.
Nabi SAW tidak menjual Zaid kepada ayahandanya sendiri, namun Zaid dimerdekakan saja langsung, tanpa harus dibayar. Zaid dipersilahkan untuk dibawa pulang kepada sang ayah.
Namun Zaid sendiri rupanya ogah pulang ke rumah orang tuanya, meski telah dibebaskan. Dia lebih memilih tinggal bersama Nabi SAW yang sudah lebih dari ayah sendiri.
Ayahnya bingung juga, jauh-jauh mencari sang anak, kok pas ketemu dan dibebaskan dari perbudakan, malah nggak mau pulang. Jadi maunya apa sih?
Akhirnya Nabi SAW menawarkan solusi, mau kah Zaid dijadikan anak angkat secara resmi?
Ternyata Zaid dan ayahnya sama-sama setuju. Bagi sang ayah, merupakan sebuah kehormatan besar kalau sampai Zaid diangkat jadi anak Nabi. Ibarat rakyat jelata diangkat jadi bangsawan berdarah biru. Nabi SAW itu berdarah Quraisy, suku paling tinggi derajatnya di tanah Arabia.
Maka sejak hari itu diumumkan di depan Ka’bah bahwa status Zaid berubah dari budak jadi ‘anak angkat’, istilahnya di masa itu tabanni. Sejak itu orang-orang menyebutnya : Zaid bin Muhammad.
Singkat cerita Zaid pun dewasa dan menikah dengan Zaenab, seorang wanita Syarifah suku Quraisy masih sepupu Nabi SAW.
Sayang pernikahannya kurang berhasil, agak berantakan karena beda kasta dan berujung perceraian. Apa mau dikata, begitu lah kehendak Allah.
Lalu turun ayat Qur’an yang isinya menikahkan Zaenab, janda Zaid dengan Nabi SAW. Pernikahannya unik karena berlangsung dari atas langit.
Sebuah pernikahan yang menarik untuk diamati dna lain dari biasanya, karena terjadi di masa kenabian, tapi tanpa wali, tanpa saksi, tanpa ijab kabul bahkan tanpa acara akad nikah. Ujug-ujug Allah begitu saja menikahkan Zaenab dengan Nabi SAW. Lalu kisahnya tertuang langsung dalam ayat Al-Qur’an.
Uniknya, Zaid sebagai mantan suami Zaenab justru disebutkan namanya dengan tegas di ayat itu. Jadilah Zaid satu-satunya shahabat yang namanya tercantum dalam Al-Qur’an.
Padahal ada lebih dari 124 ribu shahabat yang lain, tapi hanya Zaid saja yang namanya tercantum dalam Al-Qur’an.
Zaid jadi abadi sepanjang masa bersama Al-Qur’an.